Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Meet You (2)

"Da-Davin?" Shelyn membelalakan mata, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Davin? Yang benar saja. Dia tidak salah lihat, 'kan?

Gadis itu masih membeku sementara Davin justru tersenyum padanya.

"Still remember me?" tanya pemuda itu.

Shelyn hanya tertegun. Bibirnya terkunci rapat menatap Davin yang tiba-tiba saja hadir di hadapannya. Mereka saling bertatapan selama beberapa saat. Ada kerinduan yang terpancar di antara keduanya dan waktu tiba-tiba saja terasa seperti berhenti berjalan. Seakan Tuhan memberi kesempatan pada keduanya untuk saling memandang dan melepaskan kerinduan yang telah lama terpendam.

"Hei, He's there. Catch him! Don't let him go away!" Suara teriakan gangster tadi mengejutkan Davin dan Shelyn.

Davin tersentak, lalu buru-buru menarik Shelyn berlari bersamanya. Seorang dari komplotan gangster tersebut mengeluarkan tembakan ke arah Davin. Tembakannya mengenai tiang lampu jalan.

Davin menundukkan kepala sejenak mendengar suara peluru menghantam besi dengan keras. Kemudian menoleh pada Shelyn yang masih berlari bersamanya. Tangan mereka terjalin erat sepanjang berlari dari kejaran para gangster tersebut. Tak ada ketakutan di wajah Shelyn, yang ada hanyalah pancaran rasa tidak percaya.

Kemunculan Davin secara tiba-tiba terasa bagai mimpi bagi gadis itu. Davin yang menggenggam erat jemarinya dan berada di hadapannya, Shelyn berharap semua ini bukanlah sebuah mimpi. Bukan hanya sekedar halusinasi. Betapa ia selama ini berharap Davin baik-baik saja dan mereka bisa bertemu suatu saat nanti.

Lantas, sekarang pemuda itu tiba-tiba saja muncul dan sedang menggenggam tangannya. Shelyn benar-benar merasa takjub. Ia bahkan tidak menghiraukan suara letusan pistol di dekatnya ataupun teriakan ketakutan orang-orang di sekelilingnya. Seluruh inderanya lebih terpusat pada Davin. Davin!

Mereka berlari menyusuri trotoar jalan. Beberapa mobil mengklakson liar pada pejalan kaki yang sedang berhamburan panik karena kemunculan gangster membawa pistol.

Davin mengajak Shelyn berbelok. Mereka menemukan sebuah bangunan rumah kosong di ujung jalan, lalu keduanya bersembunyi di sana. Davin dan Shelyn berdiri berhadap-hadapan, saling terengah-engah. Napas mereka bahkan bertemu satu sama lain. Sesekali Davin mengawasi sekitar, memastikan para gangster tersebut tidak menemukan mereka.

"Kenapa kamu bisa ada di sini, Vin?" tanya Shelyn. Mata bulatnya memandang Davin lekat-lekat. Keningnya berkerut dalam.

Davin tersenyum melihat kebingungan Shelyn yang terasa menggemaskan baginya. Ya, wajar saja gadis itu merasa heran dan bingung, sebab selama ini Davin tidak pernah menyapanya. Shelyn mungkin saja mengira Davin sudah mati.

"Vin, gue udah deket di lokasi lo. Lo dimana?" Suara Dimas terdengar melalui earpiece yang dipakai Davin.

Davin menjulurkan kepalanya ke balik tembok dan melihat sebuah mobil sedan berwarna merah sedang menyusuri pelan badan jalan. Davin langsung melambaikan tangan. Dimas yang melihat segera menghentikan mobilnya.

"Vin, ayo!"

"Oke. Tunggu bentar, Dim!" Davin mengganggukkan kepala dan berbalik menatap Shelyn yang terus menatapnya bingung. Ada sejuta pertanyaan yang siap dilontarkan Shelyn kala Davin membaca ekspresinya.

Davin merogoh sakunya dan memberikan sesuatu pada Shelyn. "Akan saya jelasin nanti. Ini kartu nama saya. Call me maybe," katanya sambil memberi kode menelepon menggunakan tangan.

Shelyn menerima kartu nama tersebut tanpa mengatakan apa-apa. Sebelum pergi, Davin mengecup pipinya dengan lembut yang membuat Shelyn tersentak, tetapi sedetik kemudian gadis itu tersenyum. Davin mengedipkan mata, lalu berlari menuju mobil Dimas, meninggalkan Shelyn yang masih tertegun.

"Jadi, lo udah ketemu sama Shelyn?" tanya Dimas begitu Davin masuk ke dalam mobil. "Gimana bisa?"

Davin menatap ke kaca spion. Shelyn terlihat sedang menunduk, membaca kartu nama yang diberikannya tadi. Bisa ia lihat, bibir gadis itu menyunggingkan senyum. Davin merasakan jantungnya berdebar senang. Ia menyandarkan tubuhnya ke jok sementara Dimas membawa mobil mereka menyongsong jalanan kota Paris menuju markas.

Mereka sampai sepuluh menit kemudian. Pak Mathias dan Eric sudah menunggu cemas di sana bersama Dara dan juga Rian. Mereka berada di apartemen sewaan mereka. Davin dan Dimas langsung mengempaskan tubuh mereka ke sofa.

"Jadi apa yang terjadi di sana?" tanya Pak Mathias ingin tahu.

"Kacau, Pak! Ada perempuan yang mengacau. Padahal kita bisa aja menangkap Danielo kalau nggak ada kekacauan itu," beritahu Dimas sambil mendesah jengkel. Lalu, ia menoleh pada Dara dan Rian. "Gimana sama Danielo? Kalian berhasil ngejar dia?"

"Kami kehilangan jejak. Anak buahnya banyak banget yang ngelindungin dia," sahut Dara.

"Oke, nggak papa. Kita masih punya waktu. Akan kita susun rencana berikutnya," kata Eric tenang. "Ngomong-ngomong soal pengacau, saya sudah berhasil mendapatkan identitas mereka."

Semua orang langsung menatap Eric dengan penasaran. Eric memberikan sebuah foto bergambar wanita ke atas meja. Davin seketika tersentak kaget.

"Ini wanita yang mengacau di tempat perjudian tadi," serunya.

"Dan yang mengacau di Paradis Le Soir beberapa malam lalu," sambung Eric.

"Wah, ini bener-bener menarik," komentar Rian.

"Jadi siapa wanita ini?" tanya Davin.

"Menurut kabar yang saya dapatkan, wanita ini adalah orang Jepang. Dia terlibat dengan gangster Yakuza. Masih belum pasti apa motif yang dimiliki si wanita ini. Kenapa dia menyerang Danielo Monarez. Saya masih terus menyelidiki," jelas Eric.

Davin merasakan ponselnya bergetar. Ini adalah ponsel pribadinya, sedangkan ponsel yang diberikan Eric kemarin dipakai hanya untuk bertugas. Davin langsung terduduk tegak saat mengetahui siapa yang mengirimkan pesan padanya.

Hai, Vin ... ini nomor aku.

Shelyn.

Tanpa menunggu lama, Davin langsung membalas pesan tersebut.

Davin:

Hai, Shel...

Malam ini punya waktu?

Shelyn:

Kenapa?

Davin:

Kayaknya saya butuh tourguide untuk nemenin saya keliling Paris.

Shelyn:

Oke ... dengan senang hati.

Davin:

Ketemu jam tujuh malam ini?

Shelyn:

Dimana?

Davin:

Terserah kamu ...

Shelyn:

Di Saint Lambert aja...

Kamu tahu tempat itu?

Davin:

Nggak masalah.

Saya akan ke sana ...

Davin memasukkan kembali ponselnya dengan hati berbunga. Setelah beberapa kali menunda, akhirnya semesta mempertemukan mereka lagi dengan cara yang sederhana.

o0o

Shelyn mematut-matut dirinya di depan cermin. Sudah hampir dua jam ia mengobrak-abrik isi lemari pakaiannya, mencari baju yang pas untuk dikenakan.

Setengah jam lagi waktu pertemuannya dengan Davin. Ia merasa perutnya mulas. Tak menyangka akan bertemu dengan pemuda yang selama ini masih mengisi relung hatinya. Dan pemuda itu ternyata baik-baik saja. Ini sungguh hal yang sangat mengejutkan sekaligus membahagiakan untuknya.

Shelyn menepuk-nepuk kedua pipinya. Rasanya masih seperti mimpi. Terlalu indah, terlalu memabukkan, tetapi ini memang nyata.

Ponsel gadis itu tiba-tiba berdering. Shelyn terlonjak kaget dan buru-buru mengangkatnya. Panggilan dari Bara.

"Ya, Bar?" sapa Shelyn di telepon.

"Hai, Shel! Kamu nggak lupa, 'kan?"

Shelyn menepuk dahinya. Ia terlupa dengan janjinya bersama Bara. Bagaimana ini? Davin juga ingin bertemu dengannya malam ini.

Shelyn menggigit bibir bingung. Namun, ia harus mengambil keputusan sekarang juga dan ia tidak mungkin membatalkan janjinya bersama Davin. Itu tidak mungkin.

"Ehm ... Bar, sori kayaknya aku nggak bisa. Aku punya janji lain," ucap Shelyn dengan tak enak hati.

Bara terdengar mendesah kecewa. "Sayang banget. Ada yang mau aku bicarain sama kamu sebelum aku pergi."

"Aku ... bener-bener nggak bisa. Gimana kalo besok?" Shelyn mencari alasan. Ekor matanya melirik pada jam yang tergantung di dinding. Sudah hampir pukul 7 malam. Ia harus bergegas.

"Bar, nanti aku telpon lagi, ya. Aku harus pergi sekarang. Sampai nanti!" Tanpa menunggu jawaban dari Bara, Shelyn langsung menutup teleponnya dan berpakaian.

Selesai bersiap, ia langsung menghambur keluar dari apartemennya menuju tempat pertemuannya dengan Davin sesuai yang mereka janjikan di Saint Lambert. Sebuah arena taman yang sering Shelyn singgahi kala senggang untuk sekedar bersantai atau menghabiskan waktu.

Taman tersebut terletak di pusat kota Paris. Berjarak sekitar 10 blok dari apartemen Shelyn. Gadis itu tak henti-henti tersenyum sepanjang perjalanannya menuju tempat itu. Ia sudah tidak sabar untuk segera sampai.

Udara malam di musim semi masih terasa dingin. Shelyn menghirup napasnya dalam-dalam saat angin sepoi-sepoi membelai lembut wajahnya. Ia mengenakan baju terusan bahan rajut dan sepatu boots pendek. Sekali lagi tangannya merapikan rambutnya yang tergerai. Memastikan bahwa penampilannya telah sempurna. Sudah empat tahun tak berjumpa. Tentu saja Shelyn merasa deg-degan.

Begitu sampai di tempat yang dituju, Shelyn mengedarkan pandangan dan terpaku sesaat. Di sana tak jauh dari kolam air mancur yang berada di tengah taman, berdiri sosok yang sepanjang hari ini tak berhenti membuat jantung Shelyn berdebar kencang. Sosok yang selalu berhasil membuat sudut bibir Shelyn melengkung dengan sempurna ke atas.

Shelyn menahan napasnya sejenak kala sosok itu berbalik menghadap dirinya. Sinar lampu taman yang temaram menyinari wajah sosok itu dan menjadi latar belakang indah dalam pandangan Shelyn.

Shelyn mengerjap sementara Davin tersenyum padanya, lantas berjalan mendekat.

"Hai!" sapanya.

Shelyn balas tersenyum canggung. "Hai, Vin!"

"Apa saya ganggu waktu kamu?" tanya Davin.

Shelyn cepat-cepat menggeleng. "Nggak, Vin. Aku lagi senggang banget saat ini."

"Great!" gumam Davin.

"Apa kamu udah nunggu lama?"

Davin menatap arlojinya sambil mengendikkan bahu. "Mungkin sekitar lima menit lebih awal."

Shelyn mengangguk pelan dan menatap Davin malu-malu. Ada rona merah bersemu di wajahnya saat Davin mengamatinya lekat-lekat. Gadis itu tidak tahu harus berkata apa. Ia masih merasa ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan.

"Gimana kabar kamu, Shel?" tanya Davin setelah mereka terdiam beberapa saat.

Shelyn mendongak menatap Davin. "Aku baik-baik aja kok, Vin. Kamu sendiri ... yah, setelah tertembak ... aku cuma nggak nyangka kamu bakal ada di sini ...."

Davin tersenyum. "Kamu pikir saya udah meninggal?"

Shelyn tergagap. "Aku ... maksud aku nggak begitu." Gadis itu tertunduk dengan rasa bersalah.

"Saya baik-baik aja, Shel. Seperti yang kamu lihat." Davin masih tersenyum.

Shelyn mengangkat kepalanya, menatap Davin. Lalu, bibirnya menyunggingkan senyuman tipis.

"Well, apa kita cuma akan berdiri di sini aja dan nggak kemana-mana?" tanya Davin setelah mereka hanya saling bertatapan canggung.

Shelyn tertawa pelan. "Oke. Kamu sendiri mau kemana?"

Davin menghela napas. "Temenin saya jalan-jalan malam ini, ya!" katanya, lalu meraih pergelangan tangan Shelyn dan menggandengnya erat-erat.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel