#####Bab 5. Tawaran Menikah
Datanglah pukul 10 pagi besok.
Itu adalah balasan dari Alfan semalam saat Aisha bertanya apakah mereka bisa bertemu lagi atau tidak. Aisha merasa lega dengan jawaban Alfan, karena pria itu tidak mengulur waktu hingga Aisha tidak kehabisan banyak waktu untuk mempersiapkan segalanya.
Sekarang, Aisha sudah berada di rumah Alfan, di jam yang Alfan sebutkan. Dia duduk di ruang tamu, dan Alfan juga sudah menyambutnya.
"Jadi, apa keputusan yang kamu buat?" Alfan bertanya. Secara sengaja, dia berbicara non-formal pada Aisha. Dan Aisha agak heran, namun tak mau mempermasalahkan.
"Saya tak bisa menyerah begitu saja untuk memperjuangkan hak saya. Tapi imbalan yang Anda minta tidak sesuai dengan prinsip hidup saya." Aisha menjawab dengan tenang. Dia lalu menyimpan map yang dia bawa di atas meja, dan menyodorkannya pada Alfan.
"Apa ini?" tanya Alfan heran.
"Anda bisa lihat dulu isinya apa, Pak Alfan," jawab Aisha. Alfan mengangguk kecil dan meraih map tersebut.
"Ngomong-ngomong, jangan terlalu kaku dan formal. Santai saja," ujar Alfan sebelum akhirnya dia membuka map yang disodorkan oleh Aisha. Keningnya berkerut setelah membaca isi map tersebut. Sementara Aisha menunggu reaksi Alfan dengan tak sabar dan khawatir. Apa rencananya terlalu gila?
Setelah beberapa saat, Alfan menutup map tersebut dan menyimpannya lagi di atas meja. Dia tertawa kecil, merasa tak percaya dengan apa yang Aisha tawarkan dan inginkan.
"Menikah?" tanya Alfan dengan sebelah alis terangkat heran. Aisha pun langsung menganggukkan kepala dengan tegas.
"Jika memang Anda menginginkan sesuatu atas tubuh saya-"
"Sudah kubilang jangan terlalu formal." Alfan memotong perkataan Aisha. Aisha jadi bingung sendiri harus memanggil Alfan dengan sebutan apa agar terdengar masih sopan.
"Kamu paham apa yang aku maksud kemarin?" Alfan bertanya seraya bersedekap dada.
"Isi kertas itu? Ya, aku rasa aku paham ke arah mana maksudnya." Aisha menjawab. Alfan tersenyum kecil, agak heran dengan Aisha yang bisa tetap tenang setelah mengerti apa yang Alfan inginkan darinya.
"Lalu kenapa kamu menyarankan sebuah pernikahan?" tanya Alfan heran.
"Aku punya prinsip, Pak Alfan. Aku tak mau melakukan hubungan badan dengan laki-laki yang bukan suamiku. Aku tak mau berzina." Aisha menjawab dengan tegas, dan sedikit penekanan di kata akhir. Alfan merasa takjub mendengar Aisha yang mengatakan alasan dengan jelas.
"Pak Alfan memintaku menemani di malam hari, tentu karena ada keinginan kan? Tak mungkin aku hanya menemani sebatas makan malam saja, karena mungkin itu tak akan setimpal dengan bantuan yang Pak Alfan berikan padaku. Jadi, aku menawarkan sebuah pernikahan agar Pak Alfan mendapatkan yang diinginkan tanpa melanggar prinsip hidupku selama ini." Aisha menjelaskan. Ayolah, dia sudah seperti orang gila saja sekarang. Berani-beraninya dia mengajak menikah pada seorang pria berpengaruh seperti Alfan yang memiliki kekuasaan tak terkira. Tapi seperti yang Senna katakan, harus dicoba dulu jika ingin tahu hasilnya.
"Kamu bebas melakukan apapun terhadapku. Asal kamu membantu aku agar ayahku tak menyerahkan perusahaan pada kakak tiriku."
"Apapun? Kuharap kamu tak menyesal dengan perkataanmu barusan, Nona Aisha."
Alfan menyeringai mendengar perkataan Aisha yang terdengar putus asa dan tak mau lagi bernegosiasi. Mungkin sekuat itu keinginan Aisha untuk melawan ayahnya hingga dia tak peduli kalau secara tak langsung dia menjual dirinya sendiri pada Alfan.
"Jadi, bagaimana?" Aisha bertanya dengan tak sabar. Alfan diam sesaat, seolah sedang mempertimbangkan. Namun beberapa saat kemudian dia menganggukkan kepala, setuju dengan rencana Aisha.
Aisha merasa lega sekarang karena dia sudah memegang kunci untuk bisa mengalahkan ayahnya. Ayahnya memang orang yang berpengaruh. Tapi pengaruh ayahnya tak seberapa jika dibandingkan dengan pengaruh yang Alfan miliki. Dan Aisha merasa sangat tak sabar untuk segera melihat kejatuhan ayahnya.
***
Theo Winata, seorang pria berusia lanjut yang menjalani kehidupan sehari-hari dengan damai beserta istri dan kedua anak tirinya. Dia nyaman hidup bersama mereka bertiga selama lebih dari 20 tahun. Dia adalah seorang ayah yang sangat jahat karena lebih mengutamakan ketentraman hidup anak-anak tirinya, tanpa pernah sedikit pun memikirkan kehidupan anak kandungnya.
Malam ini, Theo berkumpul bersama istrinya yang bernama Sarah di ruang keluarga. Tidak hanya berdua, tapi kedua anak tirinya juga ada di sana. Bara, anak sulung Sarah lah yang mengumpulkan mereka dengan alasan ada sesuatu penting yang harus di bahas.
"Apa yang mau dibahas, Bara?" Theo bertanya pada anak tirinya tersebut yang sudah dewasa.
"Pak Alfan menghubungiku tadi sore, Pa." Bara berucap. Mendengar nama Alfan disebutkan, Theo terlihat kaget.
"Alfan pemilik Wijaya Group?" tanya Theo memastikan. Bara pun menganggukkan kepala.
"Pak Alfan menawarkan kerja sama dan bantuan dana untuk perusahaan kita, Pa. Dan aku rasa kita harus terima bantuan darinya, mengingat perusahaan yang hampir masuk ke dalam keadaan sulit sekarang. Belum lagi kita juga butuh dana untuk persiapan pernikahan Dinara." Bara menjelaskan. Ya, keadaan finansial mereka sekarang memang sedang tidak stabil. Penjualan perusahaan yang anjlok juga pengeluaran yang banyak membuat Theo cukup pusing. Kerja sama perusahaan dengan Alfan adalah salah satu hal yang dia impikan sejak beberapa tahun ke belakang. Namun permintaan kerja sama darinya tak pernah diterima oleh Alfan.
"Tak mungkin dia menawarkan bantuan jika tak menginginkan sesuatu dari kita, Bara." Theo berucap. Bara pun mengangguk.
"Aku tahu. Pak Alfan pasti juga sudah memikirkan keuntungan apa yang akan dia dapatkan. Karena itu, dia meminta Papa menemuinya besok di sebuah restoran sekalian sarapan," ujar Bara. Kening Theo berkerut bingung mendengar itu. Tumben sekali Alfan yang mengajak bertemu. Theo masih ingat kalau sebelum ini Alfan selalu menolak pertemuan dengannya dengan alasan sibuk.
"Temui saja dulu, Mas. Kalau keuntungan yang dia inginkan tidak membuat kita rugi, terima saja tawarannya. Ini kesempatan emas loh," ujar Sarah. Theo diam sesaat kemudian menganggukkan kepala.
"Kira-kira apa yang dia inginkan? Aku ragu kalau dia menginginkan hal sepele," ujar Dinara. Theo menggelengkan kepala tanda tak tahu.
"Kita belum tahu sebelum Papa bertemu dengannya besok. Kamu jangan khawatir," ujar Theo. Semua yang ada di sana tersenyum, bagai mendapat durian runtuh. Nyatanya, itu semua adalah jebakan yang sudah Aisha dan Alfan rencanakan.