Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8

"Bila wanita sudah beraksi, dunia hancur."

-Rossa-

***

Antariksa menggeser icon hijau di layar ponselnya, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinga kanannya.

"Apa?"

"Lo ngapain nganter itu cewek?" Sambar Marco.

Dahi Antariksa mengkerut. "Kenapa emang?"

"Lo lupa, gue nggak suka sama dia? Lo lupa rencana gue?"

"Kalau lo nggak suka sama dia, apa harus gue ikutan nggak suka?" tanya Antariksa, berhasil membuat Marco terdiam beberapa saat. Sebelum cowok itu kembali menyahut dengan nada suara tinggi.

"Pokoknya lo nggak boleh baik sama dia!"

"Oke."

"Bagus kalau lo paham."

"Kalau lo bisa kasih tahu alasan lo benci Syakilla." Lanjut Antariksa.

"Nggak, gue nggak bisa."

"Kalau gitu, nggak ada alasan untuk gue ikut benci dia, kan?"

"Lo kenapa sih, An?" Kesal Marco, "lo suka sama itu cewek?"

Antariksa menarik senyum tipis. Menoleh ke arah nakas, pada sebuah bingkai foto yang berisi foto Antariksa dan seorang gadis yang sedang ia rangkul. "Mungkin."

"Jangan gila!"

"Ini nggak seperti kejadian satu tahun yang lalu, lo nggak suka sama cewek ini kan, Co?" tanya Antariksa.

"Gue udah peringatin lo." Marco kemudian memutuskan panggilan teleponnya.

Membuat Antariksa menaikkan sebelah alis, kemudian meletakkan benda pipih itu ke atas nakas. Cowok itu merebahkan tubuhnya ke atas kasur, menatap datar ke arah langit-langit kamarnya.

"Belum ada yang berubah, ternyata."

***

Marco menyimpan perasaan dongkolnya, kemudian keluar dari kamar. Cowok itu turun ke bawah dan mendapati kedua orangtuanya sedang bersangai menonton televisi.

Starla yang melihat kehadiran Marco, lantas memanggil anaknya itu. "Marco, sini, Sayang."

Dengan langkah malas, Marco menghampiri kedua orang tuanya. Menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, bersandar kemudian menutup mata.

Starla dan Dewa yang memperhatikan kelakuan anaknya itu, saling pandang. "Kamu kenapa, Co?" tanya Starla.

"Tau, Pi. Bete," sahut Marco dengan malas.

"Udah berantem, belum?" tanya Dewa.

"Lagi males."

"Kurang asupan berantem, tuh. Makanya bete," ujar Dewa yang langsung mendapat cubitan keras dari Starla.

"Jalan-jalan dong, kalau bete," saran Starla. "Jangan ikutin Papi kamu."

"Males jalan sama temen."

"Kok temen? Sama cewek baru kamu dong," ujar Starla. Berhasil membuat Marco membuka mata seraya menatapnya.

"Cewek baru? Siapa?" Marco mengernyitkan dahi.

"Mami udah lihat di instagram fans base kamu, cantik, kok. Kenalin, dong," ujar Starla.

Beberapa detik kemudian, Marco langsung paham. Syakilla maksudnya?

"Itu bukan cewek baru Marco, bukan siapa-siapa."

"Kalau bukan siapa-siapa, kenapa kamu bonceng?" tanya Dewa, "kamu itu jadi lelaki harus tegas, kalau nggak niat dipacarin, jangan dideketin."

"Mama nggak mau, ya. Kalau kamu jadi fakboi," ujar Starla.

Marco mendengus, mengapa jadi dia yang dinasihati orang tuanya? Harusnya, ia mendapat ketenangan. Belum reda rasa kesalnya karena Antariksa, sekarang harus ditambah oleh kedua orang tuanya yang menyudutkan.

"Udah, ah. Males." Marco beranjak dari sofa, "Marco mau keluar."

Cowok itu mengambil kunci mobilnya. Jika suasana hatinya tidak nyaman, Marco memilih untuk naik mobil karena lebih aman. Saat ingin keluar, cowok itu berpapasan dengan kembarannya yang baru saja kembali entah dari mana.

"Kemana lo?" tegur Candy saat melihat Marco yang ingin keluar rumah.

"Lo nggak lihat gue mau keluar?" Ketus Marco.

"Idih, galak."

Tidak menjawab, Marco melengos pergi begitu saja.

"PMS ya, dia?" Candy menoleh mendapati lelaki berjaket hitam berdiri seraya memegang kedua bahunya, dengan mata tajam yang menatap ke arah Marco.

"Emang suka gitu," sahut Candy. "Aneh."

"Untung permen gemoi kalau sama aku jinak." Lelaki itu menangkup kedua pipi Candy dengan gemas.

"Ish, geli!" Kesal Candy.

***

"Serius? Terus, dia ngomong apa habis nganterin lo, Kil?" tanya Febi di seberang sana. Ia dan Syakilla sedang melakukan panggilan video call saat ini.

Syakilla tampak mengingat. "Dia banyak ngebahas Marco."

"Eh? Kok Marco? Dia ngomong apa aja?"

"Marco baik lah, Marco ini lah, itu lah. Sampai males sendiri gue dengernya, ngapain dia banggain Marco di depan gue coba?" ujar Syakilla.

"Disuruh Marco kali, kan dia sahabatnya."

"Bener juga." Syakilla mengangguk, "tahu, ah. Sejauh ini cowok idaman gue masih Capten Yoo dan Capten Ri."

"Nambah lagi, dong. Prince Mateen," ujar Febi.

"Boleh juga." Syakilla terkekeh.

Gadis itu mendengar bel apartemennya berbunyi, itu membuatnya mengernyit seraya menatap Febi. "Lo denger?"

Febi mengangguk. "Bunyi bel. Bukannya lo tinggal sendiri?"

"Makanya." Syakilla bingung, "tunggu bentar, Feb."

"Hati-hati, Kil. Bawa senjata, kali aja orang jahat!"

Syakilla kemudian beranjak dari sofa. Bel apartemennya terus berbunyi, membuat gadis itu semakin bingung. Ia mengambil sapu dan berjalan mengendap-endap ke arah pintu.

Syakilla menghembuskan napas, sebelum ia menarik pintu. Ekspresi wajahnya, berubah ketika melihat sosok di balik pintu.

"Lo?"

Marco mendongak, matanya menatap datar ke arah Syakilla. "Lo, mau jalan-jalan, nggak?"

• "Bila wanita sudah beraksi, dunia hancur."

-Rossa-

***

Antariksa menggeser icon hijau di layar ponselnya, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinga kanannya.

"Apa?"

"Lo ngapain nganter itu cewek?" Sambar Marco.

Dahi Antariksa mengkerut. "Kenapa emang?"

"Lo lupa, gue nggak suka sama dia? Lo lupa rencana gue?"

"Kalau lo nggak suka sama dia, apa harus gue ikutan nggak suka?" tanya Antariksa, berhasil membuat Marco terdiam beberapa saat. Sebelum cowok itu kembali menyahut dengan nada suara tinggi.

"Pokoknya lo nggak boleh baik sama dia!"

"Oke."

"Bagus kalau lo paham."

"Kalau lo bisa kasih tahu alasan lo benci Syakilla." Lanjut Antariksa.

"Nggak, gue nggak bisa."

"Kalau gitu, nggak ada alasan untuk gue ikut benci dia, kan?"

"Lo kenapa sih, An?" Kesal Marco, "lo suka sama itu cewek?"

Antariksa menarik senyum tipis. Menoleh ke arah nakas, pada sebuah bingkai foto yang berisi foto Antariksa dan seorang gadis yang sedang ia rangkul. "Mungkin."

"Jangan gila!"

"Ini nggak seperti kejadian satu tahun yang lalu, lo nggak suka sama cewek ini kan, Co?" tanya Antariksa.

"Gue udah peringatin lo." Marco kemudian memutuskan panggilan teleponnya.

Membuat Antariksa menaikkan sebelah alis, kemudian meletakkan benda pipih itu ke atas nakas. Cowok itu merebahkan tubuhnya ke atas kasur, menatap datar ke arah langit-langit kamarnya.

"Belum ada yang berubah, ternyata."

***

Marco menyimpan perasaan dongkolnya, kemudian keluar dari kamar. Cowok itu turun ke bawah dan mendapati kedua orangtuanya sedang bersangai menonton televisi.

Starla yang melihat kehadiran Marco, lantas memanggil anaknya itu. "Marco, sini, Sayang."

