Milikku
Nancy Sugondo, gadis berusia 23 tahun, merupakan pengagum rahasia Aditya Atmaja selama ini. Ia selalu berharap jika pria gagah itu kembali dari Yordania, akan menikah dengannya.
Entahlah, kini semua doa-doanya terjawab sudah. Nancy menikah dengan pria berpangkat yang merupakan pasukan elite sebagai team sniper khusus untuk negara.
Kini Nancy telah resmi menyandang sebagai Ibu Persit di usia muda. Raut wajahnya tampak tersenyum bahagia, karena memang memiliki wajah cantik, bulu mata lentik, serta keibuan juga penyabar.
Nancy mempersiapkan baju seragam Adit, menyemir sepatu suami tercinta, yang akan melanjutkan tugasnya sebagai abdi negara. Walau selama seminggu mereka tidur secara terpisah, membuat ia tidak pernah lelah melayani suami tercinta.
"Baru seminggu menikah, bagaimana sebulan, setahun, hingga berpuluh-puluh tahun kayak Ibu dan Bapak ..." tawanya menyeringai kecil, menanti Aditya keluar dari kamar mandi.
Adit keluar dari kamar mandi, menyeka kepalanya menggunakan handuk kecil, dengan handuk lain terlilit di pinggangnya.
Dengan sigap Nancy memberikan semua yang di butuhkan Adit, berharap ada secercah senyuman manis dari pria yang sudah menjadi suaminya.
"Baju!"
Bak raja Adit memasukkan tangannya kedalam baju seragam, yang di kembangkan oleh Nancy dari belakang.
Nancy tersenyum tipis, dengan mata berbinar-binar dia berharap Adit akan menoleh kearahnya, mengucapkan 'terimakasih' ...
Namun, lagi-lagi Nancy kecewa. Dia hanya menerima semua perintah dari Adit seperti seorang pelayan.
"Sepatu ku!" hardiknya dengan suara keras.
Nancy duduk bersimpuh mendekati suaminya, memasangkan kaus kaki, hingga sepatu Aditya dengan sangat hati-hati. Berharap akan ada sapaan indah keluar dari bibir pria itu.
Setelah mengikat tali sepatu Adit, Nancy menggambil teh manis hangat, sesuai permintaan suaminya.
Namun saat akan melepaskan cangkir di tangan Adit, pria itu lagi-lagi menghardik Nancy karena cangkir yang terasa panas, dan menepis ke sembarang arah, seketika ...
PRAAANG ...!
Sontak Nancy meletakkan kedua tangannya di telinga, tampak ketakutan. Wajah ayu itu berubah merah padam, dengan tubuh menggigil mencari perlindungan.
Seumur hidupnya, baru kali ini dia benar-benar di perlakukan kasar oleh seorang pria yang terlihat lembut di luar, namun memiliki sifat sangat kasar.
Tubuhnya bergetar, melihat pecahan kaca berserakan di kamar, dengan mata berkaca-kaca.
Aditya hanya mengucapkan, "Makanya kalau jadi istri itu yang benar! Jangan asal! Yang aku pinta teh hangat, bukan teh panas! Dasar istri budek," sesalnya meninggalkan kamar paviliun yang di berikan keluarga Nancy.
Nancy terdiam, bibir bergetar, wajah pucatnya tak mampu menahan air mata yang seketika mengalir deras, saat kepergian Adit meninggalkan nya dikamar itu.
Tubuhnya ambruk di lantai kamar, mengusap dada, membayangkan nasib buruk yang menjadi kesalahannya, karena telah meminta pada Sugondo agar Aditya menjadi suaminya.
"Kenapa Mas Adit begitu kasar? Sementara Bapak dan Ibunya sangat baik dan lembut pada ku. Apakah dia benar-benar tidak menyukai aku? Tapi kenapa mereka tidak mengatakan pada ku, kalau Mas Adit itu pria yang kasar dan arogan. Lama-lama menikah sama pria seperti itu, aku bisa mati berdiri ..." isaknya.
Perlahan Nancy berdiri, mengambil sapu untuk membersihkan serpihan kaca yang berserakan di lantai kamar. Mengusap wajahnya berkali-kali agar air mata berhenti mengalir.
Nancy bergumam dalam hati, "Begini ternyata jika menikah dengan pria yang tidak menginginkan kita. Mudah-mudahan Mas Adit bisa berubah, tidak seperti ini lagi ..."
Setelah serpihan kaca bersih, Nancy melanjutkan membersihkan diri. Saat ini dia hanya membutuhkan kesejukan, agar dapat memberikan kedamaian hati.
Nancy mendengar suara Sugondo yang memanggilnya dari arah luar.
"Neng ... Neng ...!"
Bergegas Nancy memoleskan lipstik, agar tidak terlihat pucat, dan menjadi kekhawatiran sang ayah.
Nancy membuka pintu kamar paviliun tidak begitu lebar, mendongakkan kepalanya, melihat Sugondo telah berdiri di hadapannya.
"Ya Pak ..."
Sugondo melihat putri kesayangannya berbalut handuk di kepalanya berbalut baju kaos rumahan layaknya wanita yang bahagia, dia tersenyum bahagia bergumam dalam hati.
"Hmm ... Ternyata dua orang pria dan wanita, kalau sudah di berikan kebebasan di dalam kamar berdua, kejadian juga akhirnya ..." tawanya dalam hati, menganggap bahwa putrinya sudah menikmati keindahan sebagai istri yang sempurna.
Nancy yang melihat gelagat Sugondo tersenyum-senyum sendiri, membuat dia tampak bingung ...
"Pak. Bapak kenapa? Manggil tapi diam saja," rungutnya.
Sugondo tersadar, merasa bersalah karena telah menggangu kenyamanan putri kesayangannya ...
"Enggak, itu, eee, tadi Bapak mau minta kamu pergi ke pabrik sama Mang Nanang. Tapi kalau kamu masih sibuk sama menantu Bapak, ya sudah!"
Nancy menautkan kedua alisnya, tersenyum kecil, menjelaskan dengan sedikit kebohongan.
"Bapak-bapak ... Pasti pikirannya aneh, kan? Mas Adit sudah berangkat Pak. Tadi pagi, katanya lagi sibuk-sibuknya, dan harus masuk kantor."
Sugondo mengangguk mengerti, "Ya sudah, sana! Masuk, pengantin baru enggak boleh keluar kamar. Hati-hati kalau masak, Neng ..."
"Iya Pak ..."
Nancy tersenyum tipis, menutup pintu paviliun rapat, mengurut dada karena telah menciptakan kebohongan pada sang ayah.
"Maafkan Nancy, Pak ..."
Lagi-lagi air matanya mengalir membasahi wajah mulus nan halus dan lembut.
Tanpa sengaja matanya menoleh kearah meja, melihat benda pipih itu menyala, membuat iya sedikit penasaran.
"Handphone Mas Adit ...?"
Dengan tangan bergetar, Nancy memberanikan diri untuk mengangkat panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenal.
Nancy menggeser lambang hijau, meletakkan handphone itu di telinga kanannya.
["Halo ..."]
["Hmm ... Bisa bicara dengan Mas Adit?"]
Terdengar suara wanita diseberang sana membuat rasa ingin tahu Nancy semakin besar ...
["Mas Adit lagi ke kantornya, Mba. Ada pesan?"]
["Eeee ... Bilang saja, kalau Evi menghubungi. Kalau boleh saya tahu ini siapa?"]
Mendengar nama wanita yang menyebutkan dirinya merupakan Evi, seketika Nancy terdiam.
'Nama wanita ini yang di sebutkan Mas Adit saat ijab kabul malam itu ... Bukankah wanita itu sudah menikah? Kenapa dia menghubungi Mas Adit ...?'
Nancy menepiskan semua pikiran negatif tentang suaminya.
["Ooogh, ya. Kenalkan saya Nancy, istri Mas Adit. Ada pesan?"]
Kedua-nya hening, entah apa yang ada di pikiran kedua wanita itu. Yang satu istri sah Adit, diseberang sana merupakan cinta Adit.
Nancy meletakkan handphone Adit di pahanya. Tubuhnya seketika lemah tak bertulang ...
"Jadi wanita ini yang ada dalam benak Mas Adit, sehingga dia tidak ingin menyentuh ku. Selama seminggu hanya nama wanita itu terus yang dia sebut ... Evi, Evi, Evi ..." kenangnya dengan mata terpejam.
Nancy meletakkan kembali handphone Adit ditempat yang sama, tanpa mau menjawab panggilan telepon yang kembali berdering.
Dia beralih menuju kulkas, untuk mencari beberapa bahan masakan. Niat Nancy semakin besar, agar bisa membuat Adit jatuh hati padanya.
"Aku akan merebut hati suami ku sendiri ... Bagaimanapun caranya. Mas Adit milik ku ... Bukan milik wanita bernama Evi ..."