Bertemu Baba
“Kau lihat aku tak selamat?”
“Tidak! Itu tidak mungkin,” lirih pemilik toko ayam goreng itu lalu menghapus air matanya. “buktinya kau ada di sini sekarang,”
“Ia! Hehehe! Kau pasti salah lihat!” sambung Ruth yang segera meraih tangan Moa yang masih saja memikirkan perkataan pria paruh baya itu.
Mereka lalu melangkah masuk ke dalam toko lalu mulai memesan makanan yang diinginkan Moa dan Ruth. Itu adalah rencana awal mereka datang kemari.
Setelah selesai memesan pesanan mereka. Moa dan Ruth kemudian duduk di kursi yang mejanya menempel di dinding menghadap ke jendela kaca besar yang secara jelas memperlihatkan kondisi kota North Port yang masih dalam tahap renovasi.
Mmmm!
Moa menghela nafasnya, dadanya terasa sesak terutama saat melihat jalan-jalan kenangan dalam hidupnya penuh dengan batu bata berserakan seakan mereka sedang ada dalam kota mati.
“Kabarnya rumah gubernur lebih parah,” ulang Ruth seakan ingin Moa mengingat lagi apa yang sudah diucapkannya tadi.
“Iya. Mungkin karena itu dia pergi dari kota ini,”
“Bukan,” Ruth menggelengkan kepalanya kuat.
“Lalu?”
“Kabarnya dia pergi karena dia punya sesuatu yang bisa memperbaiki kondisi keuangan keluarganya,”
Tak mengerti dengan perkataan temannya, Moa segera mengerutkan keningnya.
“Kalian sedang bicarakan apa?” Tuan pemilik toko ayam goreng segera memotong pembicaraan mereka lalu meletakkan pesanan kedua gadis manis ini di atas meja. “Makan dulu, kalian pasti sudah sangat merindukan ayam goreng buatanku.
“Wah!” seru keduanya sambil meninggikan hidung. “Ini ayam goreng yang paling aku rindukan.” Moa tersenyum lebar. Sungguh ini adalah hal yang sangat dia syukuri saat ini, bisa kembali makan makanan enak setelah badai yang merusak kota.
“Iya, kalian makanlah. Hari ini aku sedang menggratiskan semua ayam goreng sebagai rasa syukurku kepada Tuhan yang telah menyelamatkan toko ini dan keluargaku. Termasuk keselamatan kalian juga tentunya.”
“Oh! Hatimu mulia sekali, Tuan!”
“Eh, Moa. Jangan panggil seperti itu. Panggil saja aku, Baba.”
“Baba?” kening Moa kembali berkerut.
“Benar, anak-anakku semua memanggilku seperti itu.”
“Kau punya anak?” Kerutan di kening Moa berubah jadi senyuman lebar.
“Aku punya 8 orang anak. Mereka adalah anak-anak yatim piatu yang hidup menggelandang.”
“OH!” Moa semakin terharu mendengar cerita Baba yang begitu indah di telinganya.
“Aku dan Moa juga yatim piatu, Baba. Kami tak punya orang tua tapi beruntungnya kami masih punya rumah meski kondisinya kurang baik,”
“Sungguh!”
“Benar,” sambung Moa melanjutkan perkataan Ruth yang memang selalu saja mengatakan pada semua orang tentang kondisi mereka berdua.
“Kalau begitu jadilah anakku. Kalian boleh makan ayam di sini setiap hari. Aku tak akan memungut uang dari anak yatim piatu seperti kalian!”
Ruth menoleh ke arah Moa lalu tersenyum. Tentu ini adalah kabar gembira untuk keduanya hingga senyum Moa segera melebar.
“Kalau begitu kalian boleh tambah,” tunjuk Baba pada etalase tokonya yang masih penuh.
“Sudah, Baba. Satu porsi ini saja sudah cukup bagi kami. Terima kasih, pasti ada yang masih membutuhkan bantuanmu,”
Mendengar perkataan Moa, tentu pria paruh baya bertubuh tambun itu tak bisa menahan air matanya. Gadis itu tak cuma cantik wajahnya namun juga sangat lembut hatinya.
Mereka lalu memulai makan ayam goreng hingga perut keduanya begah karena kekenyangan.
“Kalian mau kemana sekarang?” tanya Baba yang sudah siap dengan bungkusan nasi yang akan dia berikan pada Ruth dan Moa yang siap untuk meninggalkan toko.
“Kami akan jalan-jalan saja, Baba. Terima kasih!”
“Ini ayam goreng untuk kalian makan malam. Aku harap ini cukup, ya!”
“Terima kasih,” ucap Moa dengan lembut setelah Ruth lebih dulu mengambil bagiannya.
“Kalau ada apa-apa kabari aku, ya. Sekarang aku adalah Baba kalian juga,”
“Terima kasih, Baba.” Ruth yang tak mau pembicaraan berlanjut kemudian melangkah menuju pintu lebih dulu setelah melambaikan tangan pada pemilik toko ayam baik hati itu.
Mereka lalu melanjutkan jalan-jalan hari ini dengan melihat beberapa bagian kota yang sudah lebih baik. Banyak truk yang berhasil membersihkan gedung-gedung tinggi setelah badai termasuk hotel yang baru dibuka di ujung toko milik Roy.
“Hotel itu!” tunjuk Moa sambil mengenang karangan bunga yang sempat dikirimnya.
“Iya, meski tersisa setengah kabarnya mereka masih beroperasi.”
“Mereka sudah pesan bunga ke toko Tuan Roy, tapi entah apa yang terjadi jika badai datang?”
“Nona!” panggil seorang pelayan pria berbaju jas yang sempat melihat Moa di toko bunga Tuan Roy.
“Siapa?” tanya Moa sambil memandang wajah pria itu dalam-dalam.
“Kau yang kerja di toko Tuan Roy, kan?”
Moa tak menjawab, dia hanya mendehem sambil menganggukkan kepalanya.
“Bosmu harusnya mengembalikan uang yang sudah kami bayarkan. Bukanya malah kabur!” tegasnya.
“Hey, dia tak tau apa-apa! Dia bahkan baru bangun setelah seminggu badai melanda kota ini!” bela Ruth yang tak mau pria itu semakin marah.
“Terserah kau mau bilang apa, yang kami tahu tuannya berhutang pada hotel kami. Menyesal aku merekomendasikan toko bunga itu,”
“Aku tau soal itu,” lirih Moa lalu menghela nafas panjang. “Kalian sudah bayar mahal untuk pemesanan bunga lima bulan ke depan, kan?”
“Ia, kau tau itu, kan?”
Moa kembali mengangguk. “Aku akan berusaha mencari tuanku dan memintanya mengembalikan uang kalian,”
“Kau bicara apa, Moa? Bagaimana caranya membuat Tuan Roy membayar semuanya,”
“Aku akan mencarinya, Ruth!”
“Mencari kemana?” Kali ini Ruth yang menjadi marah karena kata-kata Moa.
“Aku akan menemukannya. Ada hal yang harus dibayarkan padaku,”
“Kau ini bicara apa?” tanya Ruth tak mengerti.
“Kalian lihat saja nanti, aku pasti akan menemukan Tuan Roy yang licik itu dan memaksanya menuruti semua keinginanku.
Mendengar kata-kata Moa, keduanya sontak kebingungan. Mereka tak menyangka jika teguran yang dikatakan pelayan hotel itu justru membuat Moa jadi ingin mencari Tuan Roy yang saat ini tak mereka tau keberadaannya.
Moa lalu melangkah pulang setelah pertemuannya dengan pelayan hotel itu, langkahnya begitu tegas hingga Ruth tak berani dekat-dekat dengan temannya itu.
Setiba di pertigaan bagian luar kota, Ruth memilih pamit dan Moa melanjutkan langkahnya hingga tiba di rumah.
Brak!
Moa membanting pintu lalu duduk di kursi makannya.
“Kenapa kau terlihat kesal?” tanya Nenek sambil mendekat.
“Aku rasa aku harus mulai mencari Tuan Roy. Aku harus menjalankan permintaan Nenek Sihir padaku,”
“Soal menghancurkan Money Bowl milik Tuan Roy?”
“Benar! Selain itu dia juga harus membayar uang yang sudah diterima dari orang-orang di kota ini!”
“Memangnya kau mau mencarinya kemana?” tanya Nenek sambil terus memperhatikan wajah Mao yang begitu serius.
“Aku rasa aku tau dia dimana,” ucap Moa dengan penuh keyakinan.