Bab 14
"Ada banyak yang ingin ku tanyakan. Tapi, ada satu yang benar-benar membuat aku penasaran. Apakah aku pernah berada di dalam setiap doamu?"
***
"Woi bangsat!" Marco memaki para sahabatnya, cowok itu menampilkan layar ponsel yang berisikan foto dirinya. Lebih tepatnya, aib seorang Marco.
"Kurang ajar lo, Ven!"
Venus membalas Marco dengan wajah cemberutnya. "Biar sekali-kali lo nggak ganteng."
"Aib bangsat, ah." Marco kesal, cowok itu membuang bolanya ke sembarang arah.
"Foto lo yang kayak gitu aja masih banyak yang bilang ganteng, santai aja lah," celetuk Bima. "Beda emang kalau dilahirkan dengan kegantengan khas surga."
"Gue jijik." Marco bergidik, untuk apa teman-temannya memuji Marco ganteng?
Wajar sih, Marco memang ganteng. Tapi, ia tidak butuh dipuji oleh laki-laki!
"Jangan sentuh aku!" Bima mulai mendramatisir, "aku jijik, aku benciii!" Cowok itu mengikuti akting seorang artis yang suaranya viral di tiktok.
"Bim, lo lama-lama jadi CEO of lipsing." Awan menatap Bima dengan wajah cengo.
"Berarti gue berbakat," balas Bima berbangga diri.
"Gue mau tanya," ucap Antariksa. Menarik perhatian keempat sahabatnya. Karena, Antariksa paling jarang bertanya. Sekali bertanya, pasti hanya hal-hal penting yang terkadang tidak menyenangkan.
"Silakan, Pangeran. Mau nanya apa?" sahut Venus, cowok itu menumpu dagu di atas punggung tangannya. Menunggu Antariksa mengutarakan pertanyaan.
"Lo semua, pernah benar-benar jatuh cinta? Gimana rasanya?"
Marco mendengus. "Apaan, sih? Kenapa tiba-tiba bahas cinta."
Antariksa mengangkat bahu. "Gue penasaran aja."
"Jatuh cinta?" Bima ikut berpikir, "kalau ke cewek, kayaknya gue belum pernah. Tapi, gue pernah jatuh cinta waktu pertama kali megang PSP gue."
"Yakali jatuh cinta sama benda mati." Awan memutar bola matanya, "kalau yang adek gue bilang, dia jatuh cinta sama Antariksa. Rasanya nano-nano, manis, asam, asin, rame rasanya."
"Nanya masalah cinta tuh, yang bener ke bapak Kos." Awan menunjuk Venus dengan dagunya.
"Yoi, jelas." Venus menyisir rambutnya dengan jari, mengeluarkan pesona ketampanannya yang hanya bisa ditandingi oleh Marco. "Dengan pengalaman 1001 mantan yang gue punya, gue udah khatam masalah beginian."
"Itu mantan, apa cerita arabian night? Banyak amat 1001," dengus Bima. Venus memang playboy cap cicak, yang setiap hari selalu menambah anggota kos putrinya.
"Banyak mantan, banyak pengalaman." Venus menepuk dadanya dengan bangga. Cowok itu menoleh ke arah Antariksa, "sayangnya, gue bukan orang yang tepat untuk masalah cinta."
"Kata lo banyak mantan banyak pengalaman," sindir Antariksa.
"Masalahnya, gue nggak pernah cinta sama mantan-mantan gue." Venus terkekeh, cowok itu beralih menatap Marco. "Sebenarnya, urusan cinta yang paling pro itu, Marco."
Marco menatap Venus dengan tatapan heran. "Kok gue?"
"Lo tuh bucin banget sama Qilla, Co." Venus menarik senyum, "lo yang ngerasain jatuh cinta itu gimana."
Marco terdiam. Venus memang benar. Marco adalah cowok bucin yang sangat menyayangi kekasihnya. Apapun yang Qilla minta, Marco pasti akan dengan senang hati menurutinya. Ia juga terus berada di sisi gadis itu, sayang Marco tidak ada saat Qilla berada di masa terakhir hidupnya.
"Ah, gue nggak tahu!" Marco membuang wajahnya ke arah lain.
"Cinta itu gila," celetuk Bima. "Lo bisa jadi orang bego dengan sejuta kepribadian kalau udah kenal cinta."
"Yang suka marah-marah, tiba-tiba baik tuh termasuk nggak, Bim?" sahut Venus seraya melirik Marco.
"Wah, itu sih udah masuk level cinta mati!" Awan memanasi, "marah-marah kaga jelas, tiba-tiba adem, ntar marah lagi, tapi nggak suka dia dekat sama yang lain."
Marco menoleh ke arah para sahabatnya.
"Lo semua nyindir gue?"
"Nggak nyebut merk tapi merasa kesindir, artinya apaan tuh, Ven!" Bima menepuk bahu Venus.
"Makan Pepaya, bareng buaya.
Artinya, iyaiyaiya." Venus tergelak, begitupun dengan Bima dan Awan. Bahkan, Antariksa ikut menertawakan.
***
"Buruan, woy!"
"Iya, sabar!" Syakilla memutus sepihak teleponnya, ia kesal dengan Marco yang mendesaknya dari tadi.
Cowok itu menelepon, mengatakan bahwa ia sudah sampai dan sedang menunggu Syakilla di bawah. Namun, belum sampai lima menit ia melapor, cowok itu sudah menelepon Syakilla lagi untuk segera turun. Dasar tidak sabaraan!
"Lama banget, sih. Lo umroh dulu?" ketus Marco saat Syakilla baru saja tiba di hadapaannya.
"Naik haji," balas Syakilla tidak kalah ketus. Gadis itu menatap Marco dengan kernyitan dahi, "heh, lo malam-malam gini mau jadi tukang urut?"
"Tukang urut mbahmu!" Marco mendengus, memangnya Syakilla ini tidak tahu fashion?
"Lepas tuh kacamata, ntar lo nabrak!"
"Siapa lo ngatur-ngatur? Masuk sana." Cowok itu kemudian masuk ke dalam mobilnya.
"Dasar makhluk astral!" Geram Syakilla. Lihat kelakuan cowok itu, jangankan manis, membukakan pintu untuk Syakilla saja tidak. Eh, Syakilla tidak berharap!
***
Syakilla memasukan lima buah novel ke dalam keranjang yang Marco dorong. Saat ini, mereka sedang berada di gramedia. Percayalah, Marco yang mengajak Syakilla ke sini.
"Lo baca semua, tuh?" tanya Marco setelah melihat tumpukan novel yang Syakilla letakkan.
Syakilla menatap Marco. "Nggak, itu nanti gue blender, terus gue minum."
Marco terkekeh. "Kocak lo."
"Lah, bisa ketawa?" gumam Syakilla.
"Lo beli buku apa?" tanya Syakilla. Marco yang mengajaknya ke sini, artinya cowok itu ingin membeli buku, kan?
"Kembaran gue nitip novel, abis kata petugasnya tadi."
"Novel apa emang?"
"Cinderbella."
"Ih, gue punya. Mau minjem, nggak?" tawar Syakilla.
"Gue anti minjem, gue beli aja," cetus Marco.
Syakilla menggeleng kuat. "Ih, nggak mau. Itu novel limited edition, versi tanda tangan."
"Yaudah, ntar gue cari di gramedia lain aja."
"Dasar songong," dengus Syakilla. Keduanya pun segera menuju kasir, untuk membayar novel yang telah Syakilla pilih.
"Lima ratus dua puluh satu ribu," ujar sang kasir. Syakilla sudah ingin mengeluarkan dompetnya, namun Marco sudah terlebih dahulu mengeluarkan black card miliknya.
"Eh, gue bayar sendiri!" Syakilla berniat mengambil kembali Black card milik Marco, namun cowok itu menahan.
"Selama lo jalan sama gue, nggak ada kata bayar sendiri." Cowok itu menatap Syakilla tajam, "bagi gue, itu penghinaan."
"Silakan belanjaannya, jangan lupa datang lagi." Kasir itu memasang senyum saat Marco mengambil bungkusan berisi novel yang Syakilla beli.
"Gue bawa sendiri aja, sini." Syakilla berusaha meraih plastik novelnya, namun Marco justru mengangkat plastik itu ke atas.
"Selama lo jalan sama gue, nggak ada yang namanya bawa sendiri." Marco mengedipkan sebelah matanya, ia memegang totebag berisi novel itu dengan erat di tangan kirinya.
Dan tangan kanannya beralih fungsi untuk menggenggam tangan Syakilla.
***
Dua jam mereka berada di mall, Syakilla menyadari satu hal. Marco adalah cowok manis dengan sikap menyebalkan.
Cowok itu terus memperlakukan Syakilla selayaknya gadis, bukan musuh seperti saat mereka di sekolah. Yah, meskipun tingkah menjengkelkan Marco tidak turut hilang.
Ada satu hal lagi yang Syakilla dapati dari sikap Marco hari ini. Cowok itu, tidak mau kalah.
Saat ini, Marco sedang berada di depan doll machine. Sebuah mesin berisikan pencapit dan banyak boneka di dalamnya. Sudah hampir setengah jam Marco berdiri di sana, gigih untuk mendapatkan salah satu boneka yang ada di dalam mesin itu.
"Co, udah habis lima ratus ribu." Peringat Syakilla, "kalau lo mau boneka, mending beli, deh. Itu boneka di dalam sana kalau lo dapat, harganya juga nggak sebanding sama uang yang lo keluarin."
Marco menoleh, "ini bukan masalah uang. Ini masalah usaha."
"Beli boneka pake duit itu biasa. Tapi, perjuangan ngedapetin boneka dari mesin penipu ini luar biasa."
Syakilla menarik senyum tipis. "Lo jadi tontonan, tuh."
"Makanya gue nggak mau berhenti," sahut Marco, "harga diri gue dipertaruhkan sama mesin ini."
"Jadi, ini masalah usaha apa harga diri?" cibir Syakilla, dasar labil.
"Sekali lagi gue gagal, gue beli ini mesin." Marco menatap serius ke arah sebuah boneka yang sejak tadi menjadi targetnya.
Matanya fokus, otak kanan dan kirinya mulai bekerja sama. Tangan Marco mulai memutar tuas, kemudian memencet tombol untuk mengambil boneka incarannya.
"Dapat!" Seru Marco kegirangan. Begitupun beberapa penonton yang sejak tadi ikut gemas menonton Marco.
Syakilla menghampiri cowok itu seraya tersenyum. "Puas?"
"Iya, lah." Marco mengambil boneka yang ia dapatkan tadi, kemudian memberikannya untuk Syakilla.
"Buat gue?" tanya Syakilla seraya menatap boneka itu.
Marco mengangguk. "Cocok boneka singa buat lo, buas dan galak."
"Idih, nggak sadar diri, lo!" Hardik Syakilla, namun setelahnya gadis itu tertawa. "Iya, nggak, Yon?" gadis itu melirik ke arah boneka berbentuk singa yang tadi diberikan Marco.
"Yon?" Marco menaikkan sebelah alisnya.
Syakilla menarik senyum seraya menatap bonekanya. "Eyon, nama boneka ini."
"Boneka doang dikasih nama." Marco menggelengkan kepalanya tak habis pikir, "Eyon pula, nama apaan coba?"
"Tapi Eyon aja, biar imut." Syakilla terkekeh, membuat Marco ikut terkekeh padahal tidak ada yang lucu.
Marco menatap mesin di hadapannya, padahal ada satu boneka yang jika saja Marco memilihnya sudah pasti akan dapat dalam sekali permainan. Namun, ia memilih boneka singa itu, sampai ia harus bermain berkali-kali untuk mendapatkannya.
Syakilla memang seperti singa, iyakan?
•NEFARIOUS•
HI! JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN
FOLLOW INSTAGRAM @cantikazhr UNTUK INFO UPDATE
BOOM KOMEN YUK GUYS!!!
SHARE CERITA INI KE TEMAN-TEMAN KALIAN, YA!!!