Bab 6
Sean membawa Vely ke kamar dan membaringkan Vely di atas ranjang. Dia masih menggerutu. Merasa kesal pada Vely yang pingsan dan merepotkannya.
"Udah bawa sial, merepotkan lagi," dengus Sean kesal. Dia berdiri di pinggir ranjang dan menatap Vely yang tak sadarkan diri. Masih merasa tak percaya kalau dia sudah menikahi Vely.
Sean masih merasa kalau Vely itu tak cocok bersanding dengannya. Terlalu banyak perbedaan diantara mereka. Lagi pula, mereka juga tak akan seperti ini jika saja Wida tak salah paham dan mau mendengarkan alasan mereka.
"Kak," suara seseorang membuat Sean berbalik. Dia menatap ke arah pintu dan di sana, Vino, adik kedua Sean berdiri sambil menyandar pada kusen pintu.
"Apa?" tanya Sean malas. Vino berjalan masuk dan mendekati Sean. Berdiri di samping Sean dan ikut menatap Vely.
"Apa kau buta? Kenapa kau memilihnya menjadi istrimu? Atau mungkin, kau di guna-guna?" tanya Vino.
"Kau pikir aku mau menikahi gadis culun seperti dia?" tanya Sean balik.
"Kalau bukan karena paksaan Mama, aku juga tidak mau," ucap Sean dengan sebal. Vino masih setia menatap Vely yang memejamkan mata.
"Apa kau tahu dia siapa?" tanya Sean. Vino mengangguk.
"Dia satu sekolah denganku. Penampilannya sangat membuatku risih. Apalagi, tompel itu. Jauh dari kata cantik," jawab Vino. Sean mengangguk pelan.
"Aku tahu itu," balas Sean pelan. Vino pun tertawa kecil. Berbalik dan hendak pergi dari sana.
"Nasibmu sangat mengenaskan, Kak. Menikah dengan itik jelek yang sangat tak pantas bersanding denganmu," ucap Vino. Sean yang pada dasarnya memang tak menyukai Vely pun membenarkan ucapan Vino.
"Satu lagi. Kau harus cari tahu. Bisa saja Mama di guna-guna olehnya hingga Mama memaksamu untuk menikahinya," lanjut Vino seraya berjalan pergi keluar dari kamar. Sean diam tak membalas. Namun, hati kecilnya menyangkal ucapan Vino barusan. Dia rasa, tak mungkin jika Vely melakukan itu. Karena jelas dia masih ingat bagaimana awal semuanya terjadi.
Tapi, bagaimana kalau ucapan Vino benar adanya?
***
Vely mengerjap pelan dan membuka matanya perlahan. Rasa pusing mendera kepalanya membuat tubuhnya kurang seimbang.
Setelah sadar, Vely baru ingat kalau tadi dia pingsan setelah acara ijab qabul selesai. Yang menjadi pertanyaan, siapa yang membawanya ke kamar?
Dengan perlahan, Vely menurunkan kakinya dari atas ranjang. Sebuah pantofel pendek masih terpasang di kakinya. Vely pun melepaskannya dan menyimpannya dekat kaki ranjang. Lalu, dia berjalan mendekati lemari. Berharap menemukan satu pakaian wanita yang bisa dia pakai. Tetapi, isi lemari itu semuanya hanya baju milik Sean.
"Apa yang kau cari?" suara Sean yang terdengar keras mengejutkan Vely. Vely pun berbalik dan menatap Sean yang memicing tajam padanya.
"Apa tak ada baju perempuan di sini?" tanya Vely. Dia terlihat tidak nyaman dengan kebaya yang dia pakai. Sean pun menatap Vely. Dia menyadari kalau Vely ingin ganti baju karena tak nyaman memakai kebaya lama-lama.
Tanpa bicara, Sean pun melengos pergi meninggalkan Vely. Vely tambah kebingungan karenanya. Apa dia harus pulang dulu ke rumahnya dan membawa baju ganti?
Namun, kebingungan Vely tak bertahan lama kala Sean datang menghampirinya dan memberinya sebuah gaun floral lengan pendek sepanjang lutut.
"Pakai ini sementara. Ini baju sepupuku," ucap Sean. Vely mengangguk. Lalu mengambil gaun itu dan berjalan menuju kamar mandi. Sedikit risih juga jika harus memakai gaun seperti itu. Karena Vely tak terbiasa memakainya. Selama ini, dia selalu memakai baju lengan panjang dan celana panjang juga. Tetapi, pengecualian untuk hari ini.
"Jangan lama-lama. Setelah ganti baju, turun ke bawah," ucap Sean yang mampu Vely dengar saat dia di kamar mandi. Setelah berucap seperti itu, Sean pun beranjak keluar dari kamar. Menuju lantai bawah di mana keluarganya berkumpul.
***
Selesai ganti baju, Vely pun menyusul Sean menuju ruang keluarga. Dia duduk di samping Sean dengan perasaan gugup dan canggung. Vino menatapnya sinis dan Sean terlihat malas berdekatan dengannya. Hanya Tian dan Wida yang bersikap ramah pada Vely. Sedangkan anak bungsu Wida yang bernama Radit, bersikap acuh tak acuh.
"Vely, kamu masih sekolah ya?" tanya Tian. Vely mengangguk pelan tanpa menatap Tian sedikit pun. Merasa canggung saja dan lebih menatap lantai yang dilapisi karpet tebal.
"Kamu seumuran dengan Vino. Apa kalian satu sekolah juga?" tanya Tian lagi. Vely pun menjawabnya hanya dengan anggukan.
"Apa kau bisu?" tanya Vino sarkastis. Vely terdiam mendengarnya dan semakin menunduk. Jemarinya saling bertaut dengan erat. Merasa tak nyaman dengan situasi yang terjadi.
"Ma, aku benar-benar tak menyangka Mama memaksa Kak Sean menikahi gadis kuno sepertinya. Lihatlah. Dia bahkan tak punya sopan santun. Ditanya bukannya menjawab. Malah diam saja," ujar Vino penuh rasa tidak suka. Wida menatap Vino penuh peringatan. Tetapi, Vino tak peduli.
"Memang lebih baik tak ada acara resepsi. Kalau ada resepsi, dia hanya akan mempermalukan keluarga kita saja," cibir Vino merendahkan Vely. Vely menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Tangannya mencengkeram ujung rok yang dia pakai. Berusaha menahan diri agar tak bicara. Karena di mata Vino, dia memang menjijikkan.
Bukan hanya sekarang Vino mengatainya. Di sekolah pun, Vino sering menghina Vely. Mempermalukan Vely hingga Vely ditertawakan seluruh murid.
"Vino! Jaga bicaramu!" tegur Wida dengan nada tinggi. Merasa kesal pada anaknya itu yang tak bisa menjaga perasaan seseorang. Vino hanya memutar mata bosan mendengarnya.
"Apa yang aku katakan benar, Ma. Seharusnya Mama juga curiga padanya. Bisa saja Mama di guna-guna olehnya hingga Mama terlihat begitu menyayanginya. Ingatlah, Ma. Orang licik akan melakukan segala cara agar keinginannya tercapai," ucap Vino lagi yang sudah tak mempedulikan kemarahan Wida.
Mata Vely berkaca-kaca mendengar semua tuduhan kejam Vino padanya. Andaikan saja Wida tak memaksa, dia pun tak mau menikah dengan Sean. Apalagi, sekarang penderitaannya malah bertambah.
Tak ingin mendengar hinaan dan tuduhan Vino lagi, Vely pun memilih untuk pergi dari sana. Dia pamit pada semuanya dan berjalan menaiki tangga menuju kamar.
"Sean, susul istrimu," ucap Wida khawatir. Vely pasti sangat sakit hati oleh ucapan Vino. Sean menghela nafas pelan mendengarnya. Tak mau berdebat, dia pun menyusul Vely menuju kamar mereka. Membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Bisa Sean lihat Vely sedang menangis sesenggukan di pinggir ranjang sambil memunggunginya.
"Untuk apa kau menangis? Apa yang dikatakan Vino memang benar adanya. Kau hanya mempermalukanku dan keluargaku," ucap Sean yang malah menambah luka hati Vely. Vely tak membalas ucapan Sean dan setia memunggungi pria yang sudah menjadi suaminya itu.
"Ya, menangislah terus. Dasar cengeng," desis Sean. Dia berbalik dan keluar dari kamar. Meninggalkan Vely yang sedang menangis.