Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2: New Professor

*ELLA MONTGOMERY*

“Hari ini kita akan belajar bagaimana memahami psikologi bisnis,” jelasnya sambil melihat ke sekeliling kelas, “Psikologi bisnis adalah studi dan praktik untuk meningkatkan kehidupan kerja, bagian penting dari pembelajaran bisnis,” lanjutnya.

Aku duduk mencatat di laptop ku, aku juga mengawasinya dari sudut mataku saat dia berjalan berkeliling menjelaskan psikologi bisnis tetapi hampir sulit bagi ku untuk berkonsentrasi.

“Menggabungkan pemahaman tentang ilmu perilaku manusia,” lanjutnya menjelaskan sambil menulis di papan besar, “Dengan pengalaman dunia kerja untuk mencapai kinerja yang efektif dan berkelanjutan baik bagi individu maupun organisasi,” Aksennya kuat, kasar .

Sambil menghela nafas ringan aku menuliskan semua yang dia tunjuk di papan tulis sambil menjelaskan pengertian psikologi bisnis, sulit berkonsentrasi. Saat mencatat, aku hampir bisa merasakan mata hijaunya yang memikat menatapku.

Bertentangan dengan penilaianku yang lebih baik, tubuhku mengkhianatiku saat aku mendongak dan menatap matanya saat dia berjalan ke barisan depan, meletakkan setumpuk kertas untuk diberikan kepada yang lain di barisan, melakukan hal yang sama pada baris kedua.

Berhenti di sampingku, dia menghitung jumlah kertas yang dibutuhkan untuk barisku sebelum menyerahkannya kepadaku, tangannya menelusuri kertasku dan aku tetap menunduk tidak berani melakukan kontak mata. Aku bisa merasakan pipiku memanas, bibirku terbuka, sementara kulitku merinding saat tangannya menyentuh tanganku.

Akhirnya mendongak, matanya menelusuri laptop ku, bibirnya bergerak sedikit melengkung menjadi seringai yang nyaris tak kentara sebelum mata hijaunya bertemu dengan mataku, kakiku terasa lemas dan aku hampir merasa seolah-olah dia sedang mencoba membaca ke dalam jiwaku. dengan tatapan tajamnya.

"Berikan, Ms. Montgomery," bisiknya, nadanya serak saat dia menyebutkan namaku dengan sempurna dari bibirnya.

Berdeham, aku hanya mengangguk sebelum dia lewat, sementara aku mengambil selembar kertas untuk diriku sendiri dan menurunkan yang lain. Laki-laki licik itu berani mencari namaku, tapi aku tidak keberatan dengan hal itu, aku belum pernah mendengar nama belakangku terdengar sebagus saat diucapkan dari mulutnya.

Cara dia menyebutkan nama belakangku membuatku merasa.... Ah sepertinya sulit untuk dijelaskan dan pantatku berdenyut-denyut, aku semakin sulit berkonsentrasi pada apa pun dengan pantatku yang sakit karena terlalu tegang dengan dudukku.

"Sial" ucap ku didalam batinku.

Aku menghindari semua kontak mata dengan pria itu selama sisa kelas, berusaha sekuat tenaga untuk membuat catatan yang aku perlukan. Melihat kertas yang dia bagikan, aku membuat catatan di sampingnya dengan mengetikkan apa yang menonjol ke dalam catatanku di laptopku.

“Besok kita akan mengulas psikologi bisnis,” katanya, “Saya berharap semua orang belajar malam ini, saya akan mengajukan pertanyaan dan juga kuis singkat,” Dia mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan memperhatikan semua orang mengangguk, termasuk aku.

"Kelas selesai," Dia mengangguk singkat, suaranya serak.

Dengan cepat aku menutup laptopku sambil memasukkan kembali berbagai barangku ke dalam tasku dengan tergesa-gesa untuk melarikan diri, tidak ingin terjebak dalam jebakan mata hijaunya lagi. Berdiri dari tempat dudukku, aku menunggu sampai kerumunan orang keluar sebelum aku masuk ke antrean untuk pergi.

"Ms. Montgomery," aksennya yang kental memanggilku, menghentikanku untuk melangkah lagi.

Kepalaku tersentak ke arahnya, dia sekarang duduk di belakang mejanya bersandar di kursi sambil mengusap rahangnya yang sempurna, menarikku ke dalam dengan matanya lagi. Dia memberi isyarat dengan tangannya agar aku maju. Mataku melirik ke pintu keluar, menghela nafas sebelum aku berjalan menuju dia berhenti di depan meja.

"Ya, Profesor Mariano?," bisikku, sepatuku terlihat lebih menarik saat ini seiring dengan rasa cemas yang memuncak.

"Lihat aku ketika kamu berbicara," tuntutnya, melakukan apa yang dia katakan. Aku mengangkat kepalaku dan menatap matanya, "Brava ragazza (artinya gadis baik dalam bahasa Italia)," Dia menyeringai.

Aku senang karena aku tidak melakukan kontak mata saat ucapan itu keluar dari lidahnya.

Pipiku terbakar, aku bisa merasakan panas memancar dari pipiku yang terbakar, bibirku terbuka karena terkejut memahami apa yang dia katakan, tetapi aku sangat terangsang oleh kata-katanya yang berani.

“P-professor ingin bicara denganku?,” gumamku, berusaha untuk tetap tegar.

Dia mengangguk singkat sambil mengerucutkan bibir sempurnanya yang berwarna merah jambu lembut, tanpa sadar aku menjilat bibirku sendiri sambil memikirkan seperti apa rasanya.

Berhenti, Ella, dia profesormu.

Aku harus terus mengingatkan diriku sendiri akan pemikiran itu tetapi sulit untuk melakukannya ketika pria Adonis itu berdiri beberapa meter dari tempat ku berdiri.

"Aku tahu kamu ada dalam daftar Dekan, bukan?" Dia mengangkat alisnya yang terpahat sempurna.

Menggigit bibirku dengan cemas, aku mengangguk pelan sambil memberinya senyuman lembut.

"Begitu," Dia bersenandung, "Kantor saya buka dari jam tiga sampai jam lima, saya mendapat pemahaman bahwa kamu membantu Profesor Carson menilai makalah sepulang kuliah," Dia bertanya.

"Ya," aku mengangguk, membenarkan.

Dia bersenandung, mengatupkan bibirnya sambil mengusap rahangnya.

Kesempurnaan murni.

Fokus, Ella.

“Mulai besok kamu datang ke kantorku dari jam tiga sampai jam lima ya, mengerti?,” sarannya meski terdengar seperti sebuah tuntutan, “Jangan terlambat, hm?”

"Tidak akan," aku memberinya senyum cerah, mengangguk, "Sampai jumpa besok!," aku berseri-seri.

Aku berjalan pergi sangat bersemangat, tidak hanya karena berada di daftar Dekan yang aku banggakan, tapi aku juga bekerja keras untuk semua yang aku peroleh, aku telah berada di daftar Dekan bahkan terkadang aku menjadi asisten dosen selama dua tahun terakhir.

Itu bukan satu-satunya alasan aku begitu bersemangat, bukan, alasannya karena dia, namun dia membuatku sangat cemas. Aku sangat bersemangat ketika kaki ku melangkah pergi dan menjauh dari pria itu.

Saat keluar dari gedung aku menemukan Scarlet sudah menungguku bersandar di dinding saat dia mengetik dengan keras di teleponnya.

Tapi kemudian saat dia melihat ku dia tersenyum lebar dan mengaitkan lengannya ke tanganku.

"Apakah dia seksi seperti yang dikatakan semua orang?" Dia bertanya sambil menyeringai ke arahku.

Aku mengerutkan alisku, bingung dengan pertanyaannya sampai aku menyadari apa yang dia maksud. Aku tertawa, menganggukkan kepalaku.

"Pastinya," aku terkekeh sambil menggelengkan kepala.

"You are lucky girl," godanya, "Semua Profesorku sudah tua, jelas bukan sesuatu yang bagus untuk dilihat," gumamnya.

Aku tertawa, mengikutinya ke dalam gedung berikutnya saat kami duduk bersebelahan untuk mengikuti kelas berikutnya. Aku sedang menunggu jam istirahat kami, aku kelaparan karena aku tidak sarapan meskipun sebenarnya tidak tidak pernah melakukannya.

Kelas dimulai ketika Profesor masuk, segera memasuki pelajaran. Aku duduk mencatat sepanjang waktu tetapi pikiranku masih berada di tempat lain saat aku melakukannya.

Selama dua jam berikutnya di kelas seperti itu, perhatianku sepenuhnya teralihkan hari ini, tidak, terima kasih kepada seorang pria dengan mata hijau yang memikat.

Akhirnya profesor membubarkan kelas dan Scarlet serta aku buru-buru mengemasi barang-barang kami. Yang lain bergegas keluar gedung.

“Aku tidak akan ikut makan siang hari ini,” Scarlet memberiku senyuman minta maaf, “Jameson mengajakku makan siang hari ini,” jelasnya.

Aku menggeleng sambil tersenyum, "Tidak apa-apa! Selamat bersenang-senang!," aku melambai padanya.

Dia memelukku sebentar sebelum keluar dari pintu dan aku mengikutinya, kami berdua berpisah.

Jameson adalah pacar Scarlet selama tiga tahun, mereka bersekolah di sekolah menengah yang sama di sini di Negara Bagian Washington dan pada tahun terakhir mereka mulai berkencan.

Mereka adalah pasangan yang menggemaskan, tidak diragukan lagi, aku bisa tahu hanya dengan melihat pria itu bahwa dia jatuh cinta pada Scarlet dan aku bahagia untuknya.

Aku tidak pernah punya pacar, aku selalu terlalu fokus pada studi atau hal-hal lain yang membantu menentukan masa depanku untuk mengambil alih perusahaan ayah ku. Ditambah lagi, Aku yakin jika aku memilikinya, mereka hanya akan menggunakan ku untuk gelar ku saja, itu bukanlah sesuatu yang aku inginkan.

Aku menginginkan hubungan yang nyata jika aku ingin memilikinya, bukan hubungan yang dibangun berdasarkan kebohongan dan omong kosong, memanfaatkanku untuk kesenangan mereka sendiri. Aku menginginkan apa yang dimiliki Scarlet, hubungan mereka kuat dan indah.

Sambil menghela nafas pada pikiranku sendiri, aku berhenti di kafe kecil tempat aku minum kopi pagi ini, bersemangat untuk makan.

Darcy, dengan berseri-seri melambai padaku dan aku mengirimkannya kembali saat aku mengambil tempat duduk biasa di bilik paling pojok belakang. Mengeluarkan laptopku, aku memutuskan untuk melanjutkan dan belajar untuk besok, sambil mengambil catatanku.

Baru pertama kali aku kembali ke kampus dari liburan musim panas ku tapi kuis sudah menanti.

Darcy datang sambil tersenyum ketika dia meletakkan pesanan rutinku di depanku yang terdiri dari kopi manis dan sandwich klub. Darcy kebetulan pemilik kafe kecil ini, tempat yang lucu dan tenang di mana saya bisa menemukan kedamaian, tenang.

Dia tidak pernah gagal dalam membuat makanan terbaik, semua yang ada di makanannya enak, tetapi sandwich klubnya yang terkenal adalah favoritku.

“Bagaimana hari pertamamu, sweetie?” tanyanya lembut sambil memberiku senyuman ramah.

“Melelahkan,” keluhku, “Aku sudah harus belajar untuk kuis besok,” aku mendengus.

Dia terkekeh, sambil meremas bahuku dengan sikap keibuan yang baik hati.

“Jangan khawatir sweetie, kamu pintar dan aku yakin kamu akan berhasil!,” dia berseri-seri.

Pintu berbunyi dan mata Darcy sedikit melebar, minta diri untuk bergegas mengambil pesanan.

Aku menghela nafas, menggigit sandwichku sambil terus meninjau catatanku sampai sesosok tubuh tinggi berdiri di dekatku, bayangannya mulai menarik perhatianku.

Mendongak, mataku melebar saat melihat Profesor Mariano, tersenyum ke arahku.

"Bolehkah aku duduk?" Dia bertanya, aksennya yang kental membuat tubuhku merinding.

Sambil berdehem, aku mengangguk, tersenyum dan dia tidak membuang waktu, aku meluncur ke kursi di hadapanku, membuat dirinya nyaman.

"Profesor Mariano," aku menyapanya dengan lembut.

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel