Pustaka
Bahasa Indonesia

My Mysterious Bodyguard

59.0K · Ongoing
Kennie Re
55
Bab
119
View
9.0
Rating

Ringkasan

Ivanna tak menyangka, Jax Alister, pria yang ia sewa sebagai bodyguard ternyata merupakan seorang makhluk pengisap darah yang memiliki tujuan khusus untuk menangkap makhluk lycan yang ternyata adalah tunangan Ivanna, Damon. Namun, perlahan hubungan Ivanna dan Jax tak lagi sebatas pengawal dan nona. Ivanna merasakan perasaan berbeda setiap kali berada di dekat Jax, begitu pun sebaliknya, karena Jax merasa Ivanna adalah gadis yang ia sukai sejak lama, yang terlahir kembali dan ia mengikuti gadis itu di setiap reinkarnasinya dan menjadikannya sebuah petualangan yang menegangkan.

SuspenseRomansaFantasiactionpetarungSupernaturalDewasaCLBK

1. Pengawal Pribadi

Ivanna Sanchez

Aku melangkah keluar dari sebuah bangunan yang berisi hingar-bingar dan suara musik berdentum, mempererat mantel demi menutupi tubuhku yang tersapu angin malam yang dingin. Pakaian yang kukenakan memang sedikit terbuka malam ini. Namun, ini adalah sisa pesta di rumah seorang kawan. Kawan lama, lebih tepatnya.

Malam belum larut, seharusnya tak akan sesunyi ini. Namun, wajar jika beberapa penduduk di sekitar kelab tidak keluar rumah setelah pukul delapan. Rumor telah menyebar, bahwa ada gerombolan penjahat yang tak segan untuk membunuh bahkan memperkosa korbannya. Tak cukup hanya sekadar merampok.

Bahkan beberapa hari terakhir diberitakan mereka berhasil memakan korban yang mereka bunuh setelah diperkosa. Dan hal itu yang kutakutkan saat ini.

Jelas sebuah kesalahan besar karena aku nekat untuk pergi ke kelab malam padahal pesta di kediaman Kay Lee sudah cukup membuat kepalaku pening karena minuman ajaib yang mereka racik.

Menghubungi tunangan atau asistenku adalah hal mustahil, karena mereka pasti tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Lagi pula, aku mengatakan pada mereka agar tidak mencemaskanku. Penyamaranku pasti cukup bagus agar tidak seorang pun mengenaliku.

“Jangan bergerak, cantik. Lepaskan semua yang ada di tubuhmu itu, sekarang juga,” ucap seorang pria yang entah dari mana asalnya. Aku tak berani menoleh ke belakang, di mana pria itu berada karena ada benda yang tertodong di kepalaku.

Aku yakin, itu pasti sebuah senapan dan aku tidak ingin mati muda. Aku melepaskan perhiasan yang kukenakan, lantas menyerahkan padanya, masih dalam posisiku.

“Yang ada di dompetmu!” gertaknya lagi.

“Apa? Tidak, Tuan. Aku harus pulang ke rumah dan aku tidak membawa apa pun selain—hey! Lepaskan itu—“

DORR DORR!

Aku tak berkutik dan bungkam seketika saat ia menembakkan senapannya ke udara. Aku terjingkat sesaat dan kemudian harus merelakan semua isi dompetku untuk mereka miliki.

Tak hanya satu, melainkan tiga orang. Dan ketika mereka sudah mendapatkan semua, kukira selesai sampai di situ. Ternyata tidak.

Salah seorang dari mereka menghampiri dan memerhatikan pakaian yang kukenakan. Sumpah demi apa pun, aku tidak akan pernah memaafkan sopirku yang terlambat datang menjemput. Telapak tanganku mulai berkeringat dingin dan gemetaran.

“A-apa yang akan kau lakukan? Kau sudah mendapatkan semuanya, kumohon biarkan aku pergi. Aku tidak akan melaporkan kalian pada polisi.”

