3
Azora menghadiri pertemuan asosiasi. Wajah Abraham nampak terkejut saat melihat Zora.
"Misi selesai." Zora membisikan kata itu di dekat telinga Abraham saat mereka berpapasan.
Wajah Abraham menegang. "Brengsek." Dia memaki pelan.
Azora memasang senyuman singkatnya yang selalu terlihat dingin. Ia suka ekspresi wajah Abraham. Pria berusia 50 tahunan yang jadi saingannya.
Pemimpin asosiai lama -Mr. Gerdio- memimpin pertemuan yang isinya membahas tentang pemilihan pemimpin baru. Azora mendengarkan dengan baik termasuk dengan para anggota yang lain.
Pertemuan selesai, satu persatu orang keluar dari ruangan besar tersebut.
"Ehm, Mr. Abraham." Azora berhenti di sebelah Abraham. "Kira-kira kiriman apa yang pantas aku berikan untukmu sebagai balasan dari hadiah yang kau kirimkan padaku?" Azora menaikan sebelah alisnya. Mencoba menekan Abraham.
Wajah Abraham sudah merah menahan amarahnya, "Jangan terlalu berbangga diri, satu hadiah kecilku mungkin bisa kau lewati, akan ada hadiah susulan. Mundurlah, Ms. Bezylka. Kursi itu tidak cocok untukmu."
Azora kini tertawa kecil. "Aku akan menunggu hadiahmu, Mr. Abraham. Ah,,," Azora nersikap seakan ia mengingat sesuatu. "Aku dengar kau terlibat kasus pencucian uang, Mr. Abraham? Mungkin aku bisa mengeskposnya agar kau bisa masuk rumah sakit untuk menghindari tahanan."
Ucapan Azora membuat Abraham mengetatkan rahangnya. "Semakin kau bertingkah, kau semakin dekat dengan kematianmu, Ms. Bezylka. Kasus itu bukan apa-apa untukku, tahanan bahkan tak akan bisa menahanku."
"Bagaimana jika aku katakan, putri kesayanganmu yang saat ini sedang mengenyam pendidikan S2 di AS berakhir dengan hadiah kecil dariku?"
"Jangan pernah menyentuh putriku!" Abraham mulai menaikan nada suaranya.
"Well, ini tidak adil, Mr. Abraham. Kau mencoba membunuhku namun aku tidak membalasnya. Baiklah, turuti saja ucapanku. Bertingkahlah lagi maka aku pastikan putrimu mendapatkan hadiah dariku. Seseorang yang memiliki banyak orang untuk dilindungi bukanlah musuhku. Ah, orang kejam sepertimu ternyata sangat menyayangi putrinya. Kau cukup hangat, Mr. Abraham." Usai mengatakan itu Zora segera keluar dari ruangan tersebut.
"Brengsek itu, aku harus cepat menyingkirkannya." Abraham mengepalkan tangannya kuat. Bagaimana bisa ia terima penghinaan ini? Ia di tekan oleh seorang wanita yang usianya jauh dibawahnya.
Azora meninggalkan gedung tadi, mobilnya sudah melaju menuju ke perusahaannya. Azora harus menandatangani berkas-berkas di perusahannya.
Di tengah jalan Zora menghubungi Razel.
"Ledakan sebuah mobil tepat di depan mobil Abraham." Azora memberikan perintah.
"Akan segera dilaksanakan." Razel memutus sambungan telepon itu. Ia segera menjalankan apa yang Azora perintahkan.
Zora melepaskan headsfree dari telinganya. Tersenyum miring karena dia selalu lebih kuat diatas orang lain. Well, Azora sedikit bersyukur karena dia tidak memiliki apapun untuk dilindungi jadi dia tak perlu takut ada orang yang mengancamnya. Satu-satunya yang harus ia jaga adalah nyawanya sendiri.
Ponsel Zora berdering. Panggilan masuk dari Razel.
"Misi selesai."
"Kerja bagus, Raz." Azora memutuskan sambungan tersebut. Ia menelpon orang lain, Abraham lebih tepatnya.
"Bagaimana dengan mobil di depanmu? Seperti itulah putrimu akan berakhir jika kau tidak mengindahkan ucapanku." Azora menekan Abraham lagi.
Di tempat lain Abraham sedang mencengkram erat sandaran kursi mobil sang supir. Jadi ledakan mobil di depannya itu ulah Azora.
"Kau memang sesuatu, Ms. Bezylka. Dengarkan aku baik-baik, bukan hanya aku yang mengincar nyawamu. Ada orang lain yang benar-benar menginginkan nyawamu."
"Aku tahu. Bahkan orang terdekatpun bisa saja mengincar nyawaku. Terimakasih karena sudah mengingatkan aku. Aku pikir kau sudah mengerti siapa lawanmu bermain,"
"Pemilihan akan tetap berjalan."
"Memang akan tetap berjalan. Selamat menikmati harimu, Mr. Abraham." Azora memutuskan sambungan itu.
"Saat aku menapaki duniaku ini, aku sudah sangat tahu kalau akan ada banyak orang yang mengincar nyawaku. Dunia seperti ini saling bunuh bukan lagi hal yang aneh. Orang-orang yang haus kekuasaan pasti akan mengotori tangan mereka dengan darah." Azora memahami betul jalan yang sudah ia ambil. Semakin berkuasa dirinya maka semakin berbahaya pula hidupnya. Tapi, Azora bukan tipe penakut yang akan gemetaran dengan bahaya, ia menyukai bahaya yang datang padanya lalu mengembalikan bahaya tersebut ke pemiliknya. Zora bukan tipe orang yang pemaaf, jika ia terluka maka ia akan membalas yang lebih dari sekedar luka.
♥♥
Zora memarkirkan mobilnya, keluar dari mobil itu lalu melangkah menapaki jalanan taman. Malam ini dia ingin ke taman yang sering ia kunjungi bersama dengan ayahnya.
Azora berhenti di tepi danau, memandang danau tersebut seperti memandang sosok ayahnya. "Daddy, maafkan Zora. Sampai detik ini Zora masih belum menemukan siapa yang sudah memisahkan kita." Azora merasa bersalah pada ayah dan kakeknya tapi dia tidak akan menyerah, meski seumur hidupnya ia habiskan untuk mencari orang itu maka dia akan melakukannya.
"Maafkan juga karena Zora tidak menjadi seperti yang Daddy inginkan. Zora tidak bisa menjadi gadis lembut seperti dulu, tidak bisa menjadi gadis manja seperti dulu, maafkan Zora karena sudah menjadi monster. Maafkan Zora karena telah mengotori tangan Zora dangan darah." Azora merasa sedih tapi air matanya tak keluar sama sekali. Air mata itu sudah tak keluar setelah satu tahun kematian ayah dan kakeknya. Satu tahun lamanya Zora habiskan dengan menjatuhkan air matanya. Ia menangisi keluarganya yang pergi dengan cara tragis, akan mudah merelakannya jika kematian itu normal namun kenyataannya berbeda.
Azora merasa sudah cukup ia berada di danau, sudah cukup ia menunjukan sisi rapuhnya. Ia harus kembali ke kediamannya karena hari sudah bukan malam lagi namun sudah dini hari. Suasana di tempat itupun sudah sangat sepi.
Langkah Azora terhenti, seorang pria tampan menghadang langkahnya.
"Azora Bezylka." Pria itu menyebutkan namanya.
"Siapa kau?" Zora bertanya, ini pertama kalinya Zora melihat pria di depannya.
"Kita bisa berkenalan setelah ini." Pria itu menyerang Azora.
Azora sudah tak ingin tahu lagi siapa pria itu karena sudah jelas maksud pria itu adalah nyawanya. Azora yakin bukan Abraham yang mengirimnya namun Zora tak ingin menebak siapa yang mengirim orang itu, yang harus dia lakukan hanyalah membunuh pria itu.
Pukulan demi pukulan Azora layangkan ke pria itu, sama dengan Azora pria itu membalas serangan Azora tanpa berpikir bahwa yang ia serang adalah wanita.
Azora melayangkan pukulannya namun tangannya ditangkap oleh pria itu, Zora berputar menyerang dengan tangan satunya lagi namun di tahan lagi, kali ini Zora mengangkat sikunya dan pukulan itu mengenai kepala lawannya. Kemampuan bela diri Zora bukan kemampuan yang cetek, bahkan ia telah menghadapi lebih dari 10 pria sekaligus.
Namun kali ini Zora harus merasakan yang namanya kesulitan, nyatanya 10 pria tak sebanding dengan pria tersebut.
Bugh,, bugh,, Azora terkena dua pukulan, tak memberi ruang untuk Zora bergerak pria tadi menyerang Zora lagi. Kakinya menghantam keras perut Zora hingga mulut Zora mengeluarkan darah.
Bergerak lebih cepat, Zora bangkit, tangannya mengacungkan pisau lipat yang selalu ia bawa kemana-mana ke pria tadi. Harusnya ia membawa pistol namun terlalu berbahaya jika dia kedapatan membawa senjata itu. Azora malas berurusan dengan aparat negara meskipun ia pasti bisa menyelesaikannya, banyak kerja sama yang bisa Zora lakukan.
"Aku pernah melihat kau menggunakan pisau ini, baik, mari kita coba kecepatan tanganmu." Pria itu menyeringai.
Zora menyerang pria itu, bergerak cepat mengayunkan tangannya untuk melukai pria tadi.
Ting,, Pisau itu terjatuh dari tangan Zora karena hentakan keras pada tangannya. Zora tak pernah melepaskan pisaunya dan kali ini ia harus mengakui kalau pria itu bukan pria biasa. Zora tak mau mengakui terlalu lama, ia segera mencoba meraih pisau tersebut namun pisau itu sudah ditendang menjauh oleh pria tadi. Tak habis akal, Zora kembali menyerang dengan tangan kosong. Mengandalkan tangan dan kakinya untuk melumpuhkan lawannya.
Bugh,, bugh,, pukulan Zora mengenai lawannya untuk yang kesekian kalinya. Pria itu juga tak mampu melawan serangan Zora, meski jika dilihat dia memang yang paling banyak mengenai lawannya.
Pria itu sudah merasa ini memuakan, ia mengeluarkan pisau dari jaket kulit yang ia kenakan. Mengayunkannya pada Zora dan berhasil menggores lengan kiri Zora. Darah mengalir di kemeja putih yang Zora kenakan. Rasa sakit itu tak Zora hiraukan, dia segera bergerak menghindari dari serangan lanjutan.
Zora berhenti bergerak kala pisau itu menempel di leher mulusnya. Zora berhasil di taklukan, bergerak sedikit maka lehernya pasti akan mengeluarkan banyak darah.
"Apa sebenarnya maumu?" Zora pikir pria itu tidak ingin membunuhnya karena jika benar maka pria itu tak akan membuang waktu untuk melakukan hal seperti ini. Pria itu bisa langsung menggorok lehernya.
"Sebenarnya aku dibayar untuk membunuhmu tapi aku berubah pikiran."
Setelah itu sapu tangan dengan obat bius membekap mulut Zora, membuat kesadaran Zora menghilang dan sekarang dia sudah lemas di dalam pelukan pria tadi.