Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7

Elzio mengemudikan mobilnya, melewati jalanan yang kiri dan kanannya adalah pohon. Elzio sengaja menutup mata Azora, ia tak ingin ada orang asing yang menghafal jalan keluar dari tempatnya. Azora memang akan jadi wanitanya namun menjadi wanitanya tak lantas harus mengetahui jalan di kediamannya. Azora bisa saja berkhianat, bukan bahaya yang Elzio takuti, ia hanya malas untuk menyambut tamu tak diundang.

Mobil Zio sudah keluar dari hutan, melaju terus hingga telah lewat beberapa kilometer dari hutan. "Kau  bisa membuka penutup matamu." Elzio memberitahu Azora.

Penutup mata terlepas dari mata Azora, ia benar-benar mengikuti apa yang Zio katakan. Ia tidak membuka penutup itu sampai Zio memperbolehkannya.

"Kau ingin aku turunkan dimana?" Zio tak mau repot memiringkan wajahnya ke Zora. "Gedung perusahaanmu atau rumahmu?"

"Gedung perusahaanku."

"Baiklah."

Zio membelokan laju mobilnya, mengantar Azora menuju ke tempat yang disebutkan olehnya tadi.

Beberapa menit kemudian mobil Zio sampai ke depan gedung perusahaan Zora. Ia keluar dari mobilnya lalu membuka pintu mobilnya untuk Zora.

"Aku akan menghubungimu nanti." seru Elzio pada Zora yang sudah keluar dari mobilnya.

"Hm." Deheman Zora adalah jawaban 'ya' untuk ucapan Elzio, setelah deheman itu Zio masuk kembali ke mobilnya dan Azora segera masuk ke gedung perusahaannya. 13 hari sudah dia tidak datang ke perusahaannya. Kali ini Azora membuat heboh kantornya, berita kematiannya yang menggegerkan perusahaan kini ditepis habis dengan kehadirannya. Ada satu hal lagi yang menjadi bahan pembicaraan penghuni perusahaan yaitu kedatangan Azora dengan seorang pria. Selama ini Azora tidak pernah datang dengan pria lain kecuali Razel. Gosip dengan cepat menyebar hingga ke lantai teratas perusahaan itu, kehidupan pribadi Azora memang membuat penasaran para karyawannya. Wanita sempurna itu memang selalu jadi pusat perhatian perusahaan, bukan hanya karena kecantikannya tapi karena kehidupannya yang tertutup.

"Azora." Razel segera mendekati Azora yang baru saja keluar dari lift. "Aku tahu kau pasti akan kembali." Razel memeluk Azora, keyakinannya memang tak salah. Bosnya itu kembali dengan keadaan baik-baik saja.

"Bagaimana dengan asosiasi?" Azora bertanya setelah pelukan Razel terlepas, bahkan ia tak menanggapi ucapan Razel dan langsung menanyakan tentang ambisinya itu.

"Tak ada masalah. Aku mengatakan pada orang-orang asosiasi bahwa kau akan hadir saat pemilihan pemimpin asosiasi."

"Bagus." Azora melangkah menuju ke ruang kerjanya.

"Apa yang terjadi padamu?" Razel tidak bisa menahan rasa penasarannya.

Azora membuka pintu ruang kerjanya, melangkah menuju ke tempat duduknya diikuti oleh Razel. "Semua hal kecuali kematian mungkin terjadi padaku, Raz." Dia membuka laptopnya, tak terlalu peduli dengan kekhawatiran Razel.

"Siapa orang yang sudah melakukan ini?"

"Dalangnya aku tidak tahu, tapi orang yang membuat skenario kematianku adalah Elzio Kenward. Cari tahu keseluruhan tentang pria itu."

"Elzio Kenward." Ini adalah pertama kalinya Razel mendengar nama itu. "Aku akan segera meminta Ruby untuk mencarinya." Razel segera mengirim pesan ke Ruby.

"Apa tidak sebaiknya kau beristirahat?" tanya Razel.

Azora diam, ia merasa tak perlu menjawabi ucapan Razel.

"Aku akan membuatkan minumanmu dulu." Razel keluar dari ruangan kerja Azora.

Razel sudah selesai membuatkan minuman untuk Azora, hatinya terasa panas karena percakapan yang ia dengar dari pegawai perusahaan. "Siapa pria yang mengantarmu?" Razel meletakan secangkir americano diatas meja kerja Zora.

"Elzio Kenward."

"Apa maksud semua ini?" Razel benar-benar tak mengerti. Pria yang dibayar untuk membunuh Azora mengantar Azora kembali, ia pikir Azora berhasil meloloskan diri namun pikirannya itu salah.

"Aku menukar tubuhku untuk kebebasanku."

"Apa kau gila!" Suara Razel terdengar tinggi. "Bagaimana mungkin kau melakukan itu?!" Razel benar-benar marah. Emosinya ingin meledak sekarang.

"Pelankan suaramu." Azora bersuara tenang tak terganggu sama sekali dengan kemarahan Razel. "Aku akan memberikan apapun agar ambisiku tercapai. Tubuhku bukan apa-apa."

Razel mengepalkan tangannya, ia keluar dari ruangan Azora dengan kemarahannya. Ia tidak bisa berteriak di depan Azora meskipun ia ingin sekali. Bagaimana bisa Azora memberikan tubuhnya dengan semudah itu? Razel tahu benar kalau Azora tahu tentang perasaan lebihnya yang sudah ada sejak ia menjadi bodyguard Azora. Bagaimana bisa Azora melakukan hal itu? Bagaimana bisa? itulah yang berkeliling di kepala Razel. Razel tahu kalau Azora akan melakukan apapun untuk ambisinya tapi ia tak berpikir kalau Azora akan segila itu, memberikan tubuhnya untuk ambisinya.

"BRENGSEKKKK!!!" Razel berteriak saat dia sudah sampai di atap gedung perusahaan. Disana ia bisa melampiaskan kemarahannya. Sebenarnya disaat seperti ini tempat berlatih adalah tempat yang pas untuknya. Ia bisa memukul samsak untuk melepaskan semua kemarahannya. "Kenapa! Kenapa! KENAPA, ZORA!!!" Dia berteriak lagi, urat lehernya terlihat jelas. Kemarahan terpancar begitu nyata dimatanya.

"Jangan berlebihan, Razel." Suara itu berasal dari belakang Razel.

Razel membalik tubuhnya, menatap penuh luka dan kemarahan pada sosok yang berdiri di depannya. Sosok itu adalah Azora.

"Kenapa kau lakukan ini padaku, hah?! Kenapa!" Razel melupakan status bos dan anak buah di antara mereka.

"Aku tidak punya alasan untuk tidak melakukannya, Razel. Kau tahu benar tujuan hidupku."

"Kau bisa melakukannya dengan cara lain, Zora!" Bentak Razel lagi. "Kenapa harus dengan cara itu?!"

"Karena hanya tubuhku yang dia inginkan. Dia tidak mau uang ataupun yang lainnya."

Razel nyaris gila karena nada tenang Azora. "Sampai kapan! Sampai kapan kau akan bersama pria itu!"

"Sampai dia bosan."

"AZORA!" Razel benar-benar marah. Matanya bahkan sampai berair dan merah karena kemarahannya. "Kau tahu benar aku mencintaimu, melihatmu dengan pria itu akan membuatku mati perlahan, Zora! Hanya mendengar kau datang bersamanya saja aku sudah ingin meledak! Kau sama sekali tidak memikirkan perasaanku!"

"Ayolah, Razel. Jangan sentimentil seperti ini. Aku sudah mengatakan kalau aku tidak akan bertanggung jawab atas apa yang kau rasakan. Aku tidak melarangmu mencintaiku tapi aku tidak akan menjadikan itu beban untuk langkahku. Dengarkan aku baik-baik, pria itu tidak berarti apapun untukku. Tak ada cinta dalam kamus hidupku jadi bersikaplah tenang. Aku tidak suka bekerja dengan orang yang menggunakan perasaannya."

Ucapan terakhir Zora membuat Razel tersenyum getir. "Sayangnya aku selalu membawa perasaanku, Zora. Aku tidak bisa melihatmu bersama pria lain, aku mundur dari pekerjaanku."

"Berpikirlah dengan otak, Razel. Tenangkan dirimu, buang emosimu dan pikirkan baik-baik. Kau penting untukku." ucapan Zora lagi-lagi membuat senyuman masam di wajah Razel. Selama ini ia memang tak pernah dianggap lebih oleh Zora. Hanya orangnya, penting yang Zora maksudkan bukan sebagai pria dalam hidupnya.

"Aku sudah berpikir baik-baik, tak ada gunanya aku terus disini. Satu-satunya alasan aku bertahan adalah agar aku bisa menjagamu dengan baik, saat ada pria lain di dekatmu mana mungkin aku bisa menjagamu lagi." Razel memilih pergi, ia melangkah melewati Zora.

"Aku akan selalu menunggu kau kembali, Razel."

Razel tak menanggapi ucapan Zora, ia terus melangkah menuju lift. "Perasaanku memang tak pernah penting bagimu, Zora. Bertahun-tahun aku menunggumu, menjagamu tapi kau tak pernah melihat ke arahku. Kau bahkan menyerahkan tubuhmu pada pria yang baru kau kenal. Tak ada gunanya lagi aku berada di sisimu. Tidak ada gunanya lagi." harapan Razel tentang perasaannya sudah hancur, seorang Azora tak akan pernah bisa membalas perasaannya. Setulus apapun ia pada Azora, wanita itu tak akan pernah mengerti perasaannya. Cintanya tak akan pernah terbalaskan.

♥♥

Azora sampai di kediamannya, disana ada Ruby yang memang menunggu kepulangannya.

"Ada apa dengan Razel?" Ruby menanyakan hal ini karena ia tidak mendapatkan jawaban dari Razel yang sudah pergi dengan tas ransel. Ruby dan Razel tinggal di tempat yang sama, di sebuah rumah yang ada di seberang rumah mewah Azora.

"Razel akan kembali. Dia terlalu peduli padaku untuk pergi selamanya." Zora memberikan jawaban yang tak memuaskan bagi Ruby.

"Apa mungkin ini karena pria yang mengantarmu?"

Azora menaikan alisnya.

"Aku melihat dari cctv di perusahaan." Ruby mengerti arti dari mimik wajah Zora.

"Benar." Azora melangkah menuju ke sofa. "Aku tidak pernah menyalahkan perasaannya padaku hanya saja kenapa dia harus menjatuhkan hatinya padaku? Dia melukai dirinya sendiri karena hal itu."

"Memangnya ada orang yang bisa memilih menjatuhkan hati pada siapa?" Ruby menyahuti ucapan Zora. Ia duduk juga di sebelah Zora. "Kau belum merasakannya saja dan setelah merasakannya kau akan mengerti apa yang Razel rasakan."

"Jangan bercanda, Ruby. Standarku sangat tinggi, jika pria itu tidak bisa membuatku mencapai puncak dunia maka aku tak akan jatuh hati padanya." Azora menyanggah ucapan Ruby, ia menganggap kata-kata Ruby sebagai lelucon. Seorang Azora jatuh hati? Mana mungkin. Kalaupun mungkin itu bukan jatuh hati karena cinta namun jatuh hati karena ambisi. "Sudahlah, aku mau mandi." Azora bangkit dari sofa, ia memang seperti ini. Bercakap hanya untuk waktu yang sebentar, itulah kenapa hidupnya terlihat sangat kesepian. Teman bicaranya hanyalah Ruby dan Razel, itupun hanya singkat. Tak ada yang benar-benar mampu membuatnya bicara dalam waktu yang lama.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel