BERBICARA HAL PENTING
Sera berjalan keluar dari arah lift, pagi ini ia menyuruh keluarganya untuk berkumpul diruang keluarga. Ya.. Hari ini akan Sera sampaikan kepada mereka tentang Arsya yang mengajaknya menikah. Tentunya Sera tak akan bilang jika ia menerima tawaran Arsya hanya karena ingin mengetahui masalalu penyebab 2 keluarga bermusuhan hingga 5 generasi.
Bisa Sera lihat jika papa, mama dan opanya sudah duduk manis disofa. Perempuan itu duduk diantara mama dan papanya. Pagi ini ia tak ikut sarapan bersama mereka, karena dirinya mempersiapkan nyali untuk berbicara dihadapan mereka.
"Sudah makan?" tanya Citra, Sera mengangguk tadi ia sempat sarapan dikamar setelah maid mengantarkan makanan untuk dirinya.
"Era, mau bicara serius sama kalian," ucap Sera, ia mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdetak tak karuan.
"Ngomong aja sayang, ngapain minta izin?" ucap Rama, pria berusia setengah abad itu curiga dengan gelagat aneh sang anak.
Sera menghela nafas panjang. "Sera, mau menikah dengan Arsya," ucapnya cepat.
Hening...
Semua diam, ucapan Sera sangat jelas. Telinga mereka masih berfungsi untuk mendengarkan ucapan Sera. Fikri melihat kearah Sera dengan pandangan yang sulit diartikan. Rama melihat kearah Citra yang tengah diam mencerna situasi ini. Sedangkan Sera, perasaannya semakain tak karuan.
"Jangan gila, Sera!" Sampai akhirnya Fikri buka suara memecah keheningan. Seketika suasana menjadi dingin, Sera sampai merinding berada di situasi seperti ini.
"Beri opa satu alasan," ucap Fikri, aura yang dikeluarkan semakin mencekam.
"Hanya cara itu yang bisa menyelamatkan keluarga kita, opa. Arsya akan menyerahkan aset-aset kita jika Sera mau menikah dengan dia," balas Sera.
Fikri mengepalkan tangannya. "Sampai sekarang dari keluarga kita tak ada yang menikah dengan musuh sendiri," ucapnya, ia langsung pergi dari sana tanpa berpamitan. Lelaki berumur lebih dari setengah abad itu tak terima jika cucu satu-satunya menikah dengan Arsya yang berstatus sebagai musuh bebuyutan keluarganya.
Sera sudah menduga hal ini akan terjadi, tinggal menunggu tanggapan dari kedua orang tuanya saja yang saat ini hanya diam dengan pikiran masing-masing.
"Ucapkan sesuatu Pa, Ma," ucap Sera menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Citra memeluk putrinya dengan erat.
"Mama sangat setuju, mama tau tujuan kamu," bisik Citra sangat lirih. Untung saja Sera mempunyai pendengaran yang kuat.
Mulut Sera terbuka ingin mengatakan sesuatu. "Tak usah berbicara." Citra langsung membisikan kata itu kepadanya jadi mau tak mau ia diam.
Mamanya tau semuanya? Percayalah Sera tak pernah membayangkan jika sang mama mengetahui rencananya dengan Arsya. Namun bagimana, Citra bisa tau?. Sedangkan Citra tetap mengelus surai lembut sang anak dengan sayang, ia tau apa yang direncanakan oleh anak semata wayangnya itu. Citra selama ini juga bertanya-tanya mengapa Rama selaku suaminya sangat membenci keluarga Giroy. Namun Rama hanya menjawab jika itu urusan keluarganya, sejak saat itu Citra tak pernah bertanya-tanya namun rasa ingin tahunya masih menjalar hingga sekarang.
"Apa tidak ada cara lain?" tanya Rama yang sedari tadi menyaksikan interaksi antara istrinya dengan sang anak.
Sera melepaskan pelukannya dan beralih menatap Rama kepalanya menggeleng pelan. "Sera ngak mau keluarga kita hidup miskin, Sera ngak mau papa," ucapnya dengan nada lemah berharap Rama percaya omongannya. Sera harus berpura-pura jika itu tujuan utamanya menikah dengan Arsya.
"Papa ngak mau anak papa menikah bukan dengan orang yang dicintainya. Papa mau yang terbaik buat Era," ucap Rama parau, lelaki itu tak mau anak perempuan satu-satunya menderita.
Sera turut sedih mendengar ucapan Rama namun bagaimana lagi ia tak boleh memberitahu tujuan utamanya. Hatinya tak tega melihat sang papa seperti ini, Sera sangat paham perasaan beliau yang dari Sera kecil selalu memberikan yang terbaik untuk dirinya.
"Sera akan mencoba mencintai, Arsya. Papa ngak usah khawatir, Sera mau hidup miskin tapi nanti berapa banyak orang yang kehilangan pekerjaannya pa?. Bukan hanya 1 2 orang, tapi ribuan orang kehilangan pekerjaannya pa," ucap Sera, kalau nanti asetnya resmi jatuh atas nama Arsya seluruh perusahaannya akan diambil alih olehnya dan besar kemungkinan seluruh pekerja akan dipecat secara tak hormat.
****
Dikediaman Giory kini suasana sangat mencekam dikarenakan generasi ke 5 keluarga itu meminta untuk menikah. Jelas saja semua orang menolak, namun Arsya tetap kekeh dengan Keputusannya. Sudah dibilang Arsya itu keturunan Alif yang sifatnya keras kepala, buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Kata-kata itu sangat cocok mengambarkan tentang Alif dan Arsya.
Arsya hanya bersikap biasa tanpa memperdulikan 2 orang lelaki yang berstatus sebagai ayah dan kakeknya yang tengah menatapnya tajam. Arsya hanya diam sembari meminum matcha, kepalanya ia taruh dipundak bundanya.
"Jangan tatap putraku seperti itu," ucap Reta, matanya melotot melihat kearah suaminya.
Diam-diam Arsya tertawa melihatnya, Ayah nya yang satu itu tak lagi menatapnya tajam akibat pelototan gratis dari bundanya yang tersayang. Wisnu, lelaki berumur lebih dari setengah abad itu memutar bola matanya malas melihat interaksi anak dan menantunya itu.
"Arsya, ambil sikap yang benar ketika berbicara," ucap Wisnu.
Arsya mengangguk ia merubah posisinya menjadi duduk, ia melipat lengan kemejanya sebatas siku. Lihatlah kini posisi duduknya seperti lelaki berwibawa, dan juga macho.
"Ayolah kek, bilang iya apa susahnya?" tanya Arsya.
"Jangan gila! Menikah dengan musuh? Tak ada sejarah seperti itu dari awal membentuk nama Giory," ucap Wisnu, ia orang pertaman yang menentang Keputusan Arsya.
"Beri aku alasan mengapa permusuhan ini ada?!" ucap Arsya menuntut.
"Tak semua kau harus tau, Arsya. Cukup dengarkan apa kata kakek," ujar Wisnu.
Arsya berdiri. "Kapan aku tau semuanya kek? Kapan? Kakek hanya bisa menyuruhku saja tanpa membiarkan aku mengetahui apa yang terjadi," ucapnya dengan nafas memburu.
Wisnu berdiri. "Dimana cucu kakek yang penurut?" katanya tertawa hambar lalu pergi.
Sial! Arsya tak bisa mengontrol dirinya sendiri, ia kembali duduk dan mengusap rambutnya kasar. Bisa-bisanya ia terpancing emosi, baru kali ini ia membentak kakeknya sendiri.
"Ayah tak pernah mengajari kamu seperti ini, Arsya." Alif ikut pergi, ia tak marah hanya saja kecewa dengan sikap sang anak.
Kini diruangan itu hanya ada Arsya dan Reta. Arsya bersender dipinggir sofa, ia menaruh kepalanya diatas pembatas sofa matanya terpejam. Niatnya ingin meminta izin kenapa sekarang jadi begini.
"Kontrol emosi kamu Arsya," ucap Reta.
Arsya membuka matanya. "Arsya cinta sama Sera Bunda," ucapnya dengan mata sendu, padahal nyatanya ia tak cinta dengan Sera. Biasa, anak bunda lagi drama.
Reta menatap iba pada putranya, "Bunda akan bantu Arsya dapat restu dari mereka," ucapnya yakin, ia selalu mengkabulkan apapun permintaan Arsya.
Arsya menarik bibirnya keatas senyum terukir di wajahnya. Kini bundanya akan membantu, sekarang ia tinggal berfikir bagaimana cara meminta maaf kepada Wisnu dan Alif atas sikap nya tadi.