3. Mustahil
Ivanna Sanchez
Tidak banyak yang kulakukan seharian ini, hanya pergi berbelanja, mengunjungi beberapa tempat baru, dan hanya bersama Jax yang mana merupakan orang lain. Bukan sahabat, bukan kekasih. Dan itu sangat aneh bagiku.
Selama ini aku tak pernah ke mana pun secara sembarangan. Tak ada yang tidak mengenalku. Seperti halnya siang tadi, beberapa orang akhirnya berkerumun untuk meminta sesi foto bersamaku. Beruntungnya ada Jax yang sigap melindungi dan membawaku menjauh dari kerumunan, tidak hanya satu atau beberapa orang, melainkan puluhan orang.
“Jax, apa yang kau lakukan? Mereka ingin berfoto denganku!” ketusku, saat Jax menjauhkanku dari mereka, merangkulkan lengan kokohnya setelah menutupi kepalaku dengan jaketnya.
Aku merasa mirip seperti penjahat yang harus lari dan menyelinap dari banyak orang. Padahal apa salahnya berfoto sebentar saja?
“Apakah kau tidak lihat tadi? Mereka tak hanya satu atau dua orang, Nona. Sepuluh atau mungkin lebih. Apakah kau yakin bisa memenuhi harapan mereka berfoto dan lalu sudah? Satu selesai maka akan datang lainnya. Kau bukan artis yang baru keluar kemarin sore. Tidak ada satu pun dari mereka yang tidak mengenalmu,” jawabnya, panjang lebar.
Baiklah, aku bisa mengerti kekhawatirannya, kalau memang itu yang ia rasakan. Atau bisa saja itu hanya formalitas dan profesionalitas karena memang itu tugasnya. Namun, setidaknya memberi kesempatan satu atau dua orang saja bisa, kan?
“Lagi pula, ini bukan acara meet and greet. Ini adalah hari liburmu. Dan apakah kau tidak lihat beberapa wartawan—“
“Cukup, Jax! Kau bukan asisten atau pun manajerku jadi tolong ketahui batasanmu!”
“Maafkan aku, Nona.”
Dan dia bungkam.
Oke aku tahu kalau dia memang sedang menjalankan tugas. Namun, tak bisakah untuk tidak menerobos batasan antara pekerjaannya dengan pekerjaanku? Kalau dia harus melindungi maka lakukan sementara aku melakukan pekerjaanku.
Dan ketika sudah tiba di rumah, aku sama sekali tidak bicara dengan Jax—karena memang kami tidak memiliki kepentingan untuk itu. Dan aku hanya ingin mencari sahabatku untuk kujadikan tempat pelampiasan kekesalanku.
Saat masuk ke ruangan kerja kami, sahabatku itu sedang berada di sana, tampak membuka lembar demi lembar yang ada di hadapannya kemudian fokus pada iPad secara bergantian.
“Hey, bagaimana jalan-jalannya? Kau belanja apa saja?” tanyanya tanpa mengalihkan fokus dari benda di tangannya.
Aku mengempaskan tubuh di atas sofa dan menumpangkan kakiku ke atas meja. Memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Bri.
“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Damon tidak pernah mengizinkanku untuk ikut dengannya dan sepupu kesayangannya, lalu Jax yang aneh, lalu ... ada satu lagi, Bri!”
Aku bangkit dan bergegas menarik kursi agar bisa duduk di dekat sahabatku itu.
“Sepertinya ini cerita yang menarik. Spill it!” ujarnya, lalu menyingkirkan benda yang ada di hadapannya untuk menyimakku.
Ini yang aku sukai darinya. Dia selalu ada kapan pun aku membutuhkan. Aku tidak akan protes jika dia tidak bersedia hadir saat dirinya sedang tenggelam dalam kesibukan di studio, hal itu adalah yang paling ia sukai. Setidaknya ketika aku inginkan kehadirannya, dia masih terus mengusahakan untuk selalu ada.
Melihatnya begitu antusias, aku berusaha mengingat kejadian kemarin malam yang membuatku seperti orang tak waras pagi harinya.
“Sebelumnya aku ingin bertanya, apakah kau merasa ada yang aneh dari Damon? Maksudku mungkin gelagat atau tingkah lakunya. Aku tahu, kau tidak selalu berada di sini, tetapi kau pasti pernah mengobrol berdua saja dengannya. Tidakkah menurutmu dia tampak berbeda?” tanyaku. Jujur saja, aku juga bingung harus memulai dari mana.
Aku tidak mau dianggap menuduh sembarangan, atau terlihat seperti pacar yang posesif. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Dan Brianna hanya menggeleng.
“Aku tidak melihat ada yang aneh kecuali kesibukannya akhir-akhir ini. Memangnya kenapa? Apakah kau merasakan sesuatu terjadi dengannya?”
“Aku tidak tahu, Bri. Aku hanya ... mungkin ini hanya mimpi buruk, tetapi entah mengapa terasa begitu nyata. Aku menyaksikan sendiri Damon sedang bercinta dengan seseorang.”
Bri tampak ternganga saat mendengar penjelasanku. Ia lalu menggeser kursinya agar lebih dekat lagi dan mulai menyimak. Aku bisa melihat betapa serius raut wajahnya. Tentu saja ia seharusnya terkejut, selama ini yang ia tahu aku dan Damon tak pernah ada masalah apa pun, bahkan mengenai kecemburuanku terhadap perempuan lain, hal yang baru-baru ini kurasakan.
Atau mungkin ia sudah tahu, hanya saja memilih untuk diam dan berpura-pura tidak tahu. Entahlah.
“Apakah kau yakin? Maksudku, Vans ... kau sudah mengalami hal buruk beberapa waktu terakhir, akan mungkin jika kau jadi lebih sensitif karena bisa jadi kau mengalami ... kau tahu maksudku.”
“Tidak. Aku tidak tahu maksudmu,” jawabku, sedikit ketus.
Mungkin Bri benar. Namun, tetap saja, aku tidak suka kalau semua orang yang kuceritakan mengenai apa yang kualami lantas menganggap ini ada hubungannya dengan kejadian buruk yang baru saja kualami. Aku tidak gila!
Dan satu lagi, pernyataan Bri barusan menyiratkan seolah masalah itu datangnya dariku, bukan benar-benar dari Damon dan sahabat kami. Bagaimana jika memang benar? Apakah aku harus mendatangi psikiatri untuk masalahku?
“Vans, kuharap kau tidak marah dulu. Banyak sekali mereka yang bekerja di dunia hiburan lantas mengalami tekanan, stres, bahkan depresi. Juga masalah mental lain. Aku hanya ingin menunjukkan kalau tak mengapa andai kau memang mengalaminya. Aku ada di sini dan aku peduli padamu, Vans. Aku menyayangimu, karena itu jika memang kau mengalaminya, mari kita selesaikan.”
Aku mengedikkan bahu mendengar perkataan Bri yang panjang lebar. Aku sedang tidak ingin diceramahi. Segera aku bangkit dan berniat meninggalkannya agar kembali bekerja.
“Dan mari kita selesaikan pembicaraan ini. Kembali bekerja, karena aku pasti akan membutuhkan detail schedule-ku segera dan rancangan terbarumu,” ucapku lalu bergegas pergi sebelum dia mulai bicara lagi.
Persetan dengan pendapatnya!
***
Aku tak sadar mengomel sepanjang perjalanan menuju ke kamar. Tidak juga menyadari siapa yang mengekor langkah hingga tiba di ruangan pribadiku. Dan ketika pintu kuhempaskan barulah aku tahu, Jax ada di sana.
Oh, Tuhan! Itu pasti sangat menyakitkan.
“Astaga, Jax! Oh, maafkan aku. Apakah kau terluka?” tanyaku dengan segera memeriksa hidungnya yang tampak sedikit membiru di antara kulitnya yang putih pucat. Mengapa aku tidak berhati-hati saat hendak membanting pintu dan apa yang ia lakukan di sini?
“Tidak apa-apa, Nona. Aku baik-baik saja,” jawabnya, tenang.
Aku tahu, itu pasti sakit. Namun, aneh rasanya karena bukannya berwarna kemerahan, tulang hidungnya itu justru sedikit kelabu dan nyaris kebiruan.
“Apakah kau sedang sakit? Aku baru sadar kalau kau sangat pucat.” Tanganku tanpa sengaja terulur dan membelai wajahnya dengan tatapan bingung dan tak percaya akan apa yang kulihat.
Apa yang kurasakan saat ini membuatku tak bisa berpikiran logis. Tubuh Jax terasa begitu dingin, bahkan seolah membeku. Aku menarik tanganku dan memandanginya yang bergeming dan hanya membalas tatapanku dengan ekspresi yang tak bisa kubaca.
“Maaf, aku hanya ingin memastikan apakah kau demam. Jika kau sakit, kau boleh beristirahat. Ada kamar kosong di lantai satu, kau bisa memakainya kapan pun. Maaf, aku baru sadar kalau aku tidak memerhatikanmu beberapa hari ini.”
“Tak masalah, Nona. Aku pulang ke rumah saat tugasku selesai.”
Aku mengangguk paham, meski tak percaya kalau dia benar-benar pulang dan beristirahat. Dan tubuhnya yang sedingin es, mungkin akibat dirinya yang tak pernah menyempatkan waktu untuk rehat barang sejenak. Kurasa itu sebabnya ia harus selalu menyuntikkan cairan seperti yang kulihat malam itu.
“Ehm, Jax. Mulai sekarang kau boleh memakai kamar itu. Lagi pula, sepertinya kau harus lebih sering berjaga, karena aku merasa tidak nyaman jika kau tidak di sini. Jangan menolaknya, kau berhak mendapatkan itu.”
Pria itu mengangguk, kemudian kembali menatapku.
“Kenapa? Apa ada yang mau kau katakan?”
“Hanya ingin bertanya, apakah ada yang mengganggumu? Kau kelihatan begitu kesal sejak kemarin.”
Aku menggigit bibir, mempertimbangkan apakah tak mengapa kalau kutanyakan saja padanya mengenai Damon. Saat itu aku pingsan dan tidak mengingat apa pun. Siapa tahu Jax mengetahui tentang Damon dan siapa wanita yang bercinta dengannya.
“Jax, malam itu aku terbangun dan tidak menemukanmu di mana pun. Aku tidak yakin, tetapi kurasa saat aku pingsan, kau adalah orang yang pertama kali menolongku. Apakah benar?”
Pria itu mengangguk. Melihat responnya, aku yakin bisa menanyainya tentang Damon. Dia pasti juga menyaksikan apa yang ada di depan mataku—di depan mata kami.
“Apakah kau juga menyaksikannya? Maksudku, aku melihat Damon di sana dan dia sedang bercinta dengan seorang wanita. Apakah kau melihat hal yang sama?”
Pria itu terdengar mendesah, tetapi tidak merespon pertanyaanku dengan cara yang kuharapkan.
“Jax ... kumohon katakan sesuatu. Kau tahu, aku dan Damon tidak hanya sepasang kekasih. Kami sudah bertunangan. Jika memang dia mengkhianatiku, maka aku harus mengambil keputusan yang benar. Itu sebabnya aku harus punya bukti dan saksi. Apakah kau juga melihat apa yang kulihat malam itu?”
Jax mengangguk. Wajahnya tampak seolah pasrah dengan apa pun pertanyaanku.
“Siapa wanita itu, Jax?” tanyaku. Dadaku sudah bergemuruh, perutku terasa bergejolak karena mencemaskan jawaban yang nanti akan kudengar dari pria ini. Namun, bagaimana pun aku harus mempersiapkan diri mendengar jawaban Jax.
“Wanita itu adalah anda, Nona Sanchez. Andalah yang sedang bercinta dengan Tuan Alejandro malam itu. Dan aku yakin itu.”