Dengan langkah malas, Marco menghampiri kedua orang tuanya. Menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, bersandar kemudian menutup mata.

Starla dan Dewa yang memperhatikan kelakuan anaknya itu, saling pandang. "Kamu kenapa, Co?" tanya Starla.

"Tau, Pi. Bete," sahut Marco dengan malas.

"Udah berantem, belum?" tanya Dewa.

"Lagi males."

"Kurang asupan berantem, tuh. Makanya bete," ujar Dewa yang langsung mendapat cubitan keras dari Starla.

"Jalan-jalan dong, kalau bete," saran Starla. "Jangan ikutin Papi kamu."

"Males jalan sama temen."

"Kok temen? Sama cewek baru kamu dong," ujar Starla. Berhasil membuat Marco membuka mata seraya menatapnya.

"Cewek baru? Siapa?" Marco mengernyitkan dahi.

"Mami udah lihat di instagram fans base kamu, cantik, kok. Kenalin, dong," ujar Starla.

Beberapa detik kemudian, Marco langsung paham. Syakilla maksudnya?

"Itu bukan cewek baru Marco, bukan siapa-siapa."

"Kalau bukan siapa-siapa, kenapa kamu bonceng?" tanya Dewa, "kamu itu jadi lelaki harus tegas, kalau nggak niat dipacarin, jangan dideketin."

"Mama nggak mau, ya. Kalau kamu jadi fakboi," ujar Starla.

Marco mendengus, mengapa jadi dia yang dinasihati orang tuanya? Harusnya, ia mendapat ketenangan. Belum reda rasa kesalnya karena Antariksa, sekarang harus ditambah oleh kedua orang tuanya yang menyudutkan.

"Udah, ah. Males." Marco beranjak dari sofa, "Marco mau keluar."

Cowok itu mengambil kunci mobilnya. Jika suasana hatinya tidak nyaman, Marco memilih untuk naik mobil karena lebih aman. Saat ingin keluar, cowok itu berpapasan dengan kembarannya yang baru saja kembali entah dari mana.

"Kemana lo?" tegur Candy saat melihat Marco yang ingin keluar rumah.

"Lo nggak lihat gue mau keluar?" Ketus Marco.

"Idih, galak."

Tidak menjawab, Marco melengos pergi begitu saja.

"PMS ya, dia?" Candy menoleh mendapati lelaki berjaket hitam berdiri seraya memegang kedua bahunya, dengan mata tajam yang menatap ke arah Marco.

"Emang suka gitu," sahut Candy. "Aneh."

"Untung permen gemoi kalau sama aku jinak." Lelaki itu menangkup kedua pipi Candy dengan gemas.

"Ish, geli!" Kesal Candy.

***

"Serius? Terus, dia ngomong apa habis nganterin lo, Kil?" tanya Febi di seberang sana. Ia dan Syakilla sedang melakukan panggilan video call saat ini.

Syakilla tampak mengingat. "Dia banyak ngebahas Marco."

"Eh? Kok Marco? Dia ngomong apa aja?"

"Marco baik lah, Marco ini lah, itu lah. Sampai males sendiri gue dengernya, ngapain dia banggain Marco di depan gue coba?" ujar Syakilla.

"Disuruh Marco kali, kan dia sahabatnya."

"Bener juga." Syakilla mengangguk, "tahu, ah. Sejauh ini cowok idaman gue masih Capten Yoo dan Capten Ri."

"Nambah lagi, dong. Prince Mateen," ujar Febi.

"Boleh juga." Syakilla terkekeh.

Gadis itu mendengar bel apartemennya berbunyi, itu membuatnya mengernyit seraya menatap Febi. "Lo denger?"

Febi mengangguk. "Bunyi bel. Bukannya lo tinggal sendiri?"

"Makanya." Syakilla bingung, "tunggu bentar, Feb."

"Hati-hati, Kil. Bawa senjata, kali aja orang jahat!"

Syakilla kemudian beranjak dari sofa. Bel apartemennya terus berbunyi, membuat gadis itu semakin bingung. Ia mengambil sapu dan berjalan mengendap-endap ke arah pintu.

Syakilla menghembuskan napas, sebelum ia menarik pintu. Ekspresi wajahnya, berubah ketika melihat sosok di balik pintu.

"Lo?"

Marco mendongak, matanya menatap datar ke arah Syakilla. "Lo, mau jalan-jalan, nggak?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel