Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Penanda Masa Depan

"Darren, kamu kenapa?” tanya mama saat melihatku berjalan memasuki ruang tengah dengan dipapah Pak Jo.

Wajah mama tampak khawatir melihatku yang masih lemas dan terhuyung. Sebagai anak tunggal dan mahal, mama selalu mencemaskan segala sesuatu tentang diri ini. Segera ia menyuruh Pak Jo untuk membawaku ke kamar langsung.

Aah … cukup lega kurasakan, akhirnya aku bisa merebahkan diri di kasur empukku. Perlahan kubuka kembali mata yang sempat kupejamkan sejenak untuk menghalau pusing dan nyeri di kepala.

“Sebenarnya Darren kenapa, Jo?”

“Ini, Nyonya. Tadi Den Darren tiba-tiba pingsan di sekolah pas jam pulang sekolah.”

“Pingsan? Kenapa bisa pingsan?”

“Kurang tahu, Nyonya. Coba nanti tanya ke Meisya karena pas kejadian Den Darren dengan Meisya, Nyonya.”

“Terus sekarang di mana Meisya? Aku tidak melihat dia ikut pulang bersama kalian.”

“Itu, Nyonya … eehm ….” Pak Jo ragu-ragu untuk cerita, aku tahu ia pasti ingin menutupi apa yang sudah kulakukan tadi.

“Tadi karena buru-buru dan panik, Pak Jo lupa kalau Meisya belum naik, Ma.” Aku mencoba mencarikan alasan.

“Kalau begitu jemput Meisya sekarang, kasihan dia kalau sampai menunggu.”

“Nggak usah, Ma. Dia sudah pesan ojek online, paling sebentar lagi sampai.” Dengan cepat aku berusaha menahan titah mama.

“Kamu kenapa bisa pingsan, Sayang? Wajah kamu pucat sekali,” ujar mama sembari mendekat dan mengelus kepalaku.

Mata itu berkaca-kaca. Sorot kekhawatiran masih saja bergelayut di sana. Aku tahu ia takut kehilangan anak emas yang selama ini sangat ia jaga. Bagi mereka, diri ini adalah satu-satunya penerus keluarga sekaligus pewaris seluruh bisnis dan harta yang mereka miliki.

Aku tak langsung menjawab, kutoleh Pak Jo yang masih berdiri di dekat pintu. Seperti mengerti dengan maksud dari tatapanku, pria separuh baya itu segera pamit keluar kamar.

“Ma, aku minta Meisya dikembalikan ke desa. Aku nggak mau kalau ada dia di rumah ini.”

“Memangnya kenapa, Sayang?”

Sejenak aku berpikir bagaimana caranya agar mama mengerti dengan apa yang menjadi keinginanku dan bisa paham dengan kondisi yang saat ini sedang kuhadapi.

“Ma, waktu itu aku pernah cerita ke Mama tentang mimpi aneh. Mama masih ingat?”

Wanita di hadapanku itu terdiam, tampak ia berusaha mengingat sesuatu. “Mimpi tentang kecelakaan mobil itu?”

“Tidak hanya itu, Ma.”

“Lalu?”

“Tentang gadis dalam mimpi itu.”

“Gadis yang kamu bilang mirip Meisya?”

“Iya.”

“Kamu yakin dia mirip Meisya?” tanya mama dengan tatapan menyelidik.

Sudah kuduga, pasti mama pun tak akan percaya dengan yang kualami. Sungguh ini di luar nalar manusia. Selama bertahun-tahun dihantui mimpi yang selalu sama, bahkan salah satu dari mimpiku kini jadi kenyataan. Kehadiran Meisya menjadi penanda bahwa mimpi itu adalah sebuah firasat kenyataan akan masa depan.

Penanda masa depan? Benarkah Meisya adalah bagian dari masa depanku? Atau … jangan-jangan ini kaitan dengan kehidupanku di masa lampau? Ah, apa iya reinkarnasi itu ada?

Kucoba menepis semua pikiran yang makin tak masuk akal itu. Kehela napas berat, mengisi kembali paru-paru yang serasa terhimpit ini dengan merauk oksigen sebanyak mungkin.

“Darren,” panggil mama membuyarkan lamunan yang mengembara entah ke mana.

“Sudahlah, Ma. Sekali pun aku cerita sedetail mungkin apa yang kualami, pasti Mama juga nggak akan percaya.”

“Darren, bukan Mama tak percaya, Sayang. Tapi itu semua sungguh tak masuk akal.”

“Iya, aku tahu semua itu nggak masuk akal, Ma. Tapi itu memang beneran kenyataan yang selama ini aku alami!” Nada suaraku mulai meninggi.

“Mama percaya, Darren.”

“Nggak perlu bohong, Ma. Darren tahu Mama nggak akan percaya.”

Mama kembali terdiam. Sorot kecemasan makin menjadi di riak wajahnya. Aku merasa kasihan dengannya, mungkin sikapku telah membuat ia makin khawatir.

“Daren ingin istirahat, Ma. Mama sebaiknya keluar saja,” pintaku seraya memiringkan badan memunggungi wanita yang kini masih diliputi rasa waswas itu.

Tak sanggup rasanya jika melihat sorot netra yang hampir runtuh pertahanannya dari desakan bulir bening. Sejak dulu aku paling tidak bisa melihat mama bersedih apalagi menangis. Ikatan batin yang begitu kuat membuatku bisa merasakan setiap kesedihan yang merundungnya.

“Sebaiknya Mama bawa kamu ke dokter, Darren. Mungkin saja sakit kepala yang kamu rasakan bisa mendapat penanganan sedini mungkin.”

“Nggak, Ma. Aku hanya ingin istirahat, Mama nggak usah khawatir.”

“Tapi, Sayang ….”

“Ma!” ucapku dengan nada agak tinggi sembari membalik badan dan menatapnya, meminta agar ia bisa memberiku waktu untuk menenangkan diri.

“Baiklah, Sayang. Mama keluar dulu, tapi jangan lupa untuk turun makan, ya. Atau Mama suruh Bik Atin bawakan makan untuk kamu?”

“Terserah Mama saja.”

Setelah punggung wanita yang sejak tadi cemas itu menghilang di balik pintu, pikiranku kembali melayang tak menentu. Semua kejadian yang kualami selama ini semakin hari makin membuat otak ini lelah berpikir. Sebenarnya ada teka-teki apa dalam diriku.

Ingatanku kembali pada sebuah bayangan yang hadir sesaat setelah aku menatap Meisya dengan lekat. Sungguh bayangan itu serasa nyata seakan aku pernah mengalami kejadian itu.

Ada rasa penasaran yang bisa kuhindari. Bergegas aku membuka laptop dan memulai pencarian.

Kata pertama yang kuketik adalah ‘Ciri Indigo’ karena aku ingin tahu apakah aku termasuk dalam kategori anak yang memiliki kemampuan lebih. Setiap artikel yang memuat tentang ciri-ciri anak indigo aku baca dan pahami.

Menurut beberapa artikel yang kubaca menyatakan hal yang serupa sehingga dapat aku tarik garis besarnya bahwa anak indigo adalah anak yang memiliki kemampuan spesial di luar nalar yang tak bisa dibuktikan dengan sains.

Benarkah aku anak indigo? Tapi aku tak mampu melihat makhluk tak kasat mata.

Segala sesuatu yang terjadi memang ada dalam mimpi sebelumnya, namun itu bukan berarti aku mampu memprediksi masa depan. Jawaban mengenai anak indigo tak memberi jalan pencerahan yang dapat membuka tabir mengenai apa yang terjadi pada diri ini.

Sejenak aku berpikir. Terbersit kata reinkarnasi dan mencoba menemukan beberapa kejadian yang nyata terjadi di dunia. Artikel pertama yang kutemukan adalah kisah nyata yang membuktikan kebenaran mengenai reinkarnasi. Langsung saja jari ini mengarahkan kursor ke link artikel tersebut.

Reinkarnasi memiliki arti lahir kembali setelah kematian ke dalam tubuh yang baru dan kehidupan yang baru pula. Jujur, bagiku cerita reinkarnasi hanya ada dalam cerita fantasia tau kepercayaan agama tertentu.

Cerita pertama mengenai seorang wanita bernama Dorren yang melahirkan anak lelaki dan diberi nama William. Suatu hari Dorren memarahi William dan membentaknya keras.

Di luar dugaan, justru William mengatakan bahwa ia ayahnya Dorren. Bahkan ia mampu menceritakan masa kecil Dorren dan juga kucing kesayangannya yang diberi nama Boston.

Beralih ke cerita kedua, yaitu tentang sebuah tanda lahir semacam rajah dengan bentuk seperti petir dengan warna coklat muda. Menurut cerita, keluarga tersebut memiliki kepercayaan mengenai reinkarnasi.

Mereka menandai bagian-bagian tertentu agar jika ada yang meninggal maka akan terlahir kembali dengan membawa tanda tersebut.

Terbukti kejadian di sebuah keluarga di negara Myanmar. Seorang anak terlahir dengan sebuah tanda yang sama persis dengan tanda yang dibuat oleh kakeknya, sedangkan sang kakek telah meninggal 11 bulan sebelum anak tersebut lahir.

Kepala ini manggut-manggut setelah membaca beberapa penjelasan mengenai reinkarnasi. Tapi rata-rata cerita tersebut dialami oleh keluarga yang sama. Sedangkan aku dengan Meisya bukan satu keluarga. Kami besar di keluarga yang beda dan lingkungan yang juga sangat jauh berbeda.

Lalu, disebut apakah ini? Aku tak memiliki hubungan sama sekali dengan Meisya tapi ia hadir dalam mimpiku, jauh sebelum aku mengenalnya. Tak masuk akal pula anak usia sepuluh tahun bisa bermimpi hal di luar jangkauan pikiran anak kecil.

Entah sudah berapa lama aku menatap layar laptop sembari berpikir keras. Tak bisa kutemukan sebuah jawaban yang mampu memuaskan rasa ingin tahuku.

Lelah sudah pencarianku hari ini. Lebih baik istirahat dan menenangkan diri. Mungkin esok hari atau entah kapan waktu pasti akan kutemukan jawabannya.

Kututup kembali laptop, kemudian merebahkan diri ke peraduan ternyaman. Mencoba memejamkan mata, namun baru kusadari bahwa perut ini minta diisi.

Perlahan aku bangkit dan keluar dari kamar. Langkahku terhenti saat menuruni anak tangga, suara mama mengundang kecurigaan.

Samar-samar kudengar mama sedang bicara dengan papa melalui sambungan video call. Ada namaku ia sebut, sehingga membuatku mengendap-endap menuruni tangga.

“Pa, Mama khawatir dengan kondisi kejiwaan Darren.”

“ Maksud Mama apa?”

“Mama bingung mau cerita, Pa. hanya saja Mama rasa kita perlu membawa Darren untuk periksa kepala dan pergi ke psikolog.”

Deg!

Batinku seketika syok mendengar ucapan mama. Ia berpikir aku sudah gila sehingga harus dibawa ke psikolog untuk mendapat penanganan.

“Mama ini apaan, sih? Anak sendiri, kok, disangka gila.”

“Bukan begitu, Pa. tapi kondisi kejiwaan Darren saat ini mengkhawatirkan. Lagipula kita ke psikolog, Pa. bukan ke psikiater.”

“Coba, deh, Ma dipikir lagi. Karena selama ini tak ada yang aneh dengan Darren. Kita juga selama ini selalu ada buat dia, nurutin apa yang jadi maunya dia.”

“Iya, Mama tahu. Tapi ini hal lain, Pa. mama saja sampai bingung.”

“Ya, sudah. Besok Papa sudah sampai rumah karena urusan di sini juga sudah hampir delapan puluh persen selesai. Sisanya bisa Papa serahkan dulu ke Hendri untuk menghandle semua.”

“Oke, Pa. Mama tunggu, siapa tahu dengan ketemu Papa keadaan Darren bisa lebih baik.”

“Semoga, Ma. Hanya saja Papa rasa Darren sedang capek aja, apalagi sebentar lagi dia akan menghadapi ujian sekolah.”

“Maybe, Pa. Ya sudah, Pa. Mama tutup, ya. Ini mau ngambilin makan untuk Darren.”

“Oke, Ma. Salam buat Darren. Bilang ke dia kalau Papa rindu berat ingin peluk dia.”

“Hahaha … Papa ini, ingat, Pa, Darren itu sudah besar.”

“Hahaha … iya, Papa sering lupa kalau anak kita sudah besar, Ma.”

“Nggak kerasa, ya, Pa. Papa ini gimana, sih? Dari tadi katanya mau nutup video call, tapi masih aja ngajakin ngobrol terus. Udah, ya … ini Mama mau ambil makanan untuk Darren.”

Sekali lagi kudengar papa tertawa sebelum akhirnya menutup panggilan. Mereka memang selalu mesra diberbagai momen, hampir tak pernah kudengar mereka rebut. Kasih sayang mereka juga tercurah penuh untukku.

Tubuhku terasa lemah kembali setelah mendengar percakapan mama dengan papa. Kusandarkan tubuh pada pegangan tangga, ada titik bening yang tetiba jatuh dari kedua sudut mata.

Aku menangis bukan karena rasa sakit di kepala yang masih kurasa, melainkan ada nyeri menjalar kala tahu bahwa wanita yang selama ini jadi malaikat dalam kehidupanku justru menganggapku gila.

Tak masalah jika mama tak percaya dengan semua ceritaku, tapi tak seharusnya berpikir bahwa aku mengalami gangguan kejiwaan. Sungguh menyakitkan mendengar semua itu.

“Darren, kamu kenapa duduk di situ?” Tetiba mama sudah ada di ujung tangga, melihatku yang menyembunyikan wajah dalam tangkupan lutut yang kutekuk.

Sontak aku mengangkat wajah, memandang penuh kecewa pada wanita itu. Tak kusangka ia tega berpikir aku tak waras lagi. Semua gegara Meisya, seandainya ia tak pernah hadir dalam mimpiku mungkin aku tak perlu merasa dihantui oleh kilasan bayang yang tak pernah kumengerti.

“Darren, kamu kalau butuh apa-apa seharusnya cukup telepon saja ke Mama. Tubuh kamu masih lemah, Sayang,” ujarnya seraya mendekat dan hendak menolongku untuk berdiri, namun kutepis tangan itu.

“Apa maksud Mama ingin membawa aku ke psikolog? Mama pikir aku sedang gangguan kejiwaan? Tega, ya, Ma ngatain anak sendiri gila. Darren benar-benar kecewa ke Mama!”

“Darren, dengerin Mama. Mama mau bawa kamu ke psikolog hanya untuk konsultasi masalah yang kamu alami, Sayang. Please, pahami maksud Mama. Jujur, Mama sangat khawatir dengan apa yang menimpa kamu.”

“Ma, Mama boleh nggak percaya dengan cerita Darren, tapi jangan pernah anggap aku gila.”

“Ya Tuhan … Darren, Mama nggak bermaksud begitu. Coba, deh, kamu pikir baik-baik. Apa yang kamu alami sudah berlangsung sejak lama. Kemudian kehadiran Meisya juga membawa dampak yang cukup membuat Mama tak habis pikir dengan perubahan sikap kamu.”

Sesaat aku terdiam. Mencoba meresapi setiap perkataan mama. Memang ada benarnya aku butuh bantuan seseorang untuk menemukan jawaban apa yang sebenarnya tengah terjadi denganku.

Kupandang wajah mama, ada kesedihan yang ia simpan. Ia berharap aku bisa menerima apa yang menjadi harapannya.

“Baik, Ma. Kapan Mama akan bawa Darren ke psikolog, Darren ngikut. Mungkin kata-kata Mama ada benernya," ucapku pasrah.

“Makasih, Sayang sudah mengerti maksud Mama. Mama hanya ingin yang terbaik untuk kamu.”

Aku mencoba tersenyum untuk sedikit meredakan kekhawatiran yang mama rasakan. Ia mengajakku untuk kembali ke kamar dan meminta Bik Atin untuk membawakan makanan.

Seperti biasa malaikat kehidupanku menyuapkan makanan sesendok demi sesendok ke mulut ini. Tatapan penuh kasih sayang begitu meneduhkan hati yang penuh gejolak tak menentu. Sesaat aku terlupa dengan beban pikiran yang bergelayut.

Mungkin dengan mengikuti saran mama, akan aku dapati sebuah jawaban. Semoga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel