5. Pria yang Menepati Janjinya
***
“Mas Adam?”
Adam tertegun dan dia langsung mengibaskan tangannya yang dari tadi Sarah pegang. Dia berdiri dan menatap istrinya yang saat ini sedang melihatnya dengan datar.
“Sayang, kamu ada di sini?” tanya Adam.
Dara mengangguk kecil, sebelum menjawab dia melihat ke arah Sarah. “Iya, aku ada keperluan sebentar sebelum menjemput anak-anak ke sekolah,” balasnya. Lalu dia pun tersenyum. “Kak Sarah ternyata benar ada di sini, tadi kata Mas Adam ada kakak di sini, jadi aku sekalian saja mampir. Kita sudah lama tidak bertemu. Aku rindu dengan kamu Kak.” Dia sengaja mengatakannya di depan keduanya.
Sarah tersenyum kikuk, dia tidak tahu kalau Adam ternyata memberitahukan pada Dara kalau pria itu sedang bersamanya.
“Iya, Dara. Kakak juga nggak sengaja bertemu Adam, sekalian saja Kakak makan siang dengannya,” balas Sarah dengan tenang. “Nah, karena kamu sudah ada di sini, bagaimana kalau kita makan siang bersama? Sudah lama kita nggak bicara santai seperti ini. Kamu sangat sibuk dengan bisnis dan karier-mu sampai tidak ada waktu untuk kakakmu ini,” ucapnya.
“Iya, aku memang sangat sibuk kemarin sampai aku melupakan waktu berhargaku dengan keluargaku sendiri,” cicit Dara. “Oke, kebetulan aku juga masih lapar, dan juga masih ada waktu untuk menjemput anak-anak.”
“Kalau kamu sibuk, anak-anak biar Kakak saja yang jemput, kamu jangan menyusahkan dirimu sendiri,” tawar Sarah.
“Yang jelas, anak-anak tidak menyusahkanku, dan mereka itu anak-anakku, jadi aku adalah ibunya yang paling berhak untuk mereka,” balas Dara. “Sekarang, aku tidak akan merepotkanmu lagi, Kak. Maafkan aku karena selalu menitipkan anak-anak padamu, jadi mulai sekarang gunakan saja waktu Kakak sebaik-baiknya, jangan merasa ada kewajiban untuk menjaga anak-anakku.”
Sarah terdiam sebentar, dia merasa Dara sedikit aneh. Wanita itu tidak bisa dia kendalikan lagi. kenapa sikap Dara memang terlihat berbeda?
Sarah tersenyum tulus. “Kai dan Suri sudah Kakak anggap seperti anak Kakak sendiri, jadi Kakak menikmati saat mengurus keduanya. Mereka itu anak-anak pintar dan lucu.”
‘Ya, hanya kamu yang beranggapan seperti itu, kak. Bagiku, posisiku adalah nomor satu di hati anak-anak dan tentu juga di hati Mas Adam,’ batin Dara dalam hati.
Di sisi lain, Adam tidak banyak bicara. Dia hanya diam mendengarkan, saat Dara berbicara pun, ada keterkejutan di hatinya. Kenapa Dara bicara seolah dia memberitahukan kalau dirinya saat ini sedang bersama Sarah? Padahal dia belum mengatakan apa-apa pada istrinya.
Dara... seperti Dara yang dia kenal pertama kali, dan dia pun seperti jatuh cinta lagi, dan kekosongan hatinya kemarin saat istrinya itu terlalu sibuk dengan dunianya akhirnya terisi kembali. Namun, ada satu hal yang mengganjal di hatinya, yaitu saat dia dan Sarah tanpa sadar berpegangan tangan. Jelas Dara melihatnya, tapi kenapa istrinya itu tidak marah atau cemburu? Dara hanya bersikap biasa-biasa saja, apa Dara menyadari sesuatu hal? Atau istrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya?
“Mas, kamu sakit?” tanya Dara.
Adam pun tersadar dari lamunannya, dia menggelengkan kepalanya.
“Mas, mau langsung ke kantor?”
“Iya, Sayang. Kenapa? Kamu mau jemput anak-anak?”
“Iya, tapi aku nggak bawa mobil, Mas. Antar aku ke sekolah anak-anak, ya!”
Adam mengangguk.
“Kak Sarah masih ada kepentingan kan ya? Kalau begitu aku sama Mas Adam langsung mau pergi ya! Anak-anak juga sebentar lagi pulang,” ucap Dara langsung bicara tanpa ada intro.
Sarah yang tadinya mau ikut dengan mobil Adam pun, mau tidak mau terpaksa menganggukan kepalanya, jika dia ngotot pergi dengan Adam yang ada membuat Dara curiga dan tentu saja nanti Adam tidak menyukai apa yang dia lakukan. Sarah tidak mau membuat Adam sampai membencinya.
“Sarah, tagihan makanannya sudah aku bayar. Jadi, kamu nanti tidak usah membayar lagi,” ucap Adam.
“Oke. Thanks ya, Adam.”
Adam mengangguk pelan, lalu Dara mengucapkan selamat tinggal pada Sarah dan dia pun melingkarkan tangannya ke lengan Adam. Keduanya pergi menyisakan rasa kesal di hati Sarah.
“Seharusnya yang ada di posisi itu aku, kamu hanya pelariannya saja pada waktu itu,” gumam Sarah tersenyum sinis.
***
Di dalam perjalanan, Dara melamun. Dia melemparkan pandangan ke arah jendela mobil. Kejadian tadi saat Adam dan Sarah berpegangan tangan terngiang di pikirannya. Dia ingin marah, dia ingin teriak, dan menangis, tapi Dara menahannya. Dia tidak mau sampai Sarah tersenyum dan membuat dia lemah.
Dara bingung saat ini, apa yang harus dia bicarakan dengan suaminya, dan kenapa Adam tidak mengatakan apa-apa padanya? Padahal jelas Adam tahu kalau dia melihat keduanya berpegangan tangan.
“Apa yang tadi kamu lihat, itu tidak sengaja,” ucap Adam memecahkan keheningan diantara keduanya.
“Iya, aku tahu.” Dara hanya menjawab singkat.
“Maafkan aku, Sayang. Sungguh tadi benar-benar tidak sadar kalau tangan Sarah sedang memegang tanganku,” ucap Adam. Nada suaranya terdengar agak frustasi.
Dara menghela napas panjang, lalu dia berbalik menatap suaminya yang sedang menatapnya.
“Aku tahu,” balas Dara tersenyum.
“Apa yang kamu tahu?” Adam bertanya balik.
“Aku tahu kalau Mas Adam itu adalah pria yang tidak akan mengingkari janjinya, aku percaya padamu, Mas,” balas Dara.
Detik berikutnya, ada ruang sakit di hati Adam saat wanita itu bicara seperti itu. Kenapa Dara tidak marah padanya? Justru Adam semakin gelisah saat Dara hanya diam saja, biasanya wanita itu selalu cemburu dan kesal saat ada wanita lain yang mulai menggodanya.
“Kamu tidak cemburu, Sayang?”
Dara tertegun, baru kali ini suaminya mengatakan hal itu padanya. Biasanya pertanyaan itu dialah yang sering bertanya pada suaminya.
Dara tersenyumn tipis. “Mas, tahu kan bagaimana perasaanku padamu? Apa perlu aku tunjukkan?”
Adam terdiam, dia mulai bingung dengan sikap Dara yang berubah.
“Aku pasti cemburu, Mas. Aku bahkan ingin marah tadi, tapi aku ingat janjimu, janjimu yang tidak akan pernah berkhianat padaku, jadi aku yakin kalau kamu adalah pria terhormat yang akan menepati janjimu,” ucap Dara.
“Sayang, kalau kamu cemburu, jangan menahannya! Diamnya kamu malah membuat Mas takut,” ujar Adam.
“Aku cemburu kalau Mas mulai memikirkan wanita lain, saat itu artinya aku tidak terlalu berarti untukmu. Aku hanya takut kehilangan cinta darimu, Mas.”
“Kamu sangat berarti bagi Mas. Jangan bicarakan hal yang omong kosong,” tukas Adam.
“Oh, iya. Hampir saja aku lupa mau mengatakannya,” timpal Dara. Lalu, wanita itu menatap suaminya, dan setelah itu membuka tasnya untuk mengambil sesuatu. “Ini, sepertinya Mas selalu lupa mengenakan cincin pernikahan kita, hanya aku yang selalu betah dengan cincin pernikahan ini.”
Adam tersentak, dia memang selalu melepaskan cincin pernikahan saat sedang mandi karena dia sedikit tidak nyaman.
“Maaf.”
“Kenapa Mas Adam harus minta maaf? Mas tidak melepaskan cincin pernikahan kita dengan sengaja, kan?”
Adam terkejut, dia pun mengangguk pelan. Baru saja pria itu ingin bicara, mobil sudah berhenti di depan sekolah anak-anak.
“Sudah sampai, aku akan pulang dengan taxi, dan mungkin nanti mampir dulu sama anak-anak ke mal. Jadi, kami pulang agak terlambat, ya!” ucap Dara.
“Mau Pak Johan jemput kalian sekarang?”
Dara menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu. Aku ingin kencan sama anak-anak.”
“Sayang... “
“Iya, ada apa?’
“Masalah Sarah... “
“Sudah, Mas. Aku sudah tidak memikirkannya, aku tahu kalau Mas dan Kak Sarah tidak mungkin menusukku di belakang,” balas Dara. “Dan juga... apa Mas Adam pernah berpikir kalau Mas takut kehilanganku?”
“Maksudnya?”
“Kalau misalnya aku tidak ada lagi di hidup Mas Adam, bagaimana? Apa Mas akan merasa kehilangan?”
***