Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Putera Mahkota

“Nad, hape kamu bunyi terus, tuh.” Widi mengarahkan dagunya ke atas meja kerja, menatap ponsel Nadia yang bergetar sejak tadi.

“Thanks, ya,” ucap Nadia seraya meraih ponselnya yang masih bergetar, menampilkan nama Ray di layarnya yang menyala. “Halo, Ray. Sorry, tadi aku masih ada kerjaan. Kenapa?”

“Semalam kamu pulang jam berapa?”

Deg!

Bagaimana Nadia harus menjawabnya? Bahkan perempuan itu tidak tau bagaimana dia bisa sampai di apartemen dengan selamat. Begitu membuka mata di pagi hari, Nadia harus menghadapi situasi kacau yang disebabkan oleh Sam.

“Eum ... semalam aku ....”

“Semalam aku khawatir karna kamu nggak bisa dihubungi. Kamu nggak mabuk, ‘kan?”

“Ah, enggak, kok,” sangkal Nadia dengan senyum getir. Bagaimana kalau Ray sampai tau bahwa kekasihnya mabuk berat hingga pingsan dan dibawa pulang oleh seorang pria?!

Astaga, dunia bisa kacau!

Oh, tidak! Ray tidak boleh tau. Dia tidak akan pernah tau!

“Nanti sore aku jemput, ya. Hari ini aku dapat shift pagi. Jadi, kita bisa dinner dulu sebelum pulang. Gimana?”

“Hm, sounds good.”

“Kamu nggak bawa mobil, ‘kan?”

“Kebetulan enggak. Tadi aku naik ojek karna bangun kesiangan.”

“Kenapa nggak bilang? Aku ‘kan bisa jemput kamu sekalian berangkat ke rumah sakit.”

“It’s okay.” Nadia memilin ujung rambutnya sendiri dengan gelisah, khawatir Ray menaruh curiga padanya. “Hm, Ray ....”

“Nad kamu dicariin Pak Sam, tuh. Buruan!” seru Johan yang tiba-tiba muncul di depan meja kerjanya.

“Sekarang?”

Johan mengangguk sambil lalu. Sementara Nadia menghela napas panjang. Baru saja dia duduk, masa dipanggil lagi.

“Ray ... udahan dulu, ya. Aku lagi sibuk banget, nih.”

“Oh, okay. I’ll call you later. Jangan lupa nanti sore aku jemput kamu di kantor.”

“Hm, ....” angguk Nadia lalu menutup sambungan telpon.

Tepat saat gadis itu hendak beranjak dari kursinya, tiba-tiba Sam sudah muncul di hadapannya dengan kedua tangan dilesakkan ke dalam saku celana.

“Hm, ... i want to get some coffea or something,” katanya dengan tatapan seolah-olah dia ingin mengajak Nadia berkencan.

Perempuan itu berdehem sebelum menjawab, “Di pantry kantor ada kopi, kalau Pak Sam mau.”

Kepala Sam seketika menggeleng pelan. “Maksud kamu kopi instan? Oh, no. Aku benci kopi instan," katanya sambil mengibaskan tangan, membuat Nadia tersenyum jengah.

"Anyway, tadi aku lihat di seberang kantor ada coffea shop.”

“Mau saya pesankan?” Nadia masih setia dengan bahasa super formalnya karna ada beberapa staf lain di dalam ruangan tersebut. Sejauh ini Nadia masih berusaha untuk menahan diri agar tidak terlihat lancang dan bersikap tidak sopan di depan atasannya.

Sam menarik napas pelan, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Nadia. “Apa kamu keberatan kalau nemenin aku ke sana sebentar? We have to talk ... about last night.” Sam mengakhiri kalimatnya dengan suara pelan hampir berbisik, seolah sengaja ingin menggoda Nadia.

Hampir saja Nadia tersedak saat mendengar ucapan Sam barusan. Beruntung semua staf sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, kecuali Widi yang sejak tadi terlihat sangat tertarik dengan percakapan antara Sam dan Nadia yang tampak mencurigakan. Widi memicing di balik kaca mata bulat miliknya dan diam-diam mencuri dengar.

**

“Mau bicara apa?” Nadia membuka suara sesaat setelah pelayan mengantar minuman mereka.

“Wow, you look so different.” Sam bersedekap dengan senyum lebar, seolah menertawakan sikap Nadia yang seketika berubah ketus ketika berada di luar kantor. “Okay, kita bicara soal kejadian semalam. So, kamu mau mulai dari mana? Kelab malam? Toilet pria atau ... ranjang apartemen kamu?”

“You shut up!” balas Nadia tertahan. Ya Tuhan, dia sudah tak bisa menahannya lagi.

Sejenak Nadia menoleh kiri kanan memastikan tidak ada staf kantor yang berada di coffea shop itu. “I hate you, Sam,” desisnya sengit. “Kamu sengaja ‘kan nglakuin ini sama aku? Setelah apa yang kamu lakukan padaku waktu itu, ternyata kamu sama sekali nggak berubah. Dan sekarang ... kamu masih berusaha menggangguku dengan memanfaatkan jabatanmu itu? Kamu pikir aku takut?”

Nadia menarik napas, dadanya bergemuruh karna amarah yang meledak-ledak di dalam sana. Entah dapat keberanian dari mana hingga dia berani berkata seperti itu pada atasannya sendiri.

Nadia mungkin sudah gila. Namun, luka yang pernah ditorehkan oleh Sam padanya waktu itu benar-benar membuatnya murka. Dan yang lebih membuatnya kesal adalah Sam pergi meninggalkannya begitu saja setelah pria itu mempermalukannya di sekolah. Sejak saat itu, Nadia tidak pernah lagi bertemu dengan Sam.

Sementara itu, Sam yang tampak terkejut dengan sikap dan amarah Nadia seketika terdiam. Sorot matanya berubah teduh penuh penyesalan.

Perlahan pria itu menarik napas dalam dan menatap Nadia dengan penuh perasaan. “Kamu masih ingat kejadian waktu itu?”

“I remember everything,” tegas Nadia dengan sorot mata penuh amarah dan dendam. “Aku masih ingat waktu kamu baca surat aku di tengah lapangan dan semua murid menertawakanku. Aku juga masih ingat waktu kamu dan teman-temanmu tertawa puas melihatku jatuh dalam perangkap taruhan kalian yang konyol itu. Kamu tau, apa yang kamu lakukan padaku itu benar-benar brengsek!”

Nadia bangkit dari duduk dan melangkah pergi tanpa menoleh sedikitpun. Beruntung dia tidak menyiramkan ice coffea ke wajah tampan Sam tadi. Okay, Nadia masih punya akal sehat. Dan dia masih membutuhkan pekerjaannya untuk membayar cicilan mobil dan juga apartemen yang dia tinggali sekarang. Dia tidak ingin tiba-tiba jadi pengangguran esok hari setelah memaki bosnya sendiri.

“Are you crazy? Kenapa tadi pakai ngatain dia brengsek segala, sih?!” desis Nadia menatap wajahnya sendiri di depan cermin toilet kantor. Wajahnya basah terbasuh air dingin.

“Okay ... tenang, Nadia ... tenang ....” Nadia berkata pada dirinya sendiri. “Sam tidak mungkin memecatmu kecuali perusahaan ini milik bapaknya. Dia tidak punya wewenang untuk melakukan itu. Ya, mungkin dia punya. Tapi, kinerjaku tidak pernah mengecewakan selama ini, ‘kan? Kecuali hari ini ....” sesal Nadia meratapi apa yang baru saja dia lakukan, hingga seseorang tiba-tiba masuk ke dalam toilet dan mengejutkannya.

“Loh, bukannya tadi kamu pergi berdua sama Pak Sam?” Widi menatap bayangan dirinya sendiri di depan cermin lalu mengeluarkan lipstik super red di dalam pouch miliknya. “Anyway, Pak Sam udah nikah belum, ya? Aku harap sih dia masih single. Siapa tau aku punya kesempatan. Ya, ‘kan?”

Nadia hanya menarik napas lelah, tanpa memedulikan ocehan Widi padanya.

“Pucet banget muka kamu. Pakai lipstik dulu, nih.” Widi menyodorkan pemulas bibir miliknya pada Nadia, namun gadis itu hanya menggeleng enggan. “Kamu kenapa? Sakit, ya?”

“Ada paracetamol, nggak?”

“Hm, efek mabok semalam nih kayaknya. Masih pusing?” ujar Widi sembari merogoh pouchnya untuk mencari obat pereda nyeri. “Semalam kamu pulang sendiri, ya? Kok nggak bilang-bilang, sih? Di jemput sama Ray?”

Nadia hanya tersenyum kecut, sama sekali tak menjawab satu pun pertanyaan Widi padanya. “Thanks, ya,” ucapnya setelah menerima tablet paracetamol dari Widi. “Aku duluan.”

“Eh, tunggu dulu.” Widi menahan lengan Nadia yang hampir saja melangkah meninggalkan toilet. “Kamu udah tau belum gosip terbaru tentang Pak Sam.”

“Gosip?”

“Tapi, kayaknya ini bukan gosip, deh.” Widi menyipitkan mata, agar ceritanya terdengar lebih dramatis. “Aku udah curiga dari awal sih kalau Pak Sam itu bukan orang sembarangan.”

“Maksudnya?”

“Kamu jangan kaget, ya.” Widi mendekat, lalu menoleh ke arah pintu untuk memastikan tidak ada yang masuk ke dalam toilet. Lalu, perempuan itu kembali membuka suara, “You know what, Pak Samuel itu anaknya Pak Armand Widjaya.”

Diam sesaat. Nadia mengerjap demi mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Widi padanya.

“Apa kamu bilang?”

“Pak Sam itu putra mahkota pemilik perusahaan ini!”

“Serius?”

“Sumpah!”

“Jadi, Sam ... eum, maksudku Pak Sam itu anaknya Pak Armand Widjaya?”

Widi mengangguk dengan senyum lebar.

Mendadak Nadia lemas. Perempuan itu sampai harus bersandar ke dinding agar tidak jatuh melorot ke lantai.

“Nad, kamu nggak apa-apa?!” pekik Widi mulai panik.

“Wid, kayaknya ini hari terakhir aku kerja di sini, deh. Aku bakal jadi pengangguran.”

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel