Nathan : 4
Nathan bangun lebih awal pagi ini. Meski mimpi itu tidak hadir menghantui malamnya, namun Nathan merasa perasaan yang tidak karuan di dalam benaknya. Ada sesuatu yang mengganjal. Dan ia begitu penasaran dengan apa yang akan ia temukan dari dokumen yang dijanjikan Jacob padanya.
Nathan telah duduk di meja makan seorang diri. Meja makan yang telah lengkap dengan menu sarapan. Pelayan rumah yang menanyakan menu untuk sarapan, Nathan menolak, ia merasa cukup dengan makanan yang tersedia di meja makan saat ini. Nathan menarik salah satu kursi dan tak lama berselang, ponselnya berdering, nama sang mama muncul berikut dengan foto wajahnya.
Keputusan untuk mengabaikan panggilan dirasa paling tepat saat ini. Nathan bisa menduga apa yang akan ia dengar jika ia memutuskan untuk menjawab panggilan sang mama. Ia tak ingin paginya rusak.
“Ini dokumen yang kau perlukan,” ucap Jacob memecah keheningan Nathan yang seorang diri di meja makan. Dokumen diletakkan Jacob tepat di samping Nathan. Ia menoleh, mendongak untuk menatap sang paman yang menjulang di sampingnya sebelum Jacob berjalan menuju kursi makan tempat yang selalu ia duduki.
Dokumen beramplop coklat, tampak tertutup rapi. Jacob meraih selembar roti gandum, dan meraih botol selai coklat dan kacang.
“Bagaimana tidurmu?” tanya Jacob saat mendapati ekspresi lelah di wajah Nathan. Tak ada sahutan untuk dua detik, Nathan masih mengunyah makanan di dalam mulutnya.
“Jangan katakan kau memikirkan gadis itu,” imbuh Jacob.
“Ya, Paman benar.”
Nathan mengeluarkan suara pada akhirnya. Ia meraih gelas berisikan air putih yang berdiri tegak di sisi kanannya.
“Seperti yang aku katakan kemarin. Aku tidak akan terbebas dari perasaan ini jika aku belum meminta maaf langsung padanya.”
Keduanya saling bertatapan lurus. Mata hijau Nathan jelas ada binar kesedihan. Jacob menyadari sebutan Ice Man yang disematkan putri semata wayangnya Casey untuk Nathan memang benar. Nathan tak pernah menunjukan senyuman di wajah tampannya.
“Bagaimana dengan bisnismu bersama Luke?”
Jacob mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan. Nathan hanya tersenyum miring sambil menerima piring berisikan telur setengah matang yang dipesannya pada Nina, pelayan dirumah Jacob.
“Untuk saat ini masih restoran La Faye, Paman. Kami berencana untuk bisnis minuman yang berasal dari madu.”
“Maksudmu?” tanya Jacob tak mengerti sebelum ia memasukan potongan roti ke dalam mulutnya dan Nathan tampak menaburkan merica dan garam di atas permukaan telur setengah matangnya yang tampak merah di atas piring ceper berwarna putih.
“Mead. Aku dan Luke sedang melakukan persiapan untuk itu. Aku akan menceritakannya jika semuanya sudah berhasil.”
Terdengar rasa bangga dari suara Nathan saat mengatakannya. Terlihat lebih antusias saat membicarakan bisnis. Tampak Jacob yang menatap Nathan dengan perasaan kagum, dan semuanya berakhir saat ponsel Jacob berdering.
Kedua kelopak mata Jacob melebar, menatap Nathan.
“Oh no. Katakan aku sudah pergi, Paman,” ucap Nathan sambil mengusapkan serbet di pangkuannya untuk menyingkirkan sisa makanan di bibirnya sebelum ia beranjak dari kursi makan.
“Nathan,” panggil Jacob.
Nathan memilih acuh dan berlalu sambil melambaikan tangan ke udara. Meninggalkan Jacob sendirian dengan panggilan yang datang dari Valerie.
***
Semangat pagi yang tak pernah hilang dari dalam diri Anya. Ia bangun sebelum alarm di ponselnya berdering. Ia langsung beranjak dari ranjang dan berlari menuju kamar mandi. Ia harus membantu bibi Sue di dapur dengan semua adonan kue yang sudah disiapkan sejak malam. Anya berusaha untuk bisa membantu bibi Sue lebih banyak lagi, sampai ia benar-benar mendapatkan pekerjaan usai acara kelulusan minggu depan.
Anya mengikat rambutnya membentuk ekor kuda. Mengenakan terusan bercorak bunga-bunga dengan warna pastel, potongan dress yang pas membentuk tubuhnya yang ramping. Anya keluar dari dalam kamar dengan tampilan yang sudah segar tiga puluh menit setelahnya.
“Selamat pagi, Bibi,” sapa Anya dengan lembut lalu mencium kedua belah pipi Sue dengan manja. “Pagi, Anya sayang.”
Mata biru Anya mendapati kue-kue yang telah selesai dibuat. Masih hangat dan baru keluar dari dalam oven. Aromanya yang menggoda. Kayu manis dan gula yang bercampur dengan vanilla seakan menambah citarasa.
“Sarapan lah dulu, Anya.”
Anya menggeleng pelan, menatap Sue dengan senyuman.
“Aku belum lapar, Bibi. Biar aku membantumu.”
Tangan lincah Sue terus membentuk kue-kue di atas loyang ceper yang ada di hadapannya. Celemek bermotif kota-kotak kecil berwarna merah menggantung di pinggangnya yang lebar.
“Kau bantu Bibi mengirimkan kue-kue ini saja.”
Anya menatap ke jam dinding, dan matanya terbelalak mendapati jarum jam menunjuk pukul 8.50 am. “Ya Tuhan,” desis Anya yang membuat Sue menatap bingung. Wajah cantik Anya membeku karena terkejut. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan apa yang dilakukannya.
“Sepertinya aku salah memasang alarm,” ucap Anya sambil menatap sang Bibi dengan ekspresi tak enak. Sue hanya tersenyum.
“Jangan katakan jika alarmnya telah berbunyi dan aku mematikannya lalu tidur kembali.”
Anya menuduh dirinya sendiri di hadapan Sue, dan Sue hanya terkekeh dengan ucapan Anya. “Ya, Tuhan.” Anya mendengus sambil menggeleng dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
“Maafkan aku, Bibi.” Anya merasa tak enak dengan bibi Sue, ia melangkah mendekat untuk memeluk Sue dengan pelukan erat.
“Sudah lah, Anya. Kau terlihat lelah, makanya bibi tidak membangunkanmu, Nak.”
“Bibi,” Anya mendengus dan mempererat pelukannya.
***
Anya mengantarkan beberapa kotak kue dan terbanyak ditujukan pada restoran La Faye yang ada di salah satu ruas jalan utama kota Boston. Dengan menggunakan bus, Anya membawa tiga kotak kue dengan beraneka macam pilihan. Anya turun tepat di sebuah halte yang berada tak jauh dari restoran. Anya melangkah dengan tergesa-gesa karena waktu yang kian merambat siang.
Anya menelusuri trotoar jalanan dengan langkah lebar dan tanpa menyadari dirinya nyaris menabrak seseorang yang tiba-tiba melangkah menuju pintu yang sama dengannya. Keduanya mematung seketika, berdiri saling memandang dengan terkejut. Mata biru Anya yang berhadapan dengan mata hijau milik Nathan.
Anya merasa dunianya berhenti, pria di hadapannya menatapnya dengan mata hijau yang dingin. Begitu juga dengan pria itu, gadis di hadapannya membuatnya lupa bernapas. Mata birunya membulat menatap dirinya.
“Maafkan saya, Sir.” Desis Anya sambil tersenyum sebelum menarik kotak kuenya ke sisi lain. Bagai lepas dari lamunan, pria menarik napas lalu berkata, “It’s ok. Aku rasa kau…”
“Maafkan saya … saya tidak melihat Anda, karena saya…“
Suara Anya terdengar gugup dan takut.
“Tidak apa-apa, silahkan.” Pria itu membukakan pintu restoran dan mempersilahkan Anya untuk lebih dulu masuk. Anya melangkah dengan canggung melewati pria di hadapannya. Wajah Anya memerah dan tiba-tiba jantungnya berdetak cepat setelahnya. Anya tak tahu mengapa. Antara rasa takut, bersalah dan gugup. Begitu juga dengan pria itu. Ia memperhatikan langkah gadis di depannya yang berjalan anggun dengan dress motif bunga. Tubuhnya ramping, dan rambut coklat panjang yang di kuncir dengan pita merah bersimpul.
“Saya…” Kalimat Anya terputus dengan panggilan Luke pada pria di hadapannya.
“Nathan!” Panggil Luke dengan suara lantang dari arah pintu ruangan.
Keduanya langsung menoleh untuk mencari asal suara. Tampak Luke yang berjalan mendekat. Nathan melirik Anya yang menatapnya dan Luke bergantian. Nathan langsung menghampiri Luke dan berbisik.
“Perlakukan aku sebagai pegawaimu.”
Luke tampak tercengang. Ia melirik Anya yang memperhatikan mereka. Luke dibuat bingung untuk beberapa saat, sebelum tatapan mata Nathan memberinya sinyal aneh. “Anya,” desis Luke , ia melangkah menghampiri.
“Maaf, Sir. Saya … saya terlambat mengantarkan kue-kue ini.”
Anya mengatakannya dengan ketulusan, dan tampak jelas di mata birunya.
“Dan aku hampir menabraknya,” timpal Nathan.
“Bukan … saya yang hampir menabrak Anda,” sambung Anya.
Luke menatap keduanya bergantian dan mendapati Anya dan Nathan yang saling melirik sebelum Anya menundukkan wajahnya, seakan menutupi wajahnya yang malu.
“Sudah tidak apa-apa, Anya. Kau bisa mengantarnya ke dapur. Biar nanti pelayan yang merapikannya.”
Anya mengangguk pelan dan tersenyum sebelum ia meninggalkan Luke dan Nathan. “Saya permisi dulu.” Suara Anya terdengar lembut.
Mata hijau Nathan terus memandangi Anya hingga gadis itu menghilang di balik dinding. Nathan terjerembap dalam dunianya. Pesona Anya seakan menenggelamkannya dalam lamunan hingga Luke harus menyenggol bahunya untuk membuatnya sadar kembali.
“Namanya Anya,” ujar Luke sambil berjalan ke salah satu meja.
“Aku sudah tahu,” timpal Nathan, ia masih melirik ke arah Anya menghilang. Ia menyusul Luke dan mereka duduk berseberangan.
“Dia memang cantik, dan---”
“Sangat,” sambar Nathan cepat dengan senyum mengembang. Luke menatap rekan bisnis di depannya dengan alis naik sebelah. Luke perlu memajukan tubuhnya sedikit ke depan.
“Kau lupa minum obatmu, Nath?” tanya Luke menggoda.
Seketika Nathan langsung melemparnya dengan serbet di atas meja.
“Sial!!”
Keduanya terkekeh. Sekali lagi Nathan melirik ke belakang, ke balik bahunya.
“Dia akan muncul lagi, tenanglah. Kalian sudah berkenalan?”
Goda Luke lagi.
Nathan meringis lebar. Perasaannya tiba-tiba berubah. Kekesalannya terhadap Valerie ibunya kini berubah menjadi perasaan aneh yang bergemuruh di dalam dada bidangnya. Hanya karena bertemu dengan seorang gadis.
“Aku akan mengenalkannya padamu. Tenanglah.”
Nathan terkekeh.
“Ceritakan siapa gadis itu. Maksudku, Anya.”
Luke tak langsung bereaksi, ia memandangi rekannya dengan tatapan aneh. Wajah Nathan yang tampan jelas berubah dari wajah yang kemarin malam ia temui turun dari pesawat pribadinya. Nathan yang ada di hadapannya saat ini bagai Nathan beberapa tahun silam dengan gaya flamboyannya.
“Namanya Anya Platas.”
Luke mulai dengan suara pelan, bahkan nyaris berbisik, Luke bercerita mengenai siapa Anya sesuai dengan informasi yang ia ketahui. Anya gadis sebatang kara yang kini tinggal dengan bibinya yang seorang pembuat kue.
“Dimana kedua orangtuanya?” tanya Nathan penasaran dengan suara yang sama pelan.
“Aku tidak tahu untuk itu. Sebelumnya ia tinggal di Manhattan sebelum ia pindah ke Boston untuk kuliah.”
“Kuliah di mana?”
“Massachusetts Institute of Technology.”
“Wow,” gumam Nathan dengan perasaan terkejut.
“Dia peraih beasiswa. Gadis penjual kue yang cerdas, Nath.”
“Dan cantik,” imbuh Nathan dengan mata berbinar.
Nathan menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Ada rasa kagum yang tiba-tiba mendesir dalam dadanya. Membayangkan Anya berkuliah di Massachusetts Institute of Technology, Nathan langsung teringat dengan Casey sepupunya yang juga berkuliah di sana. Nathan kian tenggelam dalam lamunan.
“Anya.”
Suara Luke yang membuat Nathan berjingkat kaget. Anya muncul dan matanya tampak mencari ke kanan dan kiri sebelum menatap keduanya dengan lurus. Nathan bangkit dari kursi.
“Saya permisi dulu. Kuenya sudah tersedia.”
Luke menyenggol lengan Nathan yang termangu menatap Anya.
“Iya, terima kasih, Anya. O iya aku---”
“Kita belum sempat berkenalan,” sela Nathan berjalan menghampiri Anya sambil mengulurkan tangannya.
“Namaku, Nathan Grayson.”
Nathan memilih menggunakan nama keluarga sang ibu daripada nama keluarga ayahnya. Anya masih memandangi telapak tangan Nathan yang terulur padanya, Anya mengangkat wajahnya dan mendapati Nathan tersenyum manis. Anya menerima uluran tangan Nathan sambil berkata, “Namaku, Anya Platas. Kau bisa---”
“Senang berkenalan denganmu, Anya,” ungkap Nathan sambil menggenggam erat telapak tangan Anya dengan erat.
Tatapan keduanya dalam dan intens, menarik keduanya dalam pikiran masing-masing, hingga nyaris melupakan keberadaan Luke di antara mereka.
“Eheeemm,” Luke mendehem menyadarkan keduanya, Anya melepaskan genggaman tangan Nathan. Wajahnya jelas merona dan sikapnya berubah canggung. “Saya … saya permisi dulu. Sekali lagi saya mohon maaf untuk---”
“Tidak apa-apa,” ungkap Luke.
“Baiklah. Saya permisi.”
Anya melangkah mundur sebelum berbalik dan pergi meninggalkan Luke dan Nathan di tempatnya. “Dia masih akan kembali besok. Ayo, kita bicarakan bisnis kita, Bos.”
“Jangan sekali-kali kau memanggilku sebutan itu di hadapannya.”
“Kenapa?” tanya Luke bingung dan ada banyak tanya di kepalanya. Nathan tak menjawab. Ia terlampau menikmati pikirannya tentang Anya. Ia berjalan mendahului Luke untuk masuk ke dalam sebuah ruangan.
***