Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Nathan : 3

Percakapan antara Anya dan Casey sepanjang perjalanan dari kampus menuju ke rumah bibi Sue yang berada di pinggiran kota Boston menjadikan banyak bahasan yang tidak berujung. Diselingi tawa dan cibiran satu sama lain. Tak menjadikan keduanya sakit hati atau tersinggung.

“Setelah kelulusan minggu depan, apa yang akan kau lakukan, An?” tanya Casey memecah lamunan Anya. Tarikan nafas yang membuat dada gadis itu terasa lapang. “Aku akan membantu Bibi Sue. Mungkin aku akan mencari pekerjaan, agar aku dapat mermingankan bebannya.” Anya mengatakannya dengan penekanan. Ada banyak harapan yang menggurat di dalam ucapannya.

Casey menganggukan-anggukan kepala pelan bagai burung pelatuk.

“Kau sendiri bagaimana?” Anya menanyakan hal yang sama dengan Casey. Gadis tomboy itu tidak langsung menjawabnya. “Entahlah, aku belum memikirkannya. Aku—”

“Ayahmu kan—”

“Jangan pernah lagi kau katakan kalau—”

“Ya, ok,” kata Anya tak ingin melanjutkan sambil mengangkat tangan sebagai tanda pembahasan selesai. Keduanya saling melirik. Casey menghembuskan napas dengan kasar.

“Aku tak mungkin menerima tawaran Profesor.”

“Kenapa?” Casey merasa tak percaya dengan yang didengarnya.

“Aku ingin tetap tinggal di sini. Aku ingin membantu Bibi Sue.”

Terdengar suara Anya penuh harapan. Keinginan yang sudah sangat ia impikan, ia tak ingin menundanya lagi. Sepenuhnya Anya yakin dengan pilihannya. Ia telah menimbang dan memikirkan hal tersebut sejak lama.

Keheningan menyelinap di antara keduanya. Anya melayangkan tatapannya keluar jendela mobil sebelum ia menatap Casey di balik kemudi. Mobil yang dikendarai keduanya menyusuri jalan yang menyuguhkan pemandangan kota yang indah. Jalur yang nyaman untuk pengendara mobil.

“Kau tak ingin mencoba peruntunganmu di luar sana?” tanya Casey usai keduanya lama diam. Anya terdiam. “Bagaimana jika suatu hari nanti kau menikah dan suamimu membawamu keluar dari Boston? Meninggalkan Bibi Sue dan Fedra yang menyebalkan itu,” racau Casey cepat seakan ia lupa untuk bernapas.

Anya melirik sambil tersenyum manis. Ia terkejut dengan apa yang dikatakan Casey sahabatnya. Anya tak pernah berpikir sejauh itu.

“Kenapa kau berpikir sampai arah itu? Aku---”

“Oh God!” pekik Casey memotong kalimat Anya. “Jangan katakan kau hanya akan menghabiskan usiamu di Boston dengan mengantarkan kue Bibi Sue. Ya Tuhan Anya. Kau gadis---”

“Kau cerewet,” timpal Anya spontan.

Anya tersenyum.

“Aku mengatakan yang sebenarnya, An.”

“Kau sendiri apa yang akan kau lakukan?” tanya Anya mengalihkan topik pembicaraan.

“Jangan mengalihkan pembahasan. Kau benar-benar menyebalkan,” timpal Casey sambil mendengus.

Anya terkekeh.

“Aku akan kembali ke Manhattan.” Casey mengatakannya sebelum kerlingan sebelah mata dengan jail sambil tersenyum lebar kearah Anya. “Aku memiliki Bibi dan juga Sepupu yang tampan.”

“Oya?”

Casey melirik Anya curiga.

“Oya untuk aku memiliki bibi dan sepupu di Manhattan, atau sepupuku yang tampan?” tanya Casey untuk keambiguan kalimat Anya. Kedua bertatapan saat mobil berhenti dikarenakan lampu jalanan berwarna merah.

“Aku---”

“Namanya Nathan, dia tampan. Tapi dia tinggal di Vancouver.”

Mobil kembali berjalan membelah keramaian jalanan kota. Matahari kian tinggi di angkasa. Tampak perkasa dengan pijar terangnya.

“Aku akan mengenalkannya padamu,” imbuh Casey dengan antusias.

Anya tersenyum lucu melihat perubahan sikap Casey. “Tidak perlu, aku takut jika sepupumu jatuh cinta padaku, Cas,” seloroh Anya sekenanya.

Seketika Casey bereaksi dengan mulut menganga sambil menatap Anya dengan terkejut. Matanya memicing dengan senyum yang tertahan

“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Anya bingung.

“Ya Tuhan, itu berarti kita akan menjadi saudara ipar, An,” balas Casey sambil menatap Anya sepenuhnya dengan wajah jenaka. Seketika Anya terkekeh.

“Kau gila ya. Aku tidak rela punya saudara ipar sepertimu,” seloroh Anya. Kedua tertawa bersama. Tawa panjang yang memenuhi seisi mobil yang mereka kendarai.

***

Nathan menginjakkan kakinya di bandara kecil Bob Hope di luar dari Burbank, tempat para bintang Hollywood menyimpan pesawat pribadinya di sana. Nathan menuruni pesawat dengan perasaan yang berbeda. Usai banyak tahun yang ia lalui dalam perasaan bersalah, kini ia telah kembali.

“Paman, aku akan langsung menemuimu malam ini juga.”

Nathan mengirimi pesan singkat pada Jacob, pamannya. Nathan memilih untuk mengabaikan mobil yang selalu tersedia untuk keluarga Stephenson. Ia memilih untuk berkendara bersama Luke Michael salah satu rekanan bisnisnya.

“Aku tak mengira kau akan kembali ke Boston pada akhirnya, Nath.”

Luke mengucapkannya dengan perasaan yang masih tak yakin. Nathan telah meninggalkan Boston sejak tragedi malam nahas beberapa tahun silam.

“Kau akan menetap atau hanya …” Kalimat Luke menggantung, ia melirik Nathan yang duduk di kursi di sampingnya. Nathan memamerkan seulas senyum di wajah tampannya. “Aku masih belum tahu.”

Tik tok tik tok

Nathan tiba di kediaman pamannya saat malam kian larut. Sosok keponakan yang selalu membuat Jacob bertanggung jawab. Ia selalu menganggap Nathan bagai anak kandungnya. Anak laki-laki yang tak pernah ia miliki.

“Paman senang kau kembali, Nath,” ucap Jacob sambil menepuk bahu kokoh Nathan. Keduanya berdiri di balkon lantai dua rumah jacob. Memandangi langit malam kota Boston dengan ditemani sebotol wine.

“Aku juga senang, Paman,” timpal Nathan sebelum ia menyesap wine dalam gelas kaca berkaki yang dipegangnya. Keduanya saling bertatapan sebentar.

“Aku ingin menemui gadis itu,” Nathan mengungkapkan niatnya sambil menatap lurus kedepan. Jacob melirik Nathan dari sudut matanya. Tampak Nathan yang menghela napas dalam, meneguk kembali wine di dalam gelasnya.

“Kau yakin?” tanya Jacob di antara keheningan malam. Hanya ada suara serangga yang berdecit samar.

“Aku ingin menemuinya. Meminta maaf padanya.”

Nathan menghela napas beratnya, berdiri menghadap Jacob. Ada binar perasaan mendalam dari kedua mata hijau milik Nathan. Ada rasa bersalah yang bergelayut hebat. “Aku ingin mengakhiri perasaan bersalahku.”

“Semua yang kau lakukan selama ini sudah cukup, Nath.”

“Tidak, Paman. Sebelum aku mendapatkan kata maaf langsung darinya.”

Suara yang terdengar mantap dan penuh keyakinan. Nathan ingin terbebas dari bayang-bayang malam kelam itu. Yang dilakukan Nathan untuk gadis itu sesungguhnya telah melebihi dari apa yang ditawarkan kedua orangtuanya kala itu.

“Kau terlalu menyalahkan dirimu, kau---”

“Aku telah membunuh ayahnya,” selak Nathan dengan ekspresi serius dan tatapan yang tajam. Jacob menepuk bahu Nathan pelan, tersenyum padanya untuk menyingkirkan ketegangan suasana dalam pembicaraan kali ini.

“Kau tidak membunuhnya, itu kecelakaan.”

“Andaikan aku tidak mabuk. Aku tidak akan--”

“Sudahlah,” potong Jacob cepat. Merangkul bahu Nathan. Jacob selalu memperlakukan Nathan bak anak kandungnya. Ia begitu menyayangi keponakannya, Nathan. Terutama setelah kematian Rodrix, ayah Nathan.

Keheningan yang menyusup tak berlangsung lama dengan kemunculan Casey dengan keceriannya.

“Wohooooo, lihat siapa yang aku temui di sini?!” pekik Casey yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Suaranya terdengar antusias dan wajahnya tampak bahagia dengan apa yang dilihat. Jacob dan Nathan saling melirik sebelum kembali fokus pada Casey.

Nathan menatap Casey dengan tatapan dingin. Namun Casey tak tersinggung. Keduanya bertatapan aneh sebelum akhirnya “Ice man, please. Aku sebal dengan wajahmu yang jelek itu,” seloroh Casey sambil berjalan mendekat. Dan Nathan tak pernah berhasil untuk membeku saat berhadapan dengan Casey. Ia akan terkekeh.

“Kau tetap tomboy yang jelek, Cas.”

“Oh Ice Man, kau tetap menyebalkan. Ayo peluk aku,” tukas Casey sambil merentangkan kedua tangannya. Keduanya saling berpelukan di hadapan Jacob yang hanya tersenyum menatap keduanya.

“Kau pulang untuk menetap atau hanya … oh Tuhan bahkan aku lupa kalau kau tidak pernah pulang,” seloroh Casey usai melepaskan pelukan Nathan dan menghempaskan tubuhnya ke sofa.

“Nathan akan tinggal di sini untuk beberapa bulan, Sayang.”

Perkataan Jacob membuat Casey terbelalak. Mulutnya membentuk huruf O, menatap Nathan yang sedang tersenyum manis padanya.

“Aku harap tidak ada pikiran konyol dalam otakmu, Cas,” tuduh Nathan seakan mampu membaca pikiran sepupunya yang tomboy namun cantik. Casey terkekeh setelah, dan ia tahu apa yang dikatakan Nathan memang benar.

“Aku punya rencana untukmu, Brother.” Casey mengatakannya dengan santai tanpa beban. Tidak bagi Nathan, ia mendengus sambil berkata, “Oh God. Paman, kau lihat anakmu yang menyebalkan.” Nathan menunjuk ke arah Casey yang duduk di sofa sambil tersenyum penuh misteri. Jacob hanya terkekeh pelan.

“Papa, Ice Man butuh seorang kekasih, benar, kan?”timpal Casey seakan sedang mencari sekutu untuk menyerang Nathan.

“Kau mirip, Mama,” seloroh Nathan yang membuat Casey membulatkan matanya ke arah Nathan.

“Damn! I'm not as old as your mom, Nath,” ucap Casey kesal sambil melempar sebuah bantal kearah Nathan dan tepat mengenainya, setelahnya mereka tertawa bersama dengan penuh kebahagiaan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel