Bab 8
"Kenali aku dari apa yang kamu kenal, bukan dari apa yang kamu dengar."
Nesya terus bercerita dengan raut mimik wajahnya yang tepat dengan setiap kata yang di ucapkannya, kisah yang sedang di ceritakannya sekarang ini memiliki arti yang sangat mendalam.
Tanpa gadis itu sadari, Rey daritadi mendengarkan kisah itu. Saat Nesya menggantungkan kalimatnya, Rey pun ikut penasaran.
Terkadang Rey mengumpat sendiri, mengapa tokoh pria yang diceritakan Nesya sangatlah keras kepala? Bahkan Pria itu langsung menilai tanpa mengenal.
Tunggu, ini seperti ... dirinya?
Dan, wanita itu? Ia memiliki banyak rahasia di balik tingkah lakunya, bisa-bisanya ia menutupi semua kesedihannya dengan tersenyum sepanjang hari dan menangis pada saat malam.
"Jadi, inti dari cerita barusan adalah kenali seseorang dari yang kamu kenal, bukan dari apa yang kamu dengar. Karena, mata kita lebih jujur daripada mulut orang lain."
Seluruh anak-anak bertepuk tangan girang, seperti biasa Nesya selalu berhasil membuat mereka terhibur dengan semua ceritanya. Terkadang ia membacakan dongeng, terkadang juga ia mengarang sendiri cerita itu.
Saat ingin beranjak keluar dari kamar itu, Nesya melihat Rey yang sedang bersandar di pintu sembari menatapnya tajam.
Rey lagi.
• •
Sudah sekitar 30 menit mereka berdua duduk di cafe yang berada tidak jauh dari panti asuhan, Rey menatap Nesya tajam, tidak ada percakapan, daritadi mereka hanya begini.
Mulai merasa tidak nyaman, akhirnya Nesya yang sedari tadi menunduk mendongakan kepalanya. Ia sempat terkejut karena Rey sedang menatapnya, namun gadis itu segera menghilangkan raut wajah terkejutnya.
"Sebenarnya, tujuan lo ngajak gue ke sini buat apa?"
Rey menggedikan bahu, "Pengen aja."
Nesya melongo mendengar jawaban santai yang Rey berikan.
"Bukannya lo nggak mau ketemu sama gue lagi?"
Rey mengernyitkan dahinya, "Kapan gue ngomong kayak gitu?"
Nesya meneguk salivanya, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedetik kemudian ia tersenyum kikuk sembari menatap Rey.
"Nggak pernah." Nesya nyengir lebar.
"Lo kayaknya emang sinting." Rey menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Iya, gue udah gila gara-gara lo," cicit Nesya sembari menunduk.
Rey dapat mendengar semua itu dengan jelas, ia menarik sedikit senyum di bibirnya. Tentunya Nesya tidak bisa melihat senyuman itu.
"Mungkin selama ini gue salah, jadi maafin gue kalo lo ngerasa penilaian gue nggak bener." Rey berujar datar, seperti tidak ikhlas.
Bibir Nesya seperti terkunci rapat, rasanya lidahnya kelu untuk membalas kalimat Rey barusan. Lelaki itu baru saja mengucapkan kata maaf, namun nadanya sangat datar lebih terdengar seperti memaksakan diri.
"Kenapa diem? Nggak mau maafin gue?" Rey menatap Nesya yang hanya diam tertunduk.
"Eh?" Nesya mendongakan kepalanya untuk menatap Rey yang berada di hadapannya, "gu-gue ma-maafin."
Rey menaikan sebelah alisnya, "Kenapa sampe gagap gitu sih? Lo takut sama gue?"
"Anu--iy--itu--eh---aduh!" Nesya menepuk bibirnya karena tidak bisa merangkai kalimat dengan benar.
Rey terkekeh kecil. Entah mengapa menurutnya ekspresi Nesya tadi sangat lucu. Walaupun gadis itu mirip dengan Tiara, namun entah mengapa Rey tertarik untuk tahu tentang Nesya lebih jauh.
"Gue nggak gigit," ucap Rey seperti meledek karena tingkah laku Nesya yang seperti takut dengan dirinya.
Nesya mengangguk saja, rasanya ia ingin membenamkan kepalanya ke samudra atlantis sekarang.
Rey melirik jam yang melingkar ditangannya, waktu sudah menunjukan pukul 8 malam. Kemudian Rey menatap Nesya yang masih dengan setia menundukan kepalanya.
"Lo, nggak pulang?"
Nesya menggeleng.
"Kenapa?" tanya Rey yang hanya di balas gendikan bahu oleh Nesya.
"Lo nggak mau pulang?"
Nesya menggeleng.
Rey menghela nafasnya, "Jawab, jangan geleng sama ngangguk aja."
"Gue tanya sekali lagi, lo nggak mau pulang?"
"Iya."
"Ada masalah?"
"Iya."
"Mau berbagi?"
"Iya."
"Mau ke rumah gue?"
"Iya." Nesya langsung menutup mulutnya, ia menatap Rey yang sudah tersenyum jahil. Lelaki itu mengerjainya.
"Yuk, kerumah gue." Rey berdiri hendak menarik gadis itu.
"Nggak! Seorang cewek nggak baik ke rumah cowok malem-malem."
"Iya deh, becanda." Rey terkekeh geli.
"Gak lucu." ketus Nesya.
"Yaudah, mending kita sekarang pulang. Udah malem banget, lo itu cewek, Nes."
Nesya bergeming, "Gue nggak tau harus pulang kemana, Rey."
Rey terdiam karena merasa tidak enak, "Gue mau nelpon sebentar."
Setelah mendapat anggukan, Rey segera menjauh dan merogoh sakunya untuk mengambil benda pipih bernama ponsel. Tangannya dengan cepat mendial nomor seseorang.
"Hallo?" sapa Rey saat sambungan telfonnya sudah di angkat. "Mama ..."
•
Mobil audi hitam metalic milik Rey memasuki pekarangan rumahnya, saat ingin turun ia melirik kursi penumpang yang ada di sampingnya.
Seorang gadis sedang terlelap dengan nafas teratur di sana, Rey melirik wajah cantik Nesya saat ia terlelap.
Tangannya bergerak menggoyangkan tubuh gadis itu untuk membangunkannya, Nesya mengerang saat Rey menggoyangkan tubuhnya.
"Woy, sampe nih!" Rey menepuk-nepuk pipi gadis yang tengah terlelap itu.
Sedikit demi sedikit Nesya mengerjapkan matanya, ia melihat sekeliling, bukan rumahnya. Kemudian saat menoleh ke sebelah kiri, matanya bertemu dengan nata Rey.
"Lo ngapain liatin gue kaya gitu!" Nesya bergerak mendorong wajah Rey, padahal jarak mereka lumayan jauh.
"Santai anjir, lo daritadi dibangunin kaga bangun-bangun. Kebo amat," ledek Rey.
"Ish!" Kesal Nesya, "Kita di mana, sih? Ini bukan rumah gue, lo bawa gue ke mana?"
Nesya menelusupkan tangannya kedalam sligbag miliknya, ia meraba-raba untuk mencari sesuatu di sana.
Ketemu!
Dengan cekatan, Nesya mengeluarkan benda yang baru saja di carinya.
"Gue punya semprotan cabe! Jangan macem-macem, lo!" Nesya mengacungkan sebotol kecil semprotan berisi cairan cabai, kedepan wajah Rey.
"Lo kira gue mau ngapain?" Rey menaikkan sebelah alisnya. "Ini rumah gue, Mama gue yang nyuruh bawa lo ke sini. Nggak usah parno."
"Mama lo?" Nesya mengernyitkan dahinya, "dari mana gue bisa yakin kalo omongan lo itu bener?"
Rey memutar bola matanya malas, "Ya, serah lo sih. Gue udah niat baik bawa lo ke sini."
Nesya terdiam, gadis itu bingung. Ia menimang-nimang apakah ia harus turun atau tidak, bagaimanapun juga, Rey adalah orang baru.
"Lo mau masuk, apa mau tidur di mobil gue?" ucapan Rey barusan bukan sebuah tawaran, melainkan sebuah sindiran.
"Bawa Mama lo ke sini, baru gue percaya." Nesya menatap Rey dengan tajam, semprotan cabai masih setia berada di genggamannya.
"Siapa lo nyuruh-nyuruh?" dengus Rey.
Cukup, tidak ada lagi Rey yang baik hati.
"Gue cuman mau mastiin, kalo lo nggak ngapa-ngapain. Tapi, nggak pa-pa kalo lo nggak mau. Gue pulang jalan kaki aja."
Nesya bergerak untuk keluar dari mobil Rey, namun Rey menahannya.
"Gila lo? Ini udah malem, kalo lo sampe digangguin preman atau apa, gimana?"
"Peduli lo apa?"
"Bukan gue, tapi nyokap gue yang nyuruh buat bawa lo dengan selamat ke sini."
"Udah gue bilang, gue nggak percaya!" Nesya bersi keras ingin pulang jalan kaki.
"Abang?"
Nesya dan Rey menoleh ke sumber suara, seorang wanita mengenakan piama sedang berdiri di depan pintu sambil memandangi mereka.
"Mama?"
"Kenapa nggak masuk? Kok malah berantem di situ?"
"Ini Ma, Nesya nggak percaya kalo mama yang nyuruh Rey bawa dia ke sini." Rey menatap Nesya dengan sinis.
"Saya cuman takut tante," Nesya menunduk tidak enak.
Zahra mengangguk mengerti, kemudian ia menyuruh mereka berdua untuk masuk ke dalam rumah karena hari sudah terlalu malam.
"Kenali aku dari apa yang kamu kenal, bukan dari apa yang kamu dengar."
Nesya terus bercerita dengan raut mimik wajahnya yang tepat dengan setiap kata yang di ucapkannya, kisah yang sedang di ceritakannya sekarang ini memiliki arti yang sangat mendalam.
Tanpa gadis itu sadari, Rey daritadi mendengarkan kisah itu. Saat Nesya menggantungkan kalimatnya, Rey pun ikut penasaran.
Terkadang Rey mengumpat sendiri, mengapa tokoh pria yang diceritakan Nesya sangatlah keras kepala? Bahkan Pria itu langsung menilai tanpa mengenal.
Tunggu, ini seperti ... dirinya?
Dan, wanita itu? Ia memiliki banyak rahasia di balik tingkah lakunya, bisa-bisanya ia menutupi semua kesedihannya dengan tersenyum sepanjang hari dan menangis pada saat malam.
"Jadi, inti dari cerita barusan adalah kenali seseorang dari yang kamu kenal, bukan dari apa yang kamu dengar. Karena, mata kita lebih jujur daripada mulut orang lain."
Seluruh anak-anak bertepuk tangan girang, seperti biasa Nesya selalu berhasil membuat mereka terhibur dengan semua ceritanya. Terkadang ia membacakan dongeng, terkadang juga ia mengarang sendiri cerita itu.
Saat ingin beranjak keluar dari kamar itu, Nesya melihat Rey yang sedang bersandar di pintu sembari menatapnya tajam.
Rey lagi.
• •
Sudah sekitar 30 menit mereka berdua duduk di cafe yang berada tidak jauh dari panti asuhan, Rey menatap Nesya tajam, tidak ada percakapan, daritadi mereka hanya begini.
Mulai merasa tidak nyaman, akhirnya Nesya yang sedari tadi menunduk mendongakan kepalanya. Ia sempat terkejut karena Rey sedang menatapnya, namun gadis itu segera menghilangkan raut wajah terkejutnya.
"Sebenarnya, tujuan lo ngajak gue ke sini buat apa?"
Rey menggedikan bahu, "Pengen aja."
Nesya melongo mendengar jawaban santai yang Rey berikan.
"Bukannya lo nggak mau ketemu sama gue lagi?"
Rey mengernyitkan dahinya, "Kapan gue ngomong kayak gitu?"
Nesya meneguk salivanya, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedetik kemudian ia tersenyum kikuk sembari menatap Rey.
"Nggak pernah." Nesya nyengir lebar.
"Lo kayaknya emang sinting." Rey menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Iya, gue udah gila gara-gara lo," cicit Nesya sembari menunduk.
Rey dapat mendengar semua itu dengan jelas, ia menarik sedikit senyum di bibirnya. Tentunya Nesya tidak bisa melihat senyuman itu.
"Mungkin selama ini gue salah, jadi maafin gue kalo lo ngerasa penilaian gue nggak bener." Rey berujar datar, seperti tidak ikhlas.
Bibir Nesya seperti terkunci rapat, rasanya lidahnya kelu untuk membalas kalimat Rey barusan. Lelaki itu baru saja mengucapkan kata maaf, namun nadanya sangat datar lebih terdengar seperti memaksakan diri.
"Kenapa diem? Nggak mau maafin gue?" Rey menatap Nesya yang hanya diam tertunduk.
"Eh?" Nesya mendongakan kepalanya untuk menatap Rey yang berada di hadapannya, "gu-gue ma-maafin."
Rey menaikan sebelah alisnya, "Kenapa sampe gagap gitu sih? Lo takut sama gue?"
"Anu--iy--itu--eh---aduh!" Nesya menepuk bibirnya karena tidak bisa merangkai kalimat dengan benar.
Rey terkekeh kecil. Entah mengapa menurutnya ekspresi Nesya tadi sangat lucu. Walaupun gadis itu mirip dengan Tiara, namun entah mengapa Rey tertarik untuk tahu tentang Nesya lebih jauh.
"Gue nggak gigit," ucap Rey seperti meledek karena tingkah laku Nesya yang seperti takut dengan dirinya.
Nesya mengangguk saja, rasanya ia ingin membenamkan kepalanya ke samudra atlantis sekarang.
Rey melirik jam yang melingkar ditangannya, waktu sudah menunjukan pukul 8 malam. Kemudian Rey menatap Nesya yang masih dengan setia menundukan kepalanya.
"Lo, nggak pulang?"
Nesya menggeleng.
"Kenapa?" tanya Rey yang hanya di balas gendikan bahu oleh Nesya.
"Lo nggak mau pulang?"
Nesya menggeleng.
Rey menghela nafasnya, "Jawab, jangan geleng sama ngangguk aja."
"Gue tanya sekali lagi, lo nggak mau pulang?"
"Iya."
"Ada masalah?"
"Iya."
"Mau berbagi?"
"Iya."
"Mau ke rumah gue?"
"Iya." Nesya langsung menutup mulutnya, ia menatap Rey yang sudah tersenyum jahil. Lelaki itu mengerjainya.
"Yuk, kerumah gue." Rey berdiri hendak menarik gadis itu.
"Nggak! Seorang cewek nggak baik ke rumah cowok malem-malem."
"Iya deh, becanda." Rey terkekeh geli.
"Gak lucu." ketus Nesya.
"Yaudah, mending kita sekarang pulang. Udah malem banget, lo itu cewek, Nes."
Nesya bergeming, "Gue nggak tau harus pulang kemana, Rey."
Rey terdiam karena merasa tidak enak, "Gue mau nelpon sebentar."
Setelah mendapat anggukan, Rey segera menjauh dan merogoh sakunya untuk mengambil benda pipih bernama ponsel. Tangannya dengan cepat mendial nomor seseorang.
"Hallo?" sapa Rey saat sambungan telfonnya sudah di angkat. "Mama ..."
•
Mobil audi hitam metalic milik Rey memasuki pekarangan rumahnya, saat ingin turun ia melirik kursi penumpang yang ada di sampingnya.
Seorang gadis sedang terlelap dengan nafas teratur di sana, Rey melirik wajah cantik Nesya saat ia terlelap.
Tangannya bergerak menggoyangkan tubuh gadis itu untuk membangunkannya, Nesya mengerang saat Rey menggoyangkan tubuhnya.
"Woy, sampe nih!" Rey menepuk-nepuk pipi gadis yang tengah terlelap itu.
Sedikit demi sedikit Nesya mengerjapkan matanya, ia melihat sekeliling, bukan rumahnya. Kemudian saat menoleh ke sebelah kiri, matanya bertemu dengan nata Rey.
"Lo ngapain liatin gue kaya gitu!" Nesya bergerak mendorong wajah Rey, padahal jarak mereka lumayan jauh.
"Santai anjir, lo daritadi dibangunin kaga bangun-bangun. Kebo amat," ledek Rey.
"Ish!" Kesal Nesya, "Kita di mana, sih? Ini bukan rumah gue, lo bawa gue ke mana?"
Nesya menelusupkan tangannya kedalam sligbag miliknya, ia meraba-raba untuk mencari sesuatu di sana.
Ketemu!
Dengan cekatan, Nesya mengeluarkan benda yang baru saja di carinya.
"Gue punya semprotan cabe! Jangan macem-macem, lo!" Nesya mengacungkan sebotol kecil semprotan berisi cairan cabai, kedepan wajah Rey.
"Lo kira gue mau ngapain?" Rey menaikkan sebelah alisnya. "Ini rumah gue, Mama gue yang nyuruh bawa lo ke sini. Nggak usah parno."
"Mama lo?" Nesya mengernyitkan dahinya, "dari mana gue bisa yakin kalo omongan lo itu bener?"
Rey memutar bola matanya malas, "Ya, serah lo sih. Gue udah niat baik bawa lo ke sini."
Nesya terdiam, gadis itu bingung. Ia menimang-nimang apakah ia harus turun atau tidak, bagaimanapun juga, Rey adalah orang baru.
"Lo mau masuk, apa mau tidur di mobil gue?" ucapan Rey barusan bukan sebuah tawaran, melainkan sebuah sindiran.
"Bawa Mama lo ke sini, baru gue percaya." Nesya menatap Rey dengan tajam, semprotan cabai masih setia berada di genggamannya.
"Siapa lo nyuruh-nyuruh?" dengus Rey.
Cukup, tidak ada lagi Rey yang baik hati.
"Gue cuman mau mastiin, kalo lo nggak ngapa-ngapain. Tapi, nggak pa-pa kalo lo nggak mau. Gue pulang jalan kaki aja."
Nesya bergerak untuk keluar dari mobil Rey, namun Rey menahannya.
"Gila lo? Ini udah malem, kalo lo sampe digangguin preman atau apa, gimana?"
"Peduli lo apa?"
"Bukan gue, tapi nyokap gue yang nyuruh buat bawa lo dengan selamat ke sini."
"Udah gue bilang, gue nggak percaya!" Nesya bersi keras ingin pulang jalan kaki.
"Abang?"
Nesya dan Rey menoleh ke sumber suara, seorang wanita mengenakan piama sedang berdiri di depan pintu sambil memandangi mereka.
"Mama?"
"Kenapa nggak masuk? Kok malah berantem di situ?"
"Ini Ma, Nesya nggak percaya kalo mama yang nyuruh Rey bawa dia ke sini." Rey menatap Nesya dengan sinis.
"Saya cuman takut tante," Nesya menunduk tidak enak.
Zahra mengangguk mengerti, kemudian ia menyuruh mereka berdua untuk masuk ke dalam rumah karena hari sudah terlalu malam.