Bayangan Janji Suci
Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagiku. Permintaan yang kemarin kuajukan ke mama akan terealisasi hari ini. Mama akan pergi ke sekolah tempat aku menimba ilmu. Tentu saja untuk menemui Miss Lena.
Entah kenapa jantung ini malah berdegup kencang saat mendampingi mama masuk ke ruang guru untuk menemui Miss Lena. Wanita dengan senyum indah itu menerima kami dengan begitu ramah.
“Silahkan duduk, Bu. Ada apa pagi-pagi sudah menyambangi saya?” tanya Miss Lena dengan memamerkan deretan gigi berpagar kawat miliknya.
“Begini, Miss Lena. Darren itu butuh bimbingan privat dari Miss, kira-kira masih bisa nggak?”
“Waduh, maaf sekali, Bu. Sudah hampir tiga bulan ini saya tidak melayani bimbingan privat karena Ibu saya sedang sakit dan lebih membutuhkan kehadiran saya.”
“Oh, begitu.”
“Iya, Bu. Lagipula kemampuan Bahasa Inggris Darren sudah baik, kok. Jadi, saya rasa nggak perlu bimbingan lagi.”
“Tapi kata Darren ….”
“Ma, aku takut aja kalau nanti aku nggak siap untuk ujian sekolah. Please, kumohon.” Sengaja kupotong ucapan mama agar tidak ketahuan aku sedang berbohong.
Tampak wanita kesayanganku sedang berpikir. “Ehm … begini, Miss Lena. Sebenarnya saya mau minta tolong juga untuk keponakan saya yang dari desa, Bahasa Inggris dia masih kacau.”
“Keponakan Mama yang mana?” tanyaku penasaran, namun jawaban yang kudapat justru sebuah cubitan di paha.
“Meisya, Sayang. Masa sama saudara sendiri lupa?”
“Tapi, Ma ….”
“Darren, sebaiknya kamu keluar. Biar Mama yang bicara dengan Miss Lena. Lagian sebentar lagi mau bel masuk,” titah mama yang lebih tepatnya mengusirku dari ruangan ini.
“Darren mau di sini,” ujarku sembari memberengut.
“Ya, sudah. Kalau mau tetap di sini syaratnya nggak boleh rewel.”
“Ish … Mama ini. Kenapa selalu anggap Darren macam anak kecil?”
“Darren ….”
“Iya, iya. Darren diem!”
Tak ada pilihan lain selain mengunci mulut dan menjadi pendengar yang baik. Kulihat Miss Lena terkekeh melihat perdebatanku dengan mama. Pasti dia berpikir kalau aku anak manja dan kolokan. Huh! Semua gegara mama yang sesuka hati menjalankan misi, harusnya kan sesuai rencanaku.
“Maaf, Bu. Meisya kelas berapa?”
“Kelas 11, Miss. Dia anak baru di sekolah ini. Ayahnya menitipkan dia untuk ikut saya, jadi saya bertanggungjawab untuk memberikan perhatian lebih pada Meisya.”
“Tapi saya tidak mengajar kelas 11, Bu. Mungkin bisa dengan Miss Endah.”
“No, no, no … aku maunya hanya dengan Miss Lena!” Ekspresiku yang spontan tak rela itu sontak membuat Miss Lena memandang heran
“Maksud aku be-begini, Miss. Yang butuh bimbingan untuk ujian itu kan aku? Jadi, ya harus aku yang diutamakan. Aku pokoknya hanya mau dengan Miss Lena, selain Miss Lena mendingan aku mogok sekolah saja!” Kupasang muka ngambek dan membuang muka.
“Maaf, Miss Lena. Darren memang anaknya sedikit kolokan, kalau sudah punya keinginan harus dipenuhi. Jadi, tolong dibantu biar nggak mogok sekolah.”
‘Aah … Mama! Ngapain juga pakai acara ngatain anaknya kolokan? Bikin harga diri ini runtuh saja sebagai pria dewasa!’ gerutuku dalam hati.
“Baiklah, saya akan usahakan, Bu. Kemungkinan saya bisa datang hanya hari Sabtu dan Minggu, untuk waktu nanti saya konfirmasi lagi.”
“Baik, Miss. Terimakasih atas waktunya. Kalau begitu saya pamit.”
“Silahkan, Ibu.” Miss Lena melepas kami dengan sebuah senyum disertai gelengan kepala.
Akhirnya aku merasa lega karena rencana awal telah berhasil meski tak sesuai harapan. Entah apa yang dipikirkan mama sampai melibatkan Meisya sebagai alasan. Kalau nanti si gadis kampung itu ikutan belajar, yang ada malah jadi runyam.
“Ma, kenapa si gadis kampung itu harus ikutan les privat bareng Darren?” komplainku saat telah keluar dari ruang guru.
“Darren, hanya itu satu-satunya alasan yang tepat agar Miss Lena mau datang ke rumah. Kamu dengar sendiri tadi, kalau kamu nggak ada masalah dalam pelajaran Bahasa Inggris,” tutur mama sembari memegang bahuku, tatapannya seakan berkata untuk meminta agar aku mengerti apa yang ia maksud.
“Iya, deh, Ma. Darren nyerah.”
“Kok ngomongnya begitu?”
“Darren itu maunya les sendiri, jadi bisa berduaan dengan Miss Lena.”
“Darren!” Tetiba wanita di hadapanku membentak sembari melotot.
Ups … duh, salah ngomong lagi. Bikin aku jadi salah tingkah kalau begini. Aku nggak mau kalau sampai mama curiga dengan rencanaku.
“Jujur sama Mama, kamu minta bimbingan privat ke Miss Lena karena kamu ada tujuannya, ‘kan?”
“Ya, pasti lah, Ma. Namanya bimbingan sudah pasti punya tujuan agar Darren makin pinter.” Aku masih mencoba berkelit, kucoba menekan debar jantung yang berpacu lebih kencang dari sebelumnya.
“Kamu pasti punya rencana lain. Katakan ke Mama, apa maksud kamu ingin berduaan dengan Miss Lena? Mama nggak mau kamu punya pikiran macam-macam ke wanita yang usianya lebih dewasa dari kamu.”
“Apaan, sih, Ma? Tenang aja, Ma. Aku itu Cuma mau fokus belajar dengan Miss Lena. Mama tahu sendiri kalau Meisya itu anaknya ceroboh banget, yang ada ntar malah gangguin Darren aja.”
“Are you sure just it your reason?”
“Ya, Ma. Udah, gih! Mending Mama pulang atau shopping gitu. Mumpung Papa lagi nggak ada si rumah, hahaha ….”
“Kamu ini, bisa aja ngerayu Mama.”
“Iya, donk … Darren gitu looh.”
Kami pun tertawa, mama yang hendak pulang tak lupa mendaratkan bibir ke dahiku. Ah, telat. Belum juga aku menghindar mama sudah berhasil meraih kepalaku dan menariknya.
Beruntung tak ada yang melihat karena semua siswa telah masuk ke kelas, hanya aku yang terlambat gegara memastikan Miss Lena menerima permintaan mama.
Setelah mama beranjak meninggalkan aku yang masih terpaku membayangkan rencana berikutnya, kurasakan sebuah tangan menyentuh bahuku dari belakang. Ah, pasti Miss Lena yang ingin menegurku karena belum juga masuk ke kelas.
“Ma-maaf, Miss.” Aku tergagap seraya membalikkan badan dan membungkuk hormat.
“Miss siapa, toh, Mas? Miss Meisya maksudnya? hahaha ....”
Suara itu … huh! Dasar si makhluk katrok, bisa aja membuatku kaget. Pengen rasanya kutimpuk pakai sepuluh buku tebal ke kepalanya biar amnesia sekalian.
“Kamu ngapain di sini? Bukannya masuk kelas malah masih keluyuran. Nggak ngerti kalau sekolah di sini itu mahal, kasihan orang tua kamu yang banting tulang cari duit hanya untuk membiayai sekolah kamu di sekolah elit ini!”
“Ealah … Mas Darren ini laki-laki, to? Tapi, kok suka banget cerewet kayak emak-emak. Eh, serius. Mas Darren itu persis kayak Eyang Uti aku di kampung. Cerewetnya minta ampun, suka ngomel setiap hari.”
What? Aku disamain dengan neneknya? Dia pikir aku pakai kebaya apa? Terus kalau makan tembakau sampai merah giginya, gitu? Enak aja!
“Wes, nggak usah mbatin, Mas. Ngomel kok dalam hati, itu namanya ngedumel.”
“Serah, loe! Gue ogah ngelayani gadis kampung macam you!”
“Hahaha … Mas Marvel nggak konsisten.”
“Maksud kamu?”
“Iya. Sebentar pakai aku kamu, sebentar pakai loe gue, terus berubah lagi jadi you.”
Aargh!!!
Sumpah, nih, gadis bener-bener menguji kesabaran banget. Gadis begini yang hadir dalam mimpiku selama delapan tahun? Kok, nggak banget, ya?
“Yang nggak banget itu siapa? Memangnya aku minta dimimpiin Mas Darren? Eh, tapi beneran Mas Darren mimpiin aku sampai delapan tahun?” tanyanya sembari memicingkan mata.
Hah? Kok dia tahu aku ngomong apa dalam hati?
“Ka-kamu bisa denger suara hati aku?”
“Suara hati apa?”
“Yang barusan tadi kamu bilang ….”
“Mas Darren itu ngomong dari mulut, ya pasti aku dengar lah.”
“Tapi ….” Sesaat otakku stag, tak bisa berpikir karena seperti tak masuk akal.
Sadar betul bahwa aku hanya bicara dalam hati, tapi dia bisa mendengar. Jangan-jangan ... ah, apa mungkin Meisya ini makhluk gaib yang sedang menyamar? Segera kulihat kakinya, tapi keduanya menapak sempurna di lantai. Aneh.
“Kenapa, sih, Mas Darren lihatnya kok sampai begitu?”
“Nggak, aku nggak apa-apa.” Bulu kudukku tetiba meremang dan bergidik, segera aku berbalik badan dan hendak mengambil langkah seribu untuk kabur dari hadapan gadis aneh itu.
Tapi baru saja kaki ini ingin memutar, tangan Meisya mencegahku dan berbisik, “Tapi aku memang bisa denger suara hati, lho, Mas. Tuh, waktu nonton sinetron di chanel ikan terbang. Kalau nggak bisa denger, ntar nggak tahu ceritanya. Hahaha ….” Kembali ia tertawa ngakak.
kurasakan tawa itu penuh ejekan kemudian berlalu dari hadapanku, meninggalkan diri ini yang masih melongo karena mendengar ucapan dia yang nggak mutu itu. Dasar, makhluk aneh! Sepertinya tidak hanya aneh, tapi juga nggak waras.
***
Hari ini semua siswa pulang lebih awal dari biasanya, maklum hari terakhir berangkat untuk minggu ini. Sekolah full day memang menerapkan lima hari belajar saja.
Jadi, besok adalah hari Sabtu. Hari yang sudah kutunggu untuk menjalankan semua rencana. Aku harus berhasil mengambil hati Miss Lena meski malu taruhannya.
“Mas Darren nungguin aku? Takut kalau aku ngilang lagi, ya?” tetiba suara gadis katrok itu sudah ada di belakangku, sepertinya memang dia itu sosok makhluk astral yang bisa muncul dan hilang tiba-tiba.
“Yuk, Mas!” Ia menarik tanganku untuk bergegas menuju pintu gerbang.
“Meisya, hari ini aku mau ngajak kamu jalan-jalan. Mau nggak?”
“Kemana, Mas?”
“Ke kafe.”
“Iih … Mas Darren, kok, mainnya ke kafe? Ntar aku bilangin ke nyonya, lho!”
“Apaan, sih, Trok. Nggak jelas banget, deh!”
“Itu tadi Mas Darren bilang mau ke kafe. Kafe itu tempat nggak baik untuk kita anak muda.”
Oh My God … sebenernya dia ini dari planet mana? Sampai-sampai punya pikiran macam itu. Entah sudah berapa kali aku menepuk jidat dan menghela napas panjang.
Dengusan kesal juga sudah kesekian kali karena tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi gadis kampung yang super aneh ini.
“Kenapa, toh, Mas? Mesti selalu gitu, deh, kalau liatin aku. Nanti lama-lama naksir, lho, dengan Meisya Anindya Ningrum putra Pak Joyo Diwiryo juragan tembakau terkaya di desa.”
Aku mendelik mendengar tagline dia yang selalu menyebut nama panjang beserta nama bapak dan status social orang tuanya. Kayak paling kaya di dunia aja.
“Bukan paling kaya di dunia, Mas. Tapi paling kaya di desa aku.”
Hah? Lagi, dia bisa mendengar batin aku yang sedang bicara. Ini untuk kedua kalinya dia menyahut apa yang kuucap dalam hati. Kali ini aku yakin, tak ada suara yang keluar dari bibir ini. Tapi aneh, ia tampak biasa saja ekspresinya.
Tak ada wajah yang salah tingkah atau mencoba menutupi sesuatu. Kepalaku tetiba merasakan ada sesuatu yang saat retina ini menatap wajah itu lekat. Sebuah klise melintas cepat dalam bayangan di otak.
Gadis itu … dia, dia … ah, ini sungguh tak masuk akal. Klise itu semakin jelas saat aku memejamkan kelopak mata seraya memegang kepala yang kesakitan.
Fix! Bayangan itu tak lain adalah aku dan Meisya yang sedang melakukan sebuah upacara sakral, mengikat janji suci. Tapi aku masih belum tahu, apakah itu acara tunangan atau resepsi pernikahan.
Tubuhku terhuyung karena tak mampu menahan lagi sakit yang mendera di kepala. Dengan penuh rasa khawatir, Meisya mencoba menahan tubuhku sekuat ia mampu. Namun, tubuh dia jauh lebih kecil dariku sehingga tak imbang.
Ia berteriak minta tolong dan beberapa guru yang kebetulan mendengar segera datang menghampiri. Mereka yang melihatku hampir jatuh ke lantai segera menolong.
Entah apalagi yang terjadi karena setelah itu kesadaranku mulai menghilang dan tak ingat apa-apa lagi. Ketika kelopak mata ini terbuka perlahan, aku sudah berada di ruang kesehatan sekolah.
“Mas Darren sudah sadar? Syukur, Mas. Hampir tiga puluh menit Mas Darren tengsan eh maksud aku pingsan.”
Mendengar suara gadis aneh itu, sontak aku terbangun dan turun dari ranjang pasien. Bergegas aku mengayun langkah panjang meski masih dengan sempoyongan karena menahan kepala yang masih pusing.
“Den Darren, biar Pak Jo bantu.” Sopir pribadi yang telah lama ikut keluargaku itu segera memapahku untuk berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman sekolah.
“Pak Jo, aku nggak mau gadis kampung itu pulang bareng kita.”
“Terus Meisya pulang dengan siapa, Den? Nanti kalau Nyonya tahu malah bisa-bisa Pak Jo yang kena marah.”
“Aku nggak peduli, Pak Jo!” teriakku membentak lelaki paruh baya itu.
Kuhempas tubuh ke jok mobil dan menyandarkan kepala, mencoba mencari posisi ternyaman agar sakit kepala ini berkurang.
“Baik, Den. Sebentar Pak Jo bilang ke Meisya dulu, biar dia pesan ojek online.”
Aku tak menjawab. Kubiarkan Pak Jo kembali menemui gadis aneh yang sudah bikin kepalaku tetiba diserang sakit yang luar biasa. Tega tak tega, kali ini aku tak bisa membiarkan pikiranku kacau gegara bayangan aneh yang sering melintas di pikiran ini.
Aku harus bisa menepis semua hal yang tak masuk akal ini. Mungkin menyuruh Meisya pulang ke desa akan mebuatku jauh lebih baik. Tak aka nada lagi bayangan yang di luar nalar itu lagi.
Kupejamkan mata saat Pak Jo melajukan mobil untuk membawaku pulang ke istana yang paling nyaman. Sejenak aku teringat Meisya, kutoleh ke belakang. Tampak ia berdiri di tepi jalan. Wajah itu begitu tenang, tak sedikit pun ada kekhawatiran karena harus pulang sendirian.
Ah, biarkan saja. Toh, dia orang desa yang sudah pasti punya nyali gede. Dia juga harus belajar menyesuaikan diri dengan kehidupan di kota, biar sifat katroknya itu terkikis hilang.
Tapi aku masih tak paham, kenapa saat mata ini menatap wajah gadis itu dalam waktu yang cukup lama tetiba bayangan itu bisa muncul? Tak pernah terbersit dalam benak untuk mencintai Meisya apalagi menikahinya.
Teka-teki ini semakin membuatku merasa bingung. Setelah ini entah bayangan apalagi yang akan muncul.