Calon Istriku
“Ini semua berkas yang tadi Pak Sam butuhkan.” Nadia meletakkan beberapa map berisi lembaran kertas di atas meja kerja Sam, tanpa menatap ke arah pria itu.
Entah mengapa rasanya Nadia tak akan sanggup lagi menatap wajah Sam setelah kejadian tadi pagi. Rasanya dia ingin menghilang saja dari muka bumi ini setelah berkata kasar pada Sam yang ternyata adalah putra dari pemilik perusahaan tempat dia bekerja.
“Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan wajah tertunduk.
Alih-alih menjawab pertanyaan Nadia, pria itu justru hanya diam sembari menatap wajah perempuan di hadapannya dengan tatapan kosong. Seolah sibuk dengan pikirannya sendiri.
Jujur saja, setelah dia bicara dengan Nadia di coffea shop tadi, Sam merasa sangat bersalah. Apalagi saat Nadia mengatakan bahwa apa yang telah Sam lakukan padanya dulu benar-benar membuat perempuan itu sakit hati dan terluka.
Mungkin waktu itu Sam hanya ingin menggoda salah satu siswa paling cantik dan pendiam di sekolahnya. Demi Tuhan, Sam tidak pernah berniat untuk melukai perasaan Nadia, dia hanya ingin bersenang-senang dengan mencari perhatian gadis cantik itu. Tapi, tanpa dia sadari apa yang telah dia lakukan justru membuat Nadia menjadi sangat membencinya.
“Pak Sam?”
“Eh, sorry .... Tadi kamu bilang apa?”
“Ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Eum ....” Sam menggeleng pelan, merasa tidak nyaman dengan sikap Nadia yang begitu formal dan kaku padanya.
“Kalau begitu saya pamit pulang dulu.”
“Pulang?”
“Ini sudah hampir jam enam sore, Pak.” Nadia mengingatkan sembari melirik jam besar yang menempel di dinding ruangan Sam. “Permisi.”
“Nadia, tunggu ....”
“Ya?”
Susah payah Sam menelan ludahnya sendiri saat tatapannya bertemu dengan sorot mata Nadia yang tiba-tiba menoleh ke arahnya. Ada sesuatu pada gadis itu yang membuatnya tak bisa berkutik. Entah apa.
Bibir Sam bergerak pelan hendak mengatakan sesuatu pada Nadia, namun nyatanya tidak mudah. Sesuatu yang seharusnya dia katakan sejak dulu.
Permintaan maaf.
Tapi, sebaris kalimat itu kenapa sulit sekali keluar dari dalam mulutnya.
“Pak, ....”
“Just call me Sam. Please ....”
Nadia menarik napas pelan, lalu kembali menatap Sam yang masih duduk di balik meja kerjanya. Perempuan itu benar-benar lelah karna harus berusaha bersikap formal pada atasannya. “Tolong, bersikaplah profesional. Ini kantor bukan playground. Kamu pikir bisa bermain-main denganku?”
Sam tak lagi bisa berkata-kata. Semuanya sudah jelas. Nadia bukanlah gadis pendiam dan lugu seperti yang pernah dia kenal sewaktu SMA dulu. Gadis cantik dengan senyum yang mampu melumerkan hatinya itu kini telah berubah menjadi sosok perempuan dewasa yang tegas dan pandai menempatkan diri.
Dan satu lagi yang baru saja Sam ketahui dari Nadia, bahwa ternyata perempuan itu sudah memiliki kekasih.
Saat dia hendak meninggalkan kantor, tak sengaja Sam melihat seorang pria dengan senyum lebar menunggu Nadia di lobby kantor. Pria itu menyambut Nadia dengan pelukan singkat dan membawa gadis itu pergi.
Entah mengapa Sam merasa dadanya seperti sedang dicubit begitu keras. Rasanya sakit dan tidak nyaman. Apalagi saat dia menyadari siapa pria yang merangkul pinggang gadis itu dengan begitu intim dan berbisik mesra di telinga Nadia.
Pria itu, Narayan Sadewa.
Seorang pria yang sudah lama Sam kenal sebagai kakak tirinya. Seorang pria yang dibawa pulang oleh Armand bersama ibu tirinya ke rumah keluarga Sam sepuluh tahun silam.
Dari sekian banyak pria di dunia ini, kenapa harus Ray? Kenapa harus pria itu yang dipilih oleh Nadia?
**
“How was your day?” Ray melirik sekilas ke arah Nadia yang duduk di sebelahnya, sebelum pria itu kembali fokus pada jalanan ibu kota yang padat merayap.
“Hm, capek,” keluh Nadia dengan tatapan kosong. Pikirannya masih belum teralihkan dari sosok Samuel Widjaya.
Kenapa dia harus bertemu lagi dengan pria itu? Kenapa?! Dia bahkan belum sempat meminta maaf pada Sam karna memakinya tadi pagi. Mungkin lebih tepatnya Nadia tidak ingin meminta maaf. Bukankah seharusnya Sam yang meminta maaf padanya?
Sudah lama dia ingin mengucapkan kata-kata makian pada Sam atas perbuatannya dulu, namun baru sekarang dia bisa melakukannya. Di saat situasinya kurang tepat. Entah bagaimana nasib Nadia esok hari. Mungkin dia tidak akan heran kalau tiba-tiba Sam memecatnya karna sudah bersikap kurang ajar pada putra pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
“Kamu lapar, ‘kan? Kita makan dulu, ya.”
“Kayaknya aku mau langsung pulang, Ray. Kepalaku agak pusing.”
“No, kamu harus makan dulu. Aku udah reservasi tempat, loh. Akhir-akhir ini kita berdua sibuk, jarang bisa makan bareng. Anggap saja ini special dinner.”
“Hm?” Nadia menoleh curiga. “Special dinner? Maksudnya?” Jangan bilang kalau Ray mau melamarnya, oh tidak! Jangan sekarang. Nadia bahkan belum yakin dengan perasaannya pada pria itu.
“You will see,” balas Ray dengan senyum tipis.
Dan sepanjang perjalanan pria itu tak berkata apa-apa lagi, hingga mobilnya berbelok di pelataran sebuah restoran mewah yang belum pernah Nadia kunjungi sama sekali.
“Ini bukan ulang tahunmu, ‘kan?”
“Kamu tau ulang tahunku masih bulan depan,” kata Ray saat membukakan pintu untuk Nadia. “Ada yang sudah menunggu kita di dalam.”
“Siapa?”
“Kamu harus melihatnya sendiri.”
Nadia menatap sekilas tangan kanannya yang tenggelam dalam genggaman Ray. Pria itu menuntunnya masuk ke dalam restoran. Kedatangan mereka disambut oleh salah satu pelayan yang menunjukkan di mana meja Ray berada.
Dan di saat itulah Nadia merasa semakin curiga. Ray pasti merencanakan sesuatu untuknya. Mungkin sebuah makan malam yang diakhiri dengan lamaran. Oh, tidak!
Semakin jauh kaki Nadia melangkah, semakin kencang pula debar jantungnya. Dia belum siap untuk ini. Dia belum siap dengan kesungguhan Ray untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih jauh.
Langkah Ray berhenti tepat di depan sebuah ruangan yang tertutup. Sebuah VIP room yang terpisah dengan meja lain di dalam restoran. Begitu pintu ruangan itu terbuka, Nadia bisa melihat dua orang sudah duduk menunggu di sana. Dan salah satunya adalah Armand Widjaya. Pemilik perusahaan tempat Nadia bekerja.
“Ray, mereka ....”
“Orang tuaku.” Ray tersenyum, lalu menarik tangan Nadia yang masih terkejut untuk masuk ke dalam ruangan. Dan suasana mendadak hening.
Jadi, selama ini dia pacaran dengan anaknya Armand Widjaya? Pemilik perusahaan tempatnya bekerja? Oh, wait ... kalau Ray adalah putra dari Armand Widjaya, itu berarti Ray bersaudara dengan Sam?
Oh, shit! Situasi macam apa ini?!
“Kamu menculik salah satu karyawan papa?” kelakar Armand yang disambut senyum kecil oleh wanita di sampingnya yang sejak tadi tak berkedip menatap Nadia.
Sementara Nadia hanya tersenyum kikuk, tidak tau harus bereaksi seperti apa. Sepertinya dia harus bicara serius dengan Ray setelah makan malam ini usai. Pria itu tau kalau Nadia tidak pernah suka diberi kejutan seperti ini, apalagi dipertemukan dengan kedua orang tua tanpa pemberitahuan sama sekali.
Saat ini, Nadia merasa seperti dijebak dan tidak bisa lagi lari untuk menghindari keadaan.
“Jadi, ini ....”
“Dia salah satu karyawan di kantor,” sela Armand, menjelaskan pada istrinya. “Salah satu karyawan terbaik.”
Sofia manggut-manggut dengan senyum kecil. Tatapannya kembali jatuh pada sosok Nadia yang sudah duduk di hadapannya. Ada rasa kagum pada gadis itu sejak dia melihatnya untuk pertama kali.
Cantik.
“Siapa namanya?”
“Namanya Nadia, Ma,” sahut Ray sembari menatap kekasihnya sekilas. “Nadia Prameswari, calon istriku.”
**
