Diusir Dari Rumah
Kiana dengan sigap langsung memang mamanya dengan isak tangisan yang menjadi. Ya, air mata yang menyatu bersama hujan.
Sementara itu Reyhan juga terlihat sangat panik.
"Taxi," teriak Kiana yang langsung memanggil taxi yang baru saja lewat di depan mereka. Namun, taxi itu seolah menghiraukan Kiana.
"Kiana, izinkan aku membantumu. Mamamu harus segera di bawa ke rumah sakit!"
Tanpa mendapatkan persetujuan Kiana, Reyhan langsung menggotong tubuh Windari memasuki mobilnya, sementara Kiana yang menanggung sedih dan khawatir itu hanya bisa mengikut di belakang Reyhan.
"Rey, tolong bawa Mama ke rumah sakit terdekat!" pinta Kiana kepada lelaki tampan yang dianggap oleh Kiana berandalan karena ia sering bersikap semena-mena dan membuat Kiana kesal.
"Mama, bertahanlah! Jangan tinggalkan Kiana sendiri, Ma!"
Tania terus menangis memandangi mamanya yang saat ini tengah terbaring lemah tak berdaya di pangkuannya.
'Jangan tinggalin Kia, Ma,' ujar Kiana di dalam hati dengan sejuta ketakutan yang ia bawa bersamanya. Takut kehilangan seseorang yang sangat berarti di hidupnya.
Kiana terus menangis dan mengeluarkan air mata, dunianya seolah terasa hancur berantakan, sedangkan Reyhan terus menatap Kiana dari kaca spion mobilnya dengan tatapan iba.
Tidak ada yang bisa Kiana lakukan selain menggerak-gerakkan kakinya bertanda ia juga ikut panik.
"Rey, bisa tolong cepat!"
Kata-kata itu selalu ke luar dari mulut Kiana, padahal mobil Reyhan saat ini telah melaju dengan kecepatan maksimal.
"Iya, Kiana."
Hingga akhirnya setelah 15 menit waktu yang ditempuh, sampailah mereka di depan rumah sakit.
Kiana segera keluar dari mobil untuk memanggil perawat dan dokter agar segera menolong mamanya, sementara itu Reyhan menggendong tubuh wanita separuh baya itu dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki menuju sebuah kamar inap untuk mendapatkan perawatan.
Baju yang mereka kenakan basah kuyup, namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk memasuki rumah sakit.
"Suster, tolong Mama saya!" ujar Kiana dalam isak tangisnya.
"Mohon selesaikan administrasinya dulu, Dek!" jawab suster.
"Suster, tolong segera selamatkan Mama saya dulu, saya pasti akan mengurus administrasinya," ujar Kiana dalam isak tangisan.
Namun, suster tetap bersitegang untuk meminta Kiana membayar tagihan rumah sakitnya.
Kiana mulai marah dan geram dengan sikap suster itu.
"Suster, Mama saya sedang tidak sadarkan diri, saya mohon tolong segera tangani, saya pasti akan bayar!" teriak Kiana dengan mata memerah melawan suster.
"Maaf, kami tidak bisa, ini adalah rumah sakit swasta dan kami tidak menerima pasien BPJS!" ujar sang perawat dengan nada suara yang terdengar tidak sopan.
Kiana geram!
Kiana tidak terima ketika orang-orang merendahkannya di saat penampilannya terlihat seperti seorang gembel, rambut berantakan dengan pakaian basah dan tanpa alas kaki, namun tetap saja baju sekolah yang ia kenakan adalah baju sekolah berstandar internasional.
"Dokter, tolong selamatkan Mama saya!"
Kiana mengejar seorang dokter yang tiba-tiba lewat di lobby, namun Kiana tetap tidak diacuhkan.
Tanpa rasa malu lagi, Kiana menjatuhkan harga dirinya, ia sampai bersujud dan menjatuhkan tubuhnya di lantai rumah sakit, akan tetapi tidak ada yang mempedulikannya.
Isak tangis Kiana semakin menjadi. Ia meraung-raung, agar mamanya yang sedang terbaring lemah segera mendapatkan perawatan terbaik.
"Nona, ke luar dari sini! Rumah sakit kami tidak melayani pasien BPJS!"
Petugas keamanan menyeret Kiana secara paksa untuk keluar dari rumah sakit.
"Lepaskan aku!" pekik Kiana sembari berusaha melepaskan diri dari serangan mendadak itu.
Tidak ada yang menghiraukan Kiana, semua orang di rumah sakit itu benar-benar tidak mempedulikannya.
"Dokter! Tolong segera tangani pasien itu dan berikanlah perawatan terbaik!"
Suara lantang dan keras ke luar dari lisan Reyhan. Lelaki tampan itu terlihat sangat marah dengan perlakuan semena-mena pihak rumah sakit.
Suara lantang Reyhan juga tidak di hiraukan oleh seluruh orang yang ada di rumah sakit. Seolah rumah sakit ini hanya melayani orang dari kalangan elit saja, apalagi mereka dibentak oleh dua orang anak ingusan yang masih bocah dengan seragam sekolah.
Reyhan geram!
Ia marah dan sangat tidak terima melihat Kiana diperlakukan tidak adil. Sementara Kiana, gadis yang masih terlihat cantik dengan penampilan kusut itu berusaha melepaskan dirinya, namun petugas keamanan tetap tidak menghiraukannya.
"Lepaskan dia!" teriak Reyhan.
Mata Reyhan memerah dan emosinya meningkat, ia sungguh tidak tega jika sahabat baiknya menangis dan mendapatkan perlakuan kasar seperti itu, apalagi saat ini Kiana benar-benar tengah membutuhkan bantuan.
Petugas keamanan itu terlihat juga tidak menghiraukan Reyhan sehingga pria tampan itu merasa murka dengan apa yang terjadi.
"Panggil pimpinan perusahaan ini!"
Reyhan menunjuk kiri ke arah petugas keamanan itu dengan sejuta amarah yang ia bawa bersamanya.
"Tuan Muda, apa yang terjadi?"
Seorang dokter datang dengan berlari mendekati Reyhan dengan wajah pucat dan ketakutan, seolah Reyhan adalah orang berpengaruh di rumah sakit ini.
"Cepat tangani pasien itu dan berikan pelayanan terbaik!" teriak dokter kepada staf yang ada di rumah sakit dan tentu saja semuanya bergegas dan dengan sigap menolong Windari, mamanya Kiana.
Sungguh, uang, harta dan kedudukan itu sangat menentukan kebaikan hati seseorang.
"Om Dokter, tolong berikan perawatan terbaik untuk Mama teman saya!" perintah Reyhan dengan nada suara tinggi.
Dokter dan perawat membawa Windari ke ruang VVIP rumah sakit mewah ini dan langsung ditangani oleh dokter dan perawat terbaik.
Sementara itu Kiana, saat ini gadis cantik itu tengah duduk di kursi tunggu sembari memegang kepalanya. Tampang Kiana terlihat sangat kusut dengan wajah yang terlihat sangat menyedihkan karena air mata terus mengalir membasahi pipinya.
Reyhan mendekati Kiana, memegang pundak gadis cantik itu dengan lembut. Reyhan ingin menghibur dan menenangkan Kiana.
"Kia, sabar!"
Kata-kata lembut yang ke luar dari mulut Reyhan terasa menenangkan dan menghibur Kiana, namun gadis itu berusaha untuk menanggung kesedihan hatinya sendiri. Kiana menapis tangan Reyhan dan berusaha menghindari tangan lelaki itu, akan tetapi Reyhan tetap bersikap sabar, lelaki tampan itu terlihat mengerti dengan kesedihan hati sahabatnya. Ya, walaupun Reyhan tidak tahu persis apa yang terjadi, akan tetapi apa yang dilihat Reyhan sudah cukup membuktikan kalau masalah yang dihadapi oleh Kiana saat ini sangat pelik.
"Tenanglah, Kiana, aku akan membantumu!"
Reyhan langsung memeluk Kiana sembari menepuk-nepuk lembut pundak gadis itu, dengan harapan perasaan Kiana menjadi lebih baik dan lebih tenang. Setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang untuk membantu Kiana.
"Rey, pelakor itu telah membuat aku dan Mama di usir dari rumah! Kami bahkan pergi tanpa membawa apa-apa."
Isak tangis Kiana semakin menjadi-jadi dengan air mata yang semakin deras membasahi pipinya.
Kekesalan Kiana membuat ia akhirnya mengungkapkan semua kekesalan yang ia tahan di hatinya.
Kiana menumpahkan semua sakit yang menyesakkan dadanya, menceritakan semua persoalan hidup yang ia alami kepada Reyhan, hingga perasaannya menjadi lebih baik.
"Rey, aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku sudah tidak punya rumah dan aku juga tidak punya ijazah untuk melamar pekerjaan," ujar Kiana dengan isak tangis yang mulai mereda.