Ringkasan
Aku hamil empat bulan dan dokter mengatakan kalau aku mengandung anak perempuan. Namun, aku didorong dan jatuh dari tangga oleh cinta pertama suamiku. Aku menutupi perutku dan berteriak kesakitan, tetapi suamiku pergi bersama perempuan yang dicintainya itu. Sebelum pergi, dia sempat berkata kepadaku, "Kalau anak yang kamu lahirkan sama kejamnya denganmu, lebih baik tidak usah dilahirkan saja." Aku terbangun di rumah sakit dan menyentuh perutku yang sudah rata. Aku melihat unggahan suamiku dan perempuan yang dicintainya di Instagram, yang mengatakan, "Duniaku tidak pernah meninggalkanku." Aku melihat mereka saling berpelukan erat. Aku menuliskan komentar, "Berbahagia dan menualah bersama, pasangan terkutuk!" Aku mengetag Instagram suamiku, lalu menuliskan, "Ayo bercerai."
Bab 1
Aku menatap kosong ke langit-langit putih di atasku, mencoba merasakan kehidupan kecil di dalam perutku yang sudah bersamaku selama empat bulan ini.
Namun ....
Aku tidak akan bisa merasakannya lagi.
Air mata menetes dari sudut mataku, membasahi rambut di pelipisku.
Dokter menghela napas saat melihatku. Saat dia berbalik dan hendak melangkah pergi meninggalkan ruangan, aku menarik lengannya, menganggapnya sebagai penyelamatku.
"Dokter, anakku ...."
"Kamu masih muda, masih bisa punya anak lagi."
"Tidak!"
Pada saat itu, aku menyadari apa artinya rasa sakit yang begitu menyayat hati.
Di rumah, aku membelai pakaian dan mainan yang sudah aku siapkan untuk putri kecilku.
Yang terlihat di depan mataku adalah penampilannya yang imut dan polos. Aku ingin memeluknya erat-erat, tetapi aku menyadari bahwa semua itu hanyalah khayalanku semata.
Anakku.
Putri kecilku.
Tidak akan pernah muncul di duniaku lagi.
Aku membenci diriku sendiri karena tidak bisa melindunginya dengan baik.
Aku makin membenci Samuel yang dingin dan Cantika Faridasari yang jahat.
Aku membakar semua yang aku siapkan untuk putriku dalam diam, membuat sebuah kuburan kecil di halaman rumah, tempat dikuburkannya janin kecil yang jarinya baru tumbuh.
Samuel yang baru pulang dibuat terkejut saat melihat kuburan tambahan di halaman dan pakaian yang belum dibakar, menatapku seperti orang gila
"Lucia, apa kamu gila? Apa yang kamu lakukan?"
Di malam yang pekat ini, aku menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi dan dia cukup terintimidasi olehku.
"Bukankah cuma karena masalah siang tadi?"
Sikap diamku membuat Samuel menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal.
"Sudah berapa kali aku bilang padamu, aku dan Cantika tidak punya hubungan apa-apa. Lihatlah, apa ada istri yang bersikap sepertimu ini?"
Dia meringis jijik dan melanjutkan, "Yang dikatakan Cantika memang benar. Orang yang hatinya kotor akan terlihat kotor dalam segala sisi."
Aku mencibir.
"Benarkah? Lalu, seberapa bersih kalian? Kalian melepaskan baju untuk saling menilai?"
"Kamu! Benar-benar gila!" Setelah itu, dia pergi dan membanting pintu keras-keras.
Aku tidak peduli ke mana dia pergi. Bahkan jika dia mati dalam perjalanan menuju ke tempat Cantika, aku akan bertepuk tangan dan menganggapnya telah membayar nyawa putriku dengan kematiannya.