7. First Time
Evelyn terbaring pasrah di atas ranjang hotel. Di atasnya ada Alan yang terlihat gagah, berusaha melepaskan seluruh kain yang melekat di tubuhnya.
Alan bergerak dengan perlahan dan tak terburu-buru. Dan itu malah membuat Evelyn frustrasi. Ini semua akan lama menuju akhir jika Alan terus saja bergerak sangat lambat.
Sementara Alan, menikmati sekali perbuatannya terhadap Evelyn. Dia berusaha melepaskan semua kain yang Evelyn pakai, sekaligus menyusuri setiap inchi kulitnya dengan bibir. Alan tersenyum dalam setiap gerakannya, saat tahu kalau Evelyn tetap setia memejamkan mata. Alan juga yakin, pasti wanita tersebut sedang mati-matian menahan suara.
Alan duduk berlutut dengan mata menatap penuh minat pada Evelyn yang sudah pasrah. Alan tersenyum miring melihat tubuh Evelyn yang sudah polos sekarang. Pemandangan yang indah.
Alan kemudian membuka kancing kemejanya dengan agak cepat. Lalu dia melemparkan kemeja dan dasinya secara asal ke lantai, hingga akhirnya sekarang dia bertelanjang dada. Alan bergerak lagi, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Evelyn. Alan memperhatikan wajah Evelyn dari jarak yang sangat dekat. Setelah lama memperhatikan, alis Alan pun bertaut. Kenapa lama-lama dia merasa pernah mengenali wajah Evelyn? Setelah namanya, sekarang wajahnya. Alan jadi penasaran sendiri siapa sosok yang pernah hadir dalam hidupnya, yang mirip dengan Evelyn.
Berusaha tak memikirkan hal tersebut, Alan kini menjelajahi wajah Evelyn dengan bibirnya. Alan bisa melihat Evelyn yang semakin erat memejamkan mata. Alan tersenyum geli melihat itu. Terlihat lucu dan menggemaskan baginya.
"Tatap aku." Alan berkata. Evelyn tak menurut, dan tetap memejamkan mata. Dia tak berani membuka matanya walau hanya sedikit. Dia tak berani melihat keadaannya sendiri sekarang. Dan dia tak berani melihat Alan yang kini berada di atas tubuhnya.
"Buka matamu dan tatap aku," ucap Alan lagi dengan suara beratnya. Namun, Evelyn tetap tak menurut, membuat mata Alan memicing tak suka. Akhirnya sebelah tangan Alan bergerak menyentuh dada Evelyn dan meremasnya kuat secara tiba-tiba. Hal itu berhasil membuat Evelyn memekik kaget sampai matanya membelalak.
Pada akhirnya, tatapan mereka bertemu, dan Evelyn tak mampu berkata apa-apa. Dia juga langsung memalingkan wajahnya ke samping. Rona merah di pipinya terlihat jelas membuat Alan semakin gemas. Dengan sedikit kuat, Alan memegang dagu Evelyn dan memaksanya agar menatap ke arahnya. Tanpa basa-basi, Alan pun langsung meraup bibir Evelyn. Bibir dan lidahnya bergerak dengan lincah mempermainkan Evelyn.
Evelyn mengerang saat Alan menghisap bibir bawahnya dengan kuat. Secara tak sadar, tangan Evelyn bergerak menjambak rambut Alan ketika dia merasakan oksigen dalam paru-parunya menipis. Alan melepaskan ciuman mereka dan Evelyn langsung menarik nafas banyak-banyak. Rona merah di wajahnya terlihat semakin jelas sekarang.
"Kamu menyukainya," ucap Alan. Setelah mengatakan itu, bibir Alan langsung menjelajah leher Evelyn. Alan menciuminya dan sesekali menjilatnya juga. Ada keinginan untuk meninggalkan tanda, namun Alan tak mau membuat Evelyn kebingungan menutupinya besok.
Kepala Alan semakin turun hingga akhirnya dia berhadapan dengan dada Evelyn. Alan mempermainkan puncak dada Evelyn, membuat Evelyn mendesah pelan. Kedua tangan Evelyn mencengkram sprei dengan kuat saat merasakan rangsangan pada tubuhnya.
Saat mulutnya sibuk di bagian dada, tangan kiri Alan bergerak ke bawah, menyentuh pusat tubuh Evelyn. Evelyn memekik karena kaget dan berusaha menyingkirkan tangan Alan dari sana. Namun, Alan malah sengaja memberikan rangsangan lebih hingga Evelyn kembali terbaring lemah di bawahnya.
"Nikmati saja. Tak perlu melawan," ucap Alan. Setelah puas bermain-main dengan tubuh Evelyn, Alan pun turun dari atas ranjang. Tangannya bergerak dengan cepat melepaskan celananya sendiri. Evelyn sontak memalingkan wajah, merasa malu karena tak sengaja melihat Alan yang sedang menurunkan celananya.
Setelah tubuhnya sama polosnya dengan Evelyn, Alan naik lagi ke atas ranjang. Tangannya bergerak membuka kaki Evelyn dengan lebar. Evelyn berusaha merapatkan kakinya, dan Alan menahannya.
Alan menekan miliknya ke dalam tubuh Evelyn dengan perlahan. Kemudian matanya beralih melihat Evelyn yang terlihat kesakitan. Alan pun kembali menciumi wajah Evelyn dan memainkan puncak dadanya lagi. Pinggulnya bergerak maju perlahan karena terasa sulit.
"Ini pertama kali bagimu?" Alan bertanya dengan kening berkerut. Evelyn tak menjawab pertanyaan Alan. Namun ekspresi kesakitannya juga cengkraman kuatnya di bahu Alan memberikan sebuah jawaban. Walau tahu itu, Alan tak berhenti. Dia semakin menekan, hingga akhirnya dia merasa sudah masuk seluruhnya. Alan bisa melihat sudut mata Evelyn yang basah. Cengkraman tangan wanita itu di kedua bahunya juga semakin kuat.
Alan menggeram pelan, merasakan kenikmatan di bawah sana. Dengan cepat dia mencium Evelyn lagi dengan gerakan yang sedikit kasar. Evelyn hanya diam dan pasrah. Rasa sakit yang dia rasakan terasa membelah tubuhnya. Namun perlahan, rasa sakit itu hilang. Meninggalkan rasa tidak nyaman karena ada benda asing di dalam tubuhnya.
Alan bergerak perlahan, berusaha membuat Evelyn terbiasa lebih dahulu. Evelyn meringis kesakitan awalnya. Setelah beberapa saat, dia tak merasakan sakit lagi. Hanya sedikit rasa perih saja.
Setelah tahu Evelyn tak merasakan sakit lagi, Alan pun menegakkan tubuhnya. Dia mengangkat sebelah kaki Evelyn dan menyimpannya di pundak. Matanya melihat penyatuannya dengan Evelyn dan bergantian menatap ekspresi Evelyn saat dia menggerakkan pinggulnya.
Evelyn mendesah saat gerakan Alan terasa semakin cepat. Tangannya mencengkram sprei semakin kuat ketika merasakan sesuatu perasaan aneh namun terasa menakjubkan.
Alan menurunkan kaki Evelyn dari pundaknya lalu menurunkan tubuhnya. Evelyn langsung memeluk punggungnya dengan kuat, seolah sedang mencari pegangan. Desahannya yang indah membuat Alan semakin semangat memberikan kenikmatan untuknya.
Evelyn menjerit saat dia sampai di puncak kenikmatan. Tubuhnya bergetar dan mengejang secara bersamaan. Melihat itu, Alan pun mempercepat gerakan pinggulnya hingga akhirnya dia pun sampai di puncak. Alan menyembunyikan ekspresi nikmatnya di ceruk leher Evelyn dan menekan miliknya semakin dalam pada Evelyn.
Nafas Evelyn memburu dengan mata yang kembali terpejam. Batinnya berbisik, kalau semuanya telah usai. Ya, semuanya sudah selesai sekarang. Benar-benar selesai.
***
Evelyn terbangun dari tidur nyenyaknya saat mendengar suara alarm ponselnya yang nyaring. Evelyn meraba-raba ke sampingnya, lalu dia membuka matanya dengan lebar saat baru sadar kalau sekarang dia sedang tidak berada di kosannya.
Dengan cepat Evelyn bangkit duduk dan melihat sekitar. Tangannya mencengkram selimut di depan dada dengan sangat kuat. Evelyn tentu ingat jelas kenapa sekarang dia berada di sebuah kamar hotel.
Evelyn melihat sekeliling, dan tak ada orang lain selain dirinya di sana. Dengan buru-buru Evelyn mematikan alarm ponselnya. Setelah itu Evelyn berdiri dan berjalan memasuki kamar mandi dengan selimut yang masih melilit di tubuhnya. Kamar mandi pun kosong, tak ada siapa-siapa. Membuat Evelyn yakin sekali kalau dia memang sendirian di sana.
Evelyn merasa lega saat tahu kalau Alan sudah pergi. Dia merasa lega karena tak harus bingung saat berhadapan dengan pria itu. Jika pria itu masih ada, apa yang akan dia lakukan? Jelas suasana akan menjadi sangat canggung. Memang bagus Alan bangun dan pergi lebih dulu darinya.
Evelyn membersihkan tubuhnya di kamar mandi, dan dia meringis pelan merasakan perih di pusat tubuhnya. Ah, merasakan itu membuat Evelyn ingat betul kalau semalam dia menjual dirinya sendiri. Ya, semuanya demi uang.
Tunggu. Bagaimana dengan uangnya?
Seketika Evelyn jadi panik. Dia buru-buru menyelesaikan ritual mandinya, lalu memakai jubah mandi yang tersedia di sana. Evelyn berlari keluar dari kamar mandi dan langsung mengambil ponselnya. Dengan tangan bergetar, Evelyn membuka ponselnya.
Ada notifikasi uang masuk ke rekeningnya di ponsel, dan itu membuat Evelyn agak lega. Evelyn lalu mengecek saldo rekeningnya, dan matanya melotot melihat jumlah saldonya. Evelyn bersumpah, dia belum pernah melihat angka berderet sepanjang itu dalam riwayat rekeningnya. Dan ya, Alan benar-benar membayarnya sebesar 200 juta.
Evelyn tak tahu harus merasa senang atau apa sekarang. Senang sih karena sekarang dia memiliki banyak uang, hal yang selalu dia cita-citakan. Namun agak gimana gitu ya rasanya karena dia ingat jelas bagaimana cara dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
Evelyn menyimpan ponselnya di atas rak samping tempat tidur. Kemudian matanya mencari keberadaan gaun yang dia pakai semalam. Jelas dia akan memakai gaun itu lagi karena tak ada baju yang lain.
Evelyn berjalan mendekati meja yang dekat dengan sofa. Gaun yang dia pakai semalam terlipat rapi di atas meja, bersama dengan pakaian dalamnya juga. Tak bisa ditahan, rona merah kembali menguasai wajah Evelyn saat dia berpikir Alan lah yang melakukannya. Memalukan sekali.
Pandangan Evelyn teralih pada beberapa paper bag yang ada di atas meja tersebut. Evelyn ingat, rasanya semalam meja itu kosong. Lalu kenapa sekarang penuh dengan paper bag?
Karena penasaran, Evelyn membuka paper bag yang ukurannya paling besar. Evelyn mengeluarkan isinya, yang ternyata adalah satu buah blouse berwarna hijau mint dan satu celana jeans berwarna putih. Sesuatu jatuh saat Evelyn mengambil blouse tersebut. Evelyn memungutnya, dan ternyata itu adalah sebuah kertas. Atau mungkin, lebih tepatnya adalah sebuah surat.
Terima kasih atas semuanya semalam. Ini semua hadiah untukmu. Ambilah.
Sebuah pesan yang singkat, dan berhasil membuat Evelyn tertegun. Jadi ini semua dari Alan untuknya? Pria itu sengaja membeli semua ini untuknya?
Evelyn kemudian melihat semua yang ada di atas meja. Gaun yang dia pakai semalam beserta dengan pakaian dalamnya yang terlipat rapi. Lalu beberapa paper bag dengan isi yang berbeda-beda. Ada baju, celana, sebuah tas selempang, flatshoes, dan kotak perhiasan. Evelyn ingat, itu adalah kotak perhiasan yang disiapkan oleh Karina kemarin. Spontan Evelyn menyentuh lehernya, dan kalung yang semalam dia pakai sudah tidak terpasang lagi di lehernya. Dan ternyata, kalung tersebut sudah tersimpan rapi di dalam kotaknya.
Evelyn jelas tahu siapa yang melakukan itu. Dan Evelyn tak tahu harus bereaksi seperti apa atas semua yang sudah dilakukan Alan. Karena ternyata, pria itu tak sejahat dan semengerikan bayangan Evelyn. Dia, cukup baik juga ternyata.