Bab 13 The First Kiss
Bab 13 The First Kiss
Setelah kejadian Mark yang mengungkapkan isi hatinya, Alice menjadi sedikit lebih dekat dengan Mark karena meskipun Mark melarangnya mencintainya, namun Alice bisa melihat rasa kesepian yang di gambarkan oleh raut wajah Mark dan raut wajah itu sama seperti miliknya ketika kedua orang tuanya meninggal dan itu sungguh menyakitkan, semenjak saat itu Alice bertekad untuk bisa meyakinkan kalau Alice lah yang dibutuhkan Mark bukan Tania.
Langit sudah gelap tapi Alice malah keluar dengan sebuah lilin di tangannya, meski taman bunga ini terdapat banyak lampu tapi Alice memilih membawa lilin sebagai temannya. Kejadian itu kembali terulang ketika Alice melirik tanaman hijau yang di penuhi mawar putih, sepulang sekolah ia pergi ke taman dan memetik bunga mawar dan Marel menghampirinya dengan senyum yang merekah
"Alice!" teriak Marel dan menghampiri Alice yang tengah memetik bunga mawar untuk dijadikan tanaman awetan
"Ada apa Marel?" Alice menoleh, yang kemudian di jawab oleh Marel melalui pelukan
"Marel aku tidak bisa bernafas." jawab Alice jujur dan itu membuat Marel melepaskan pelukannya dan terkekeh
"Alice sepertinya aku tidak bisa lagi menjagamu! Dan sepertinya kau juga tidak bisa lagi untuk mengajariku dan Irina lagi.." ucap Marel terasa sedih
"Ada apa?" tanya Alice tak mengerti
"Aku dan Irina akan kembali ke Inggris huhu.." ucap Marel yang di buat se dramatis mungkin
"Hah kenapa?" Alice refleks terkejut dengan perkataan yang di lontarkan Marel
"Nenek dan kakekku ingin aku dan Irina belajar di sana untuk beberapa saat, jadi mereka memaksaku dan Irina untuk kembali ke Inggris dan mereka mengancam jika kami menolak mereka akan mengirim orang orang untuk melenyapkanmu Alice" ungkap Marel
"Haaa??" sungguh Alice sangat kaget mendengar berita buruk ini
"Nenek dan kakekku tidak pernah berbohong, jika mereka berkata seperti itu maka mereka akan melakukannya, dan aku tidak mau calon pacarku ini meninggal hanya karena aku, jadi aku dan Irina memutuskan akan pindah ke Inggris untuk beberapa saat." ucapnya
"Sepertinya ini pertemuan terakhir kita." tambah Marel sedikit serak
"Aahhh... seperti itu yaa." Alice pun ikut bersedih, karena bagaimanapun Marel adalah sosok penghibur baginya
"Aku akan mengambil ini untuk mengingatmu Alice!" Marel mengambil mawar milik Alice yang sudah di awetkan menggunakan alkohol tadinya Alice mengambil mawar putih hanya untuk menjadi sempel
"Eh.. Marel?" ucap Alice yang di balas dengan senyum lebar Marel sambil melambaikan tangan ke Alice
"Bye bye Alice!" teriak Marel melambaikan tangan sambil berlari masuk menuju rumah, Alice hanya bisa melambaikan tangan sambil tersenyum sendu.
"Aahhh...." Alice mendudukan bokongnya di kursi besi yang terdapat di tengah taman bunga itu, meskipun ini sudah malam tapi Alice masih tak bisa menyangka jika dirinya akan kehilangan sosok Marel dalam hidupnya dengan sangat cepat,jika Marel dan Irina pergi maka Mark pun akan ikut bukan? Ia bahkan tidak sempat mengantar Marel,Mark dan Irina ke bandara karena pada saat Alice akan ikut ke bandara, mereka sudah tidak ada, Dan itu yang membuat dirinya dilema dan menatap langit gelap dengan gelisah
"Jika mereka pergi maka aku akan di suruh pergi dari sini bukan? Yahh meskipun hutang itu sudah terbayar tapi aku tidak bisa meninggalkan tempat ini....ahhh Alice berpikirlah!" Alice memukul kepalanya sendiri dan menggeleng gelengkan kepalanya gusar dan frustasi
"Ahhh sudahlah aku akan pergi tidur saja..." akhirnya Alice menyerah dengan perasaan gelisahnya mungkin tidur merupakan salah satu cara terbaik untuk melupakan masalah ini
Alice berjalan dengan gontai, dirinya merasa bersalah kepada kembar 3 itu karena tidak sempat mengucapkan selamat tinggal, Alice telah sampai di depan pintu, ia terdiam dan menarik nafas panjang berusaha melupakan kejadian yang bisa membuatnya tertekan oleh rasa bersalah
Setelah dikiranya tenang, Alice segera memutar knop pintu dan ketika satu kakinya sudah masuk tiba-tiba tubuhnya tertahan oleh seseorang yang memeluknya dari belakang dan itu membuat Alice membeku di tempat
Alice berusaha tenang dan mengendalikan rasa takutnya, ia melirik ke bawah dan sebuah lengan kekar melingkar di perutnya, tangan kekar yang sedikit berotot itu sungguh sangat familiar bagi Alice
"Ma-Mark?" tanya Alice sambil menoleh kebelakang dan mendapati wajah Mark yang sedang terpejam di bahunya
"Oh ya Tuhan, aku sudah gila! Bagaimana mungkin aku bisa membayangkan Mark di sini?! Sementara ia pergi ke Inggris?" gerutu Alice ketika mengingat ucapan Marel yang akan pergi ke Inggris
Mark masih terpejam tanpa menjawab pertanyaan Alice. "Alice ini mimpi! Bangunlah!" gerutu Alice menampar pipinya sendiri dan meringis ketika tangannya menyapa kulit pipinya
"Ini bukan mimpi? Oh pasti ini halusinasiku." oceh Alice tak mau berhenti berbicara
"Diamlah aku berusaha untuk mengendalikan diriku.." ucap Mark semakin memperkuat pelukannya dari belakang
"Aku benar benar sudah gila, bahkan sekarang aku bisa mendengar suara Mark yang asli , ahh nampaknya aku sudah tergila gila kepada pria dingin itu ya Tuhan... maafkan dosaku!" Alice tetap menggerutu dan mulai melangkahkan kaki yang satunya lagi untuk masuk ke dalam kamarnya
Dalam satu detik tiba tiba pintu tertutup,Alice berputar lalu bersender di pintu dengan Mark di depannya yang sedang menatapnya. "Aku memaafkan dosamu." ketus Mark dan semakin lekat menatap Alice dan menyempit jarak antar keduanya
Alice masih terkejut ketika mendapati Mark di depannya, sungguh ini adalah mimpi sekaligus halusinasi tergila yang Alice pernah alami
Alice semakin panik ketika Mark mendekatkan wajahnya, alice sudah tak bisa mundur lagi.
"Ternyata kau sangat cantik dan lucu." Mark membuka kacamata Alice dan semakin lekat menatap Alice
"Mmm....Meskipun ini dalam mimpi atau halusinasi ku,Aku mohon kau jangan sedekat ini denganku..."pinta Alice yang di balas senyuman miring oleh Mark
"Aku menarik kata kata ku kalau kau itu menjijikan, aku menariknya dan aku takan mengulanginya mengucapkan kata itu lagi." ucap Mark yang semakin mendekatkan hidungnya dengan Alice bahkan hidung mereka hampir bersentuhan
"Oh ya Tuhan apapun itu aku tidak peduli asalkan kau menjauh dariku Mark.... aku malu..." cicit Alice yang dilanjut dengan kekehan Mark
"Izinkan aku untuk menjadi pendamping hidupmu Alice!" ucap Mark yang kemudian mencium bibir Alice dengan lembut, Alice hanya bisa melotot,terdiam,dan terkejut. "Oh ya Tuhan sungguh pikiranku sudah terlalu liar untuk memimpikan atau menghalusinasikan ini.." batin Alice
Ciuman mereka terlepas, Alice masih menatap Mark tak percaya. "Apakah kau mengizinkan ku un-"
"Aku izinkan aku izinkan!" jawab Alice cepat, sungguh ia merasa malu meskipun di mimpinya sendiri
"Karena aku sudah mengizinkanmu, maka lepaskanlah aku." Alice mendorong dada Mark, membuka pintu dan masuk ke dalam kamar tanpa memberi kesempatan untuk Mark ikut masuk ke dalam
Alice segera menyandarkan punggungnya di pintu, sungguh ia tak bisa membayangkan hal ini, jantungnya berdegup kencang, pipinya memerah dan nafasnya tak karuan
"Sebenarnya aku tidak ikut ke Inggris, hanya Marel dan Irina yang terbang ke Inggris aku tetap di sini Alice...untuk menjagamu.." ucap Mark yang masih bisa di dengar oleh Alice dari balik pintu dan pernyataan itu mampu membuat jantung Alice semakin berdegup kencang, dan merasakan seolah olah di dalam hatinya ada banyak kupu kupu yang beterbangan.
Tak lama setelah itu, suasana kembali sunyi bahkan sangat sunyi dan setelah itu Alice langsung berlari menuju kasur dan menampar pipinya berkali kali.
"Ini mimpi ! ini sudah pasti mimpi!" terus saja Alice mengulang kalimat itu sampai ia tertidur dengan perasaan aneh, antara senang dan gelisah.
•••