SLAP! BRUGH!

“Ah! Lepaskan aku!” mereka menarikku dengan keras lantas menghempaskan tubuhku ke jalan. Suara tawa ketiganya menggema di antara jalanan yang kosong dan sepi, dan aku pastikan tak akan pernah lupakan tawa mengerikan itu karena di detik berikutnya mereka menjadikanku bahan bulan-bulanan.

Aku memberontak, tetapi tenagaku jelas kalah dengan tiga lelaki. Salah satu orang menahan kedua tanganku, seorang lagi memegangi kakiku dan lainnya menampar serta menghajarku tanpa ampun.

Pria itu mengoyak gaunku dan menatapku dengan kilat mata serta seringai menjijikkan, seperti anjing meneteskan liur melihat onggokan daging di hadapannya.

"Apa yang akan kau lakukan? Lepaskan aku, bajingan! Tolong! Siapa pun, tolong aku!"

Percuma saja. Suaraku tak akan terdengar oleh penduduk sekitar. Pukul berapa sekarang? Mereka mungkin tengah bergelung di balik selimut masing-masing.

“Damon, tolong aku,” rintihku yang mungkin akan menjadi pelampiasan nafsu mereka andai seorang pria tidak datang saat itu.

"Hey, lepaskan dia!" ucap seorang pria dengan suaranya yang dalam. Aku sempat membeku seketika, menoleh ke arah suara dan melihat siluet pria itu. Ada cahaya di balik punggungnya yang menyorot ke arahku.

"Siapa kau? Jangan ikut campur!" sergah salah seorang dari mereka. "Kecuali kau ingin ikut menikmati tubuhnya. Haha..."

Pria itu mendekat, tampak olehku seringai dengan kilat mata memerah. Bagiku itu menyeramkan hingga aku tak berani menatapnya. Namun, tanpa kusadari, sudah terdengar suara erang kesakitan dan baku hantam antara mereka.

Kejadiannya begitu cepat, seolah waktu terhenti untukku dan ketika tersadar, ketiga berandal itu sudah tergeletak tak berdaya.

Aku berusaha bangkit dengan sisa tenaga, menutupi bagian tubuh yang terbuka karena baju yang terkoyak, lalu meringkuk di dinding sebuah bangunan.

Aku yang semula tak berani menyaksikan kejadian itu, pada akhirnya mengangkat wajah dan menatap bola mata biru milik pria yang kini telah berdiri di hadapanku. Pahatan tulang rahang dan postur tegap, membuat pria itu memiliki kemenarikan yang tak terbantahkan. Ia memiliki aura menawan yang membuatku tertegun untuk sesaat.

Tanpa mengalihkan pandangan, ia melepaskan jaketnya dan memasangkan di tubuhku yang masih gemetar. Benda itu menutupi tubuhku yang terekspos karena pakaian yang telah compang-camping. Kainnya terasa hangat dan melindungiku yang nyaris membeku.

Ia membantuku berdiri. Pembawaannya yang kuat, tetapi lembut, menjadi penghiburan di tengah kekacauan yang nyaris menghancurkanku. Aku mendongak dan menatap keindahannya yang tak mampu kutolak.

“Kau tidak apa-apa?” tanya pria bersuara bariton yang dalam dan berat itu. Aku bisa merasakan kelembutan dan perhatian dari ucapannya. Aku mengangguk perlahan, seolah waktu melambat. Ia kemudian membimbingku untuk ikut dengannya menuju ke sebuah tempat di mana ia memarkir motornya.

“Naiklah! Aku akan mengantarmu pulang,” ucapnya. Aku sekali lagi mengangguk dan mengikuti perintahnya. Ia mengendarai kuda besinya dengan kecepatan penuh dan menerobos jalanan padat di kegelapan malam.

Aku terjebak lamunan selama dalam perjalanan. Tersesat dalam emosi dan luapan adrenalin yang bergejolak dalam aliran darahku. Aura pria ini sungguh tak tergoyahkan dan berhasil membuatku bertanya tentang identitas dan karakternya.

Tak terasa, motor yang kutumpangi berhenti tepat di halaman mansionku dan saat itu juga aku mendapatkan kesadaranku kembali. Hanya saja, aku masih belum memiliki keberanian untuk bertanya, siapa lelaki itu sebenarnya. Betapa bodohnya aku!

“Kuharap kau baik-baik saja. Segera minta seseorang untuk membantumu membersihkan dan merawat lukamu. Lain kali jangan pernah berkeliaran seorang diri terlebih di malam hari, karena tak ada yang tidak mengenalmu, Nona Sanchez,” ucapnya, penuh perhatian.

Aku hanya menghela napas berat kemudian mengangguk. Dan tak lama kendaraan pria itu bergerak menjauh dariku dan makin lama menghilang ditelan gelap malam. Satu kebodohan yang kulakukan, aku bahkan tidak mampu berucap meski sekadar berterima kasih pada lelaki misterius yang telah menyelamatkan nyawaku.

***

“Ya Tuhan, Vans! Apa yang terjadi padamu?” pekik salah satu sahabatku dengan raut yang tampak berkerut cemas kala melihatku. Wajahku kini dipenuhi lebam dan memar dan aku sudah putus asa karena tak berhasil menyembunyikannya dengan make up.

Ia adalah salah satu sahabat terbaikku, sekaligus asisten pribadi. Aku mempercayainya untuk pekerjaan ini dan selama beberapa tahun menjadi asistenku, ia melakukan pekerjaan dengan sangat baik.

Oh, ada satu orang lagi. Namun, entah mengapa ia belum juga datang, padahal aku sudah memintanya kemari bersama dengan yang lain.

“Apakah seseorang telah melakukan hal buruk terhadapmu?” tanyanya lagi. Aku hanya menghela napas.

“Aku sudah baik-baik saja sekarang, thanks atas perhatianmu.”

“Tidak, Vans! Kau harus memecat pengawalmu karena ia telah berulang kali melakukan kesalahan ini! Di mana tunanganmu dan sepupunya? Apakah mereka tidak tahu kau seperti ini?”

Tak berapa lama setelah sahabatku melontarkan pertanyaan, suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah kamarku. Tunanganku dan sepupunya datang bersamaan, seperti biasa.

Aku tak pernah curiga, karena mereka adalah saudara sepupu, jadi kurasa wajar jika keduanya selalu bersama ke mana pun. Lagi pula, mereka menjalankan bisnis yang sama. Bahkan merupakan partner yang akan saling tahu isi dompet masing-masing.

“Aku di sini. Apakah ada yang merindukanku?” timpal sahabatku yang satu lagi dengan senyum lebar. Namun, belum sempat kami menjawab, ia dan tunanganku bersama-sama membulatkan mata ketika melihat penampilanku yang begitu kacau. “Astaga, Vans! Apa yang terjadi padamu?"

Perempuan itu menoleh pada tunanganku. "Apakah kau tidak kasihan melihatnya? Seharusnya kau mengurangi kesibukan dan lebih memerhatikannya!" imbuhnya.

“Oh, please! Kalian tak perlu bersikap berlebihan. Ini bukan apa-apa, karena ada yang lebih mengerikan dibanding ini.”

“Apa itu?” tanya mereka berbarengan.

“Mereka nyaris memperkosaku.”

Pria yang sejak tadi duduk jauh dari tempatku, bangkit dan mendekat. Ia memerhatikan luka yang ada di wajah dan beberapa bagian tubuhku. Ia kemudian tampak menekuk urat wajahnya.

"Siapa bajingan yang berani melakukan ini terhadapmu!? Biar kuberi dia pelajaran!" ujar Damon, geram. Namun, aku hanya mengusap punggung tangannya untuk menenangkan.

"Aku baik-baik saja, sayang. Luka ini pasti akan sembuh dengan sendirinya," jawabku sembari tersenyum. Saat ini seharusnya mustahil untuk tersenyum, karena sekujur tubuhku remuk redam seperti dihantam godam. Namun, masalah akan semakin runyam jika aku menunjukkan wajah kesakitan.

Tunanganku memiliki manajemen emosi yang sedikit unik. Ia pasti akan benar-benar memberi pelajaran bagi siapa pun yang membuatku menderita. Dan hal semacam itu telah terjadi berulang kali.

“Tidak, Vans! Kurasa kau harus memiliki pengawal pribadi!” seru lainnya. "Ini kejadian yang paling tidak bisa dianggap remeh."

“Aku tidak apa-apa dan hanya ingin menemukan satu orang, jika mungkin. Dia yang telah menyelamatkanku dari para berandal itu.”

Lainnya mengerutkan kening kala mendengar permintaanku.

Di sela tatapan lainnya ke arahku, salah satu sahabatku menunjukkan layar ponselnya padaku. Di sana terpampang jelas identitas dan bahkan foto seseorang yang tampak tak asing. Sayangnya, karena efek benturan saat penyerangan malam tadi, aku tidak bisa mengingat dengan baik siapa pria dalam gambar tersebut.

“Apa ini?” tanyaku, tak mengerti.

“Calon bodyguardmu nanti. Kau tidak boleh menolak. Namanya Jax dan aku sudah menghubungi agar dia datang sore ini. Jadi persiapkan dirimu. Aku pinjam tunanganmu. Kami akan pergi sebentar.” Perempuan itu bangkit dari duduknya dan menghampiriku demi memberikan satu kecupan di pipi.

“Mau ke mana?” tanyaku. Akhir-akhir ini tunanganku dan sepupunya itu sering pergi bersama. Aku tidak seharusnya cemburu, karena mereka adalah saudara satu kakek. Tidak mungkin mereka melakukan hal yang tidak-tidak. Namun, tetap saja, ada perasaan yang sering kali menyelinap dan sulit untuk kutepis.

“Mengurus acara penggalangan dana untuk penderita kanker, tentu saja. Kau lupa? Rumah sakit yang aku dan Damon danai akan mengadakan acara itu.”

Aku menoleh pada Damon, tunanganku, meminta jawaban atas pernyataan sepupunya. "Mengapa aku sama sekali tidak tahu soal itu?" tanyaku. Pria itu tak memandang wajahku sama sekali. Ada apa sebenarnya kali ini? Apakah ada hal yang aku tidak ketahui?

“Sudahlah ... kalian jangan bicara sekarang, oke? Kami akan terlambat jika tidak segera berangkat. Lagi pula, Jax sudah dalam perjalanan kemari.”

“Apakah kau mengenal siapa Jax?” tanyaku.

Semua yang ada di ruangan menggeleng sementara sahabatku yang merupakan sepupu Damon, hanya mengedikkan bahu sembari mencebik.

“Aku hanya menemukannya di platform pencarian jasa pengawal pribadi. Kau tidak akan kecewa, karena ini rekomendasi dari seorang kawan," jawabnya. "Oke, semuanya. Aku pergi dulu.”

Aku hanya termangu menatap kepergian mereka sementara satu sahabatku tetap berada di sampingku dan mengerti kalau aku sedang dilanda kegalauan saat ini.

“Tenanglah, Vans. Mereka tidak mungkin memiliki hubungan lebih dari sekadar sepupu. Damon tak mungkin mengkhianatimu.”

“Yeah, kuharap begitu.”

Setelah sabar menunggu beberapa saat, aku bersiap dengan apa saja yang harus kulakukan dan katakan saat pengawal itu tiba nanti. Dan tak berapa lama, pria yang kami tunggu akhirnya datang diantarkan oleh beberapa orang pengawal yang berjaga di luar.

Seorang pria dengan postur tubuh tegap, melangkah masuk dan ketika ia tiba di hadapanku, jantungku seketika seakan mencelus.