Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1: Meet Him

*Ella Montgomery*

Aku melepaskan desahan kesal saat suara alarmku yang mengganggu terus saja berbunyi, aku memejamkan mata dengan harapan semua ini hanya mimpi dan ini bukan waktunya bangun untuk memulai kuliahku.

Sayangnya itu hanya sebuah harapan.

Sambil menggeliat malas, aku menekan tombol alarmku dan akhirnya aku mematikan alat yang menyala- nyala itu. Kemudian aku menyibak selimutku, duduk di tepi tempat tidurku meregangkan anggota tubuhku yang terasa begitu lelah.

Liburan musim panas telah usai, secara resmi waktunya untuk kembali ke perguruan tinggi. Aku hanya punya waktu beberapa bulan lagi sebelum lulus dan aku akan mengambil alih industri atau perusahaan milik ayahku.

"Ya, belajar bisnis" pikir ku.

Ayahku memang berasal dari keluarga yang kaya tapi pada akhirnya dia membangun lebih banyak kekayaan untuk dirinya sendiri. Ayahku dan aku memiliki perbedaan, selain itu kami juga tidak terlalu dekat tapi aku tahu itu bukan salahnya, dia memang dibesarkan seperti itu dan setelah ibuku meninggal, kami menjadi jauh.

Dia adalah orang yang baik, melakukan banyak hal untukku sehingga aku bisa sukses tapi terkadang aku hanya berharap kita bisa memiliki hubungan orang tua dan anak yang normal.

Tapi aku tidak pernah bisa menyalahkannya, dia berusaha sekuat tenaga untuk berada di sisiku setelah ibu meninggal, aku tahu itu sama sulitnya bagiku dan dia.

Meskipun ayahku adalah orang yang terkenal dan berpengaruh tapi aku selalu berusaha melakukannya sendiri, aku tidak memerlukan bantuan dari orang lain atau justru ayahku, aku tidak ingin menonjol karena orang lain memandang ku sebagai seorang putri dari pebisnis terkenal. Aku ingin orang lain memandang ku karena kemampuan ku sendiri dan aku ingin berbaur seperti mahasiswa lainnya.

Aku pindah ke negara bagian dari kota asalku untuk kuliah, aku berharap aku akan berhasil di kampusku. Untungnya berhasil dan selama dua tahun terakhir aku kuliah di WSU - Washington State University.

Negara bagian Washington adalah tempat yang indah meskipun sering diguyur hujan. Aku ingin menjelajah, melepaskan diri dari kehidupan penuh tekanan di kampung halaman ku di New York. Aku ingin menjelajah dan melihat peluang lain yang bisa ku raih di kota ini. Aku telah mencari uang untuk diri saya sendiri di sini meskipun sedikit tapi sekiranya aku senang karena bisa mendapatkan uang untuk sekedar kebutuhan kecilku. Meskipun sebenarnya aku juga sering menerima uang dan fasilitas yang diberikan ayahku.

Aku tidak ingin kuliah di New York. Itu bukanlah mimpi yang aku harapkan.

Sebenarnya ayahku tidak mempermasalahkan hal itu, dia telah memastikan ku bisa hidup layak di Washington. Ya, aku ditempatkan dengan baik di sebuah apartemen dekat kampus yang menyediakan semua yang aku perlukan.

Sambil menghela nafas, aku berdiri dan memulai rutinitas pagi, saat aku menanggalkan piamaku yang hanya terdiri dari kemeja besar saat aku berjalan ke kamar mandi dan seketika aku mandi dan menyegarkan diri, termasuk menyikat gigi.

Aku pindah ke lemari dan memilih sepasang celana jogger putih yang nyaman dengan crop top lengan panjang berwarna merah muda karena negara bagian Washington sebagian besar panas untuk hari ini, tapi aku tetap menyukainya.

Melirik jam untuk melihat waktu, aku senang mengetahui bahwa aku punya cukup waktu untuk mampir di kafe sebelum berangkat ke kelas.

Saat memeriksa tasku, aku memastikan aku membawa laptopku termasuk semua buku pelajaran yang kubutuhkan hari ini.

Sambil mengambil kunci, aku membuka pintu dan keluar dari apartemen, tepat pada waktu itu aku bertemu tetanggaku, Mabel Ruth. Dia adalah wanita tua yang baik hati, tepatnya berusia enam puluh tahun, yang sangat aku sukai selama berada di sini.

Dia seorang janda, suaminya telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dia juga menjadi pembantunya orang- orang, sering kali menjadi pengasuh anak- anak orang lain, dia menikmati pekerjaannya dan dia selalu menikmati waktu bersama anak- anak yang dia asuh.

Dia telah menceritakan kepadaku banyak kisah manis tentang semua anak yang menjadi pengasuhnya, wajahnya selalu berseri- seri.

Dia mencintai anak- anak, dia memiliki beberapa cucu yang saya temui beberapa kali, dia mengunjungi mereka atau mereka mengunjunginya setiap ada kesempatan.

Wajahnya berseri- seri saat dia menatapku dan aku membalas antusiasmenya dengan senyuman lebar.

"El, sayang, selamat pagi!," sapanya.

“Selamat pagi, Mabel!,” aku terkekeh pelan sambil melambai sambil berjalan menuju pintu keluar gedung kami.

"Semoga harimu menyenangkan di kampus! Usahakan jangan terlalu bersenang- senang!," teriaknya sambil tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

Aku memutar mataku sambil tersenyum, aku melambai padanya untuk terakhir kalinya sebelum menuju ke mobilku.

Dalam waktu singkat aku sudah berada di depan kafe yang sering aku kunjungi dan satu- satunya kafe di mana kamu dapat menemukan kedamaian, rasanya seperti di rumah sendiri.

Berjalan ke dalam kafe, aku tersenyum sambil melambai ke arah Darcy di belakang konter yang tersenyum saat melihatku, dia mengedipkan mata padaku saat dia mengambil dua cangkir kopi untuk dibawa pulang karena tanpa bertanya pun ia sudah mengetahui pesananku.

Satu cangkir kopi untuk ku dan satunya lagi untuk Scarlet, dia satu- satunya teman yang kudapat sejak aku berada di sini, satu- satunya orang yang tidak memanfaatkanku hanya karena statusku di New York karena ayahku.

"Ella, bersemangat untuk kelas hari ini?," Darcy memulai percakapan sambil meracik kopi, berbau harum.

Aku mengerang, menggelengkan kepalaku yang menyebabkan dia tertawa kecil karena kekecewaanku.

"Beberapa bulan lagi dan aku akan selesai," desahku, sedikit stres untuk hari ini.

Dia tersenyum sambil mengangguk, "Ayolah semangat untuk kuliah mu hari ini, El! Sampaikan salamku pada Scarlet!"

Dia memberiku kopi dan aku balas tersenyum, memberinya dua puluh dollar dan meninggalkan kembaliannya bersamanya saat aku mengedipkan mata padanya.

Suara bel pintu berbunyi menandakan ada pelanggan lain.

"Baiklah!," aku tersenyum, "Sampai jumpa saat istirahat," aku terkekeh.

Darcy mengangguk dan memberiku senyuman terakhirnya. Namun saat aku membalikkan badanku dan hampir menabrak dada bidang seseorang.

Aku menghela nafas, "Maaf," aku meminta maaf.

Aku mendongak menatap laki- laki yang hampir saja kutumpahkan kopi nya dan mataku menangkap yang berwarna hijau paling menyilaukan sedang menatapku, sesaat aku hampir lupa bernapas karena napasku yang tercekat.

Aku memperhatikan pria itu, dia berdiri tegak menjulang tinggi di atasku dan aku harus mendongakan leherku untuk bisa melihat pria itu dengan baik, terutama panjang sorot mata hijaunya yang menatap ku.

Dia mengenakan setelan yang ditambatkan dengan baik yang memeluk tubuhnya dengan baik. Tangan dan buku jarinya dipenuhi tato dan tiba- tiba aku penasaran apakah bagian tubuhnya yang lain dipenuhi tato.

Jenggotnya dicukur rapi, tidak ada satu pun detail pada pria ini yang tidak berteriak liar, tidak, semuanya dijinakkan dengan baik dan ditata dengan baik. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.

Alisnya melengkung, mata hijaunya berbinar geli saat bibirnya membentuk senyuman kecil saat dia menatap ke arahku.

"Sial, maaf," gumamku, mengalihkan pandanganku saat aku dengan cepat bergerak mengitari pria yang mengambil jalan keluarku.

Namun aku pikir pria itu begitu mempesona aku dapat mengatakan bahwa dia adalah anugerah Tuhan.

Sambil menghilangkan pikiranku dari pria itu, aku mengemudi untuk melanjutkan perjalananku ke tempat parkir kampus.

Aku melangkah keluar, aku menyampirkan tasku di bahuku sebelum mengambil kopi dan berjalan ke tempat aku bertemu Scarlet setiap pagi sebelum kelas. Tepatnya hanya sebuah lorong kelas.

Saat melihatku, Scarlett menjerit, matanya berbinar saat dia melihat kopi berjalan mendekat dan ia langsung mengambil miliknya.

Dia menyesapnya lama- lama, sambil mengerang dramatis.

“Aku merasakan iblis meninggalkan jiwaku saat kafein menyentuh lidahku,” komentarnya, kami berdua berjalan menuju kelas.

Aku memutar mataku, terkekeh mendengar kata- katanya tapi sejujurnya aku merasakan hal yang sama. Dia tiba- tiba tersentak, mencengkeram lenganku saat dia menghentikan kami berjalan lebih jauh.

"Apakah kamu mendengar Profesor Carson pensiun?" Dia bertanya, aku mengerutkan alisku bingung.

"Yup, dia sudah pergi. Aku mendengar dari siswa lain bahwa kita mempunyai Profesor baru, rupanya dia tampan," Scarlett menggoyangkan alisnya.

Aku memandang Scarlet seolah- olah dia baru saja menumbuhkan dua kepala, benar- benar bingung.

"Kau bercanda," aku mendengus sambil memutar mataku.

Dia menggeleng sambil tersenyum, "Tidak, kamu beruntung, seharusnya aku memilih belajar bisnis," desahnya sambil melamun.

Aku terkekeh melihat kejenakaannya, aku menarik diri dari lengannya yang tertaut, melambai sedikit saat kami berdua keluar secara terpisah. Membuka pintu kelas tempatku masuk, bergerak melewati kerumunan orang yang mencari tempat duduk mereka masing masing.

Aku mengambil tempat dudukku di baris ketiga, aku duduk di kursiku, menyiapkan laptopku sambil menunggu Professor baru itu.

Setelah beberapa saat semua orang menemukan tempat duduknya, pintu samping dekat bagian depan kelas terbuka. Mataku menelusuri pakaiannya, aku sangat tahu setelan itu.

Saat dia berdiri di depan podium, mulutku menjadi kering ketika mata hijau yang sama yang kulihat belum lama ini beralih ke seluruh kelas.

Sejenak dia berhenti di hadapanku, bibirnya bergerak sedikit sebelum dia berdeham dan melepaskan matanya.

"Selamat pagi semuanya," suaranya yang kasar membuatku merinding, halus seperti beludru dengan aksen.... aku pikir Italia.

Aksennya yang kental saat dia berbicara, tidak ada yang bisa melewatkan aksen kental yang dimiliki suara beludrunya. Aku kehilangan kata- kata, mengatupkan bibirku untuk menghentikan gairah tak terucap yang kurasakan saat dia berbicara.

Aku ingin mendengarnya dalam bahasa ibunya, mendengar kata- kata Italia meluncur sempurna dari lidahnya.

Menjadi putri seorang pebisnis, mengetahui bahasa lain adalah kuncinya karena ketika kamu bepergian untuk bisnis, aku telah belajar bahasa Italia, Prancis, dan Spanyol saat tumbuh dewasa, dan menjalani kelas berjam- jam yang panjang beberapa bulan terakhir.

To be continue.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel