Bab 4. Ketegasan Pimpinan
Dean menyadari respon positif lewat tatapan Kensky. Diusapnya pipi lembut gadis cantik itu dengan jempolnya. "Kau sekarang milikku, Sky. Sekarang dan selamanya," bisiknya parau.
Kensky bisa merasakan tubuhnya mulai merespon. Dengan cepat ia menepiskan tangan lelaki itu dan membelakanginya. "Aku tahu, tapi tolong beri aku waktu sampai aku percaya bahwa Anda benar-benar calon suamiku."
Dean mendekatinya lagi dan langsung melingkarkan kedua tangannya di perut Kensky. Gadis itu terkejut dan hendak melepaskan diri, tapi Dean langsung mengeratkan pelukannya dan meletakan dagunya di bahu Kensky.
"Aku akan setia menunggumu, Sayang. Percayalah padaku, aku adalah lelaki masa depanmu." Ia mengecup leher Kensky. Aroma buah dari tubuh gadis itu membuatnya mabuk dan tak mau menjauhkan hidungnya dari sana. Dan ketika ujung lidah Dean menyentuh leher itu, saat itulah keperkasaannya mengeras.
Kensky merasakan hal yang sama, bahkan tanpa sadar ia mengeluarkan desahan pelan saat rasa dingin dan nikmat menyentuh lehernya. Tak ingin terhanyut oleh perasaan, Kensky dengan cepat melepaskan diri dan menjauhi Dean.
"Aku akan percaya jika semua bukti sudah kuat dan aku harap Anda bisa bersikap lebih sopan terhadap karyawan lain, termasuk padaku, Mr. Stewart," Wajah Kensky berubah garang saat menatap Dean.
Hal itu pun membuat Dean terkesan. Dilihatnya dada gadis itu naik turun. Ia tahu kalau Kensky merasakan hal yang sama: bergairah. "Aku mengerti. Jadi kau ingin kita berpura-pura untuk sementara waktu?"
"Setidaknya begitukan sikap antara atasan dan bawahan jika berada dalam lingkungan pekerjaan?"
"Baiklah, Sayang, aku akan menuruti semua kemauanmu," kata Dean lalu mendekati Kensky dan memeluknya lagi.
Ingin sekali Kensky membalas pelukan itu, tapi di satu sisi ia juga ingin melabrak Dean karena sikapnya yang sangat tidak sopan. Pengakuan lelaki itu bahwa dirinya adalah calon suami membuat Kensky cukup terkejut. Tapi meski terlihat sepuluh tahun lebih tua darinya, wajah Dean sangat mempesona dan Kensky pun menyukainya.
Meski begitu Kensky tak ingin senang dulu dan tak ingin menampakan rasa sukanya. Ia harus mengumpulkan bukti nyata untuk meyakinkan pengakuan Dean, termasuk menanyakan perjodohan itu secara langsung kepada ayahnya. Kensky ragu jika ayahnya mau bicara, tapi ia harus memberanikan diri demi masa depannya.
Di sisi lain.
Dengan kesal Soraya berdiri menghampiri si sekertaris. "Kenapa lama sekali? Sudah satu jam lebih aku menunggu di sini. Apa selama itukah waktu untuk peserta wawancara di perusahaan ini?" ketusnya.
Sekertaris ikut berdiri. "Maaf, Nona Soraya, tapi Anda harus menunggu. Biasanya pak Dean akan memberikan evaluasi langsung bagi calon karyawan baru di perusahaan ini."
Soraya terdiam. "Evaluasi?" tanyanya pelan.
"Iya, pak Dean akan memberikan beberapa pertanyaan kepada calon pegawai baru. Dan jika berhasil menjawab, saat itu juga beliau akan menerima peserta hari itu juga. Saya rasa nona Kensky sedang dievaluasi, itu sebabnya dia lama."
"Oh, begitu," Soraya tampak gelisah, "Hmm, apa bisa Anda berikan bocoran tentang soal yang akan diberikan Dean nanti?"
Sekertaris itu menatap aneh. Dalam hati ia berkata, "Siapa dia? Kenapa dia menyebutkan nama kecilnya pak Dean?" Selama dua tahun sekertaris itu bekerja di Kitten Group, tidak ada seorang pun yang berani menyebut sapaan akrab bagi sang pemimpin sekaligus pemilik perusahaan seperti itu, "Maaf, Nona, tapi hal itu bersifat pribadi. Hanya beliau yang tahu soal itu karena beda divisi beda pertanyaan. Jadi, sebaiknya Anda duduk kambali dan menunggu giliran berikutnya."
Dengan kesal Soraya kembali ke tempat duduknya. Dengan tatapan tajam ia menatap sekertaris yang sudah duduk kembali itu sambil menatap layar komputer. "Lihat saja nanti. Begitu aku diterima di perusahan ini, aku akan menyuruh Dean untuk memecatmu," katanya dalam hati.
Clek!
Bunyi handle pintu membuat Soraya dan sekertaris itu menoleh. Dengan cepat si sekertaris berdiri dan menyapa Kensky yang baru saja keluar.
"Bagaimana, Nona. Apa kata pak Dean?" Ia tampak penasaran dan antusias.
"Oh, jadi panggilannya pak Dean. Tidak salah berarti aku," kata Kensky dalam hati, "Aku diterima, Bu Sekertaris," jawabnya sambil tersenyum lebar.
Wanita itu terkejut senang. "Benarkah? Selamat ya, Nona Kensky."
Soraya mendekati mereka berdua lalu berdiri tepat di depan meja sekertaris yang tak jauh dari ruangan Ceo. "Jangan senang dulu, Sky, pasti juga kau tidak akan bertahan lama di perusahaan ini."
Kensky tidak menggubris. Ia hanya melirik Soraya dan kembali menatap sekertaris itu. "Terima kasih banyak, ya. Aku permisi dulu, kata pak Dean besok aku sudah bisa memulai kerja di kantor ini."
"Iya. Semangat, ya? Sampai ketemu besok."
"Terima kasih, Bu. Sampai nanti."
Sekertaris itu menatap Kensky yang kini berjalan menuju lift. Setelah tubuh seksi gadis itu menghilang di baliknya, ia menatap Soraya yang juga sedang menatap Kensky dengan tatapan iri. Dengan tatapan Soraya seperti itu membuat sekertaris itu yakin kalau wanita yang wajahnya dipenuhi makeup tebal itu adalah saudara tiri Kensky. Meski belum tahu kebenarannya, tapi ketidaksukaan Soraya kepada Kensky membuatnya sangat yakin.
Soraya balas menatapnya. "Sekarang giliranku kan, Ibu Sekertaris yang terhormat?" katanya penuh penekanan. Wajahnya masih terlihat garang.
Sekertaris itu tak kalah tegas. "Iya, Nona. Tapi tunggu sebentar, aku harus mengkonfirmasinya dulu dengan pak Dean."
Soraya menatap tajam. Rasanya ia ingin menarik rambut wanita itu untuk mengajaknya berkelahi. Tapi demi menjaga nama baik, Soraya pun membiarkan sekertaris itu berjalan memasuki ruangan Ceo. "Sombong sekali dia!" ketusnya, "Kita lihat saja nanti, akan kubuat kau dan Kensky tidak akan betah kerja di sini."
Sejurus kemudian sekertaris itu keluar. "Anda sudah diperbolehkan masuk, Nona Soraya."
Soraya tak menjawab. Ia malah menatap sekertaris itu dengan tatapan meremehkan dari atas ke bawah dengan alis mengerut lalu masuk ke dalam ruangan Ceo.
Sekertaris itu menggeleng kepala. "Sangat disayangkan, cantik-cantik tapi sombong," katanya saat Soraya menghilang di balik pintu.
Di sisi lain.
"Selamat pagi, Dean," sapa Soraya begitu melihat lelaki berjas hitam itu sedang duduk menatap dokumen di atas meja.
Dean terkejut dan menatapnya. "Berani-beraninya kau memanggilku seperti itu, Nona! Siapa kau?"
Soraya tersenyum samar. "Maaf sebelumnya. Tapi meskipun belum pernah bertemu secara langsung, aku rasa kau pasti sudah tahu siapa aku," Soraya melangkah pelan dan mendekati meja Dean lalu berkata, "Kalaupun kau tidak mengenaliku, tapi kau kenal ibuku, kan?" Soraya tersenyum licik.
Mata Dean menatap tajam ke arah Soraya. Sesaat ia melirik ke arah berkas yang ada di atas meja. "Oh, jadi kau yang bernama Soraya Oxley?"
"Benar, aku Soraya Oxley. Aku rasa kau tidak usah berpura-pura lagi, bukannya kau punya perjanjian khusus dengan ibuku? Dan karena perjanjian itu kau menyuruhku hadir di kantor ini untuk ikut wawancara, kan?"
Ekspresi Dean biasa-biasa saja. Ia bahkan tak berkata apa-apa ketika Soraya sama sekali tidak menghargainya. "Baiklah. Tapi sebelum itu aku mengajukan satu pertanyaan untukmu, Nona Oxley?"
"Tentu saja, calon suamiku. Apapun yang ingin kau tanyakan, aku pasti akan menjawabnya."
Dean menyeringai samar. "Apa hubunganmu dengan Kensky Oxley?"
Ekpresi Soraya langsung berubah begitu mendengar nama itu. Ia berdecak lalu menjawab, "Oh, dia?" katanya dengan nada mengejek. Ia berjalan pelan mendekati jendela, "Kensky saudara tiriku. Ayahnya menikah dengan ibuku saat aku berusia delapan tahun dan sejak menjadi ayah sambungku, ayahnya Kensky menyuruhku menggunakan nama belakangnya. Mungkin dia melakukan itu karena merasa bertanggung jawab setelah menikahi ibuku."
Dean tersenyum samar. Tanpa basa-basi ia berkata, "Baiklah, Soraya, kalau begitu kau diterima."
Soraya terkejut. Dengan cepat ia berbalik menatap Dean. "Aku diterima? Tanpa wawancara?"
"Benar. Hari ini juga kau sudah bisa bekerja di sini sebagai asisten sekertaris."
"Sekertaris? Kau serius, Dean?"
Dean berdiri dari kursinya dengan kedua tangan di dalam saku celana. "Asisten sekertaris, Soraya. Bukan sekertaris"
"Ya, seperti itu. Oh, Tuhan, aku senang sekali. Terima kasih banyak, Sayang."
"Tapi dengan satu syarat," kata Dean dengan nada mengancam.
"Apa? Katakanlah." Soraya menatapnya.
"Kau harus menjaga sikap. Di perusahan ini ada aturannya; sesama karyawan dilarang berpacaran. Kau mengerti maksudku, bukan? Jadi kau jangan pernah memanggilku lagi dengan sebutan seperti tadi. Dan ingat," Dean mengintari meja dan berdiri di depannya, "jika kau tidak berhasil menjaga sikapmu itu, aku tidak akan segan-segan memecatmu."
Soraya menelan ludah. "Apa kau setega itu pada calon istrimu sendiri, Dean?"
Lelaki itu mengintari meja lalu kembali ke kursinya. "Aku bahkan tak akan segan-segan membatalkan perjodohan kita kalau kau membuat masalah, soraya."
Soraya semakin takut. Dilihatnya Dean meraih gagang interkom sambil menekan tombol.
"Masuklah, Kim," titahnya lalu meletakan kembali gagang interkom itu. Ia menatap Soraya dengan tatapan marah.
Soraya yang berdiri sedikit jauh darinya pun tampak berpikir dan bertanya-tanya dalam hati, "Siapa itu Kim?" Sejurus kemudian sosok gadis yang merupakan sekertarisnya muncul dari balik pintu. "Oh, jadi namanya Kim," kata Soraya dalam hati.
"Kim, hari ini kamu bisa langsung mengajarkan Soraya. Dia akan menjadi asistenmu," kata Dean dengan nada tegas.
"Kenapa harus dia, sih? Kenapa bukan Kensky saja?" katanya dalam hati, "Baik, Pak."
Bersambung___