Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Luka yang tak berdarah

Tangan kekar Aditya menggenggam erat pergelangan tangan Nancy yang berada dibawah kungkungan tubuh kekarnya.

Entah setan apa yang merasuki Adit, membuat gadis di bawahnya enggan menerima perlakuan kasar pria, yang tengah bersusah payah ingin mencium bibir mungil Nancy untuk pertama kali, yang menolak saat Adit terus memaksanya.

Seketika saat tenaga Nancy yang mulai pasrah, dengan linangan air mata serta tubuh bergetar hebat, terdengar suara ketukan pintu dari arah luar ...

"Neng ... Neng ..."

Dengan cepat Adit menutup bibir Nancy menggunakan telapak tangan kanannya, agar tidak bersuara, membuat gadis itu menggigit kuat tangan pria yang tega memperlakukan nya dengan sangat kasar.

"Aaagh sakit!"

Adit menjerit keras saat menerima gigitan dari Nancy, yang berhasil meloloskan diri dari tindihan tubuh walau masih menggunakan pakaian lengkap.

"Awas kamu, yah!"

Nancy berlari kearah belakang, yang terdapat dapur minimalis, merunduk di bawah meja dengan tubuh bergetar ketakutan, karena mendapatkan perlakukan tidak senonoh oleh Adit, walau sudah sah menjadi suami.

"Enak saja mau paksa-paksa Neng buat cium, dia pikir dia siapa ...? Udah kasar ... Iiighs ..."

Perlahan tangan halusnya meraih pisau yang ada di atas meja, untuk menakut-nakuti pria walau sudah berstatus sebagai suaminya itu.

Adit masih melayang-layang kan tangannya yang masih terasa sangat sakit, setelah mendapat gigitan dari Nancy istrinya.

"Sial, awas kamu ..."

Adit menuju pintu, namun dia melepaskan tiga kancing baju lorengnya untuk mengelabui keluarga Nancy, dengan menepuk-nepuk pipinya agar terlihat kemerahan karena sedang bergairah untuk melayani hasrat sang istri.

Perlahan Adit membuka pintu paviliun, mengintip dari balik pintu, sedikit kaget karena kehadiran sang bapak mertua ...

"Pak ..."

Adit menunduk hormat, memperlihatkan penampilannya yang urakan, dengan wajah tersipu-sipu ...

Sugondo tersenyum lebar, wajahnya tampak sangat memahami bagaimana perasaan menjadi pengantin baru saat melihat Adit yang tampak seperti bernafsu. Dia juga menoleh kearah belakang menantunya, untuk mencari putri kesayangan di ranjang yang berantakan, walau tidak melihat keberadaan Nancy di sana ...

"Ooogh Nan-na-nancy ... Aaagh sudahlah! Lanjutkan! Mumpung masih muda, lagi hot-hotnya," tawanya menyeringai bahagia.

Adit menelan ludah susah payah, saat melihat mertuanya memperagakan pinggul yang maju mundur, sambil tertawa, memelet-meletkan lidah bak ular berbisa.

Pria yang bertubuh tegap itu hanya bisa menunduk, menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal, karena memang tak memahami bagaimana hal itu seumur hidupnya.

Sugondo meninggalkan kamar paviliun putrinya, "Lanjutkan menantu ... Lanjutkan!" teriaknya tertawa kecil.

Adit termangu, memandangi ranjang yang tampak berserakan, bahkan terlihat seperti ranjang dua insan habis bergulat dengan bantal berserakan dilantai kamar yang sejuk.

Dia menutup pintu kamar perlahan, mengunci paviliun itu, menyandarkan kepalanya di belakang pintu.

Pakaian lengkap dengan sepatu yang masih melekat, seketika dia terkenang akan Nancy.

Gadis yang dia nikahi, tapi di sakiti hanya karena masih terkenang wajah sang pujaan hati Evi.

Adit membentur-benturkan kepalanya di pintu kamar, menangis sejadi-jadinya. Tangan kekarnya meremas kuat rambut sendiri, merasa kepedihan hati yang teramat dalam, sehingga membuat dia enggan berbasa-basi dengan gadis yang telah menjadi istri sendiri.

Seketika handphonenya kembali berdering. Bergegas Adit melihat layar pipih itu, tertuliskan nomor telepon yang tidak di kenal.

["Hmm ..."]

["Mas ... Kamu di mana? Sejak tadi Neng mencari keberadaan kamu, tapi hmm ..."]

Mendengar suara Evi di seberang sana membuat Adit kembali berdiri tegap dan mengusap-usap wajahnya.

["Evi ..."]

["Hmm ya Mas. Bisa kita ketemu? Ada yang mau Neng bicarakan sama Mas ..."]

Dengan penuh semangat, Adit meng'iya'kan ajakan wanita yang sudah resmi menjadi istri sah sahabatnya, Bambang.

["Kita ketemu di tempat biasa ... Mas kesana sekarang!"]

Adit menutup telfon, memperbaiki pakaiannya, bergegas meninggalkan kediaman nya, untuk menemui Evi di salah satu cafe tempat mereka biasa menghabiskan waktu tiga tahun yang lalu.

Nancy yang mendengar pembicaraan suaminya dengan wanita bernama Evi tersebut, membuat dia bergegas keluar dari tempat persembunyian dengan pisau masih di tangan kanannya.

Saat Adit akan membuka pintu kamar paviliun mereka, Nancy mencegah suaminya dengan nada lantang ...

"Mas mau kemana! Neng ikut!"

Langkah Adit terhenti, seketika tangannya melepas genggaman di hendel pintu kamar, membalikkan badannya, sedikit terkejut melihat pisau yang ada di tangan kanan istrinya.

"Nan-ncy ..."

Gadis itu dengan berani mendekati pria gagah yang masih menatapnya, dengan jarak enam meter diantara mereka.

Mendengar permintaan istrinya yang ingin ikut dengannya, Adit sedikit gugup. Ditambah dengan pisau yang masih berada di tangan gadis itu.

Perlahan Adit mendekati Nancy, agar wanita yang terlihat lebih berani dari yang dia bayangkan, sedikit berbisik ...

"Kamu ting-tinggal dulu. Ada yang mau Mas selesaikan sama Evi. Mas janji, setelah ini Mas tid-tidak akan bertemu dengannya lagi ..."

Adit berusaha melepaskan pisau dapur dari tangan Nancy, namun di elakkan oleh gadis itu.

"Neng ikut!" tegasnya.

Adit berusaha merebut pisau itu dari tangan istrinya, lagi-lagi mendapatkan perlawanan dari Nancy.

"Neng, lepas ... Lepas Neng!"

Namun Nancy sekuat tenaga untuk melawan dari dekapan suaminya, sehingga mata pisau itu menggores lengan mulusnya, karena tidak ingin mendengar suaminya terus menerus mencoba mencari cara untuk menemui wanita yang bernama Evi tersebut.

"Nancy!"

Pisau tersebut terlepas dari genggaman istrinya, membuat Adit kembali meraih tubuh ramping yang seketika menangis sejadi-jadinya.

Darah segar mengalir dari lengan Nancy, membuat Adit tampak khawatir, karena tidak pernah berhadapan dengan wanita yang dia anggap lemah, ternyata memiliki keberanian yang berbeda dari Evi.

"Apa yang Neng lakukan!?"

Bergegas Adit menggendong tubuh Nancy yang meringkuk di lantai kamar, untuk beranjak di atas ranjang kingsize kamar mereka yang masih berantakan.

Nancy menangis, entah kenapa siang itu hatinya seketika mendidih jika mendengar nama Evi di sebut suaminya.

Bergegas Adit mencari kotak P3K, untuk menghentikan darah yang terus mengalir di lengan kiri Nancy.

Luka robekan di lengan gadis itu, tidak sesakit luka yang tak berdarah di hatinya karena perbuatan suami sendiri.

"Lepaskan tangan Mas dari tubuh Neng! Neng tidak sudi bersentuhan dengan laki-laki yang menganggap diri Neng tidak suci!" sergahnya, membuat Adit melepaskan tangannya dari lengan Nancy.

Mata Adit masih tertuju pada luka yang tertoreh lumayan dalam, ia masih terus berusaha untuk tetap mengobati luka itu.

Lagi-lagi Nancy menghardik suaminya, "Jangan sentuh!"

"Tapi kamu terluka! Lukanya dalam, nanti kalau kenapa-napa ... Mas yang di salahkan!" tegasnya, mengambil paksa lengan Nancy dengan posisi keduanya sama-sama duduk di pinggir ranjang.

Nancy terdiam, dia membuang pandangannya kearah lain, agar tidak melihat wajah pria yang sangat menyakitkan nya selama seminggu menjadi suami.

'Jangan dia pikir aku akan melepaskan Mas ketemu sama wanita sialan itu! Sebenarnya siapa yang murahan? Aku atau Evi ...' sesalnya merutuki kebodohan Adit, yang mengobati luka.

Adit melirik kearah Nancy, saat menempelkan perban yang sudah terbalut plaster di bagian luarnya. Dia memejamkan matanya, karena mengagumi kecantikan istrinya sangat berbeda dari Evi.

"Sakit enggak?"

"Lebih sakit di perlakukan kasar! Ini enggak seberapa!"

Adit terdiam, wajahnya memerah karena perasaan bersalah.

"Mas enggak boleh pergi! Kalau Mas pergi, Neng ikut ...!" .

Adit semakin terdiam tak bergeming, wajah tampan yang berubah kaku, hanya bisa bergumam dalam hati, 'Bagaimana mungkin aku pergi membawa gadis ini! Sementara Evi tidak tahu aku sudah menikah ...'

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel