5.(POV Bowo) HANDJOB NIKMAT DARI MURIDKU
"Kamu harus tahu, Siska. Aku sudah lama menahan hasratku ini, kamu paham kan?" Aku berusaha membuat dia mengerti dengan keinginanku.
"Tapi, Pak. Tidak seharusnya kita melakukan hal yang lebih, apalagi kita bukan suami istri, Pak. Aku juga takut jika melakukan itu, nanti aku hamil gimana, Pak?" Dia terlihat seperti ada ketakutan.
"Sayang, kita sudah menjadi sepasang kekasih. Kamu sekarang bukan hanya muridku, tetapi kamu sekarang adalah orang yang berarti buatku. Kita mungkin tidak melakukannya sekarang, tapi aku membutuhkan kamu supaya aku bisa menyalurkan hasratku," balasku sambil menurunkan celanaku hingga terlihat bagian celana dalamku yang menyembul karena batang kejantananku sudah ereksi.
Aku perhatikan Siska seperti gugup, sekolah ada raut ketakutan dalam wajahnya. Namun aku berusaha menenangkannya agar dia mau menuruti apa yang aku inginkan.
"Bantuin aja yah, Sayang. Sumpah aku ingin banget, aku janji tidak akan menghamili kamu, tapi ini demi menyatukan perasaan kita," ucapku yang kini hanya memakai celana dalam dan kaos biasa.
"Tapi bagaimana caranya aku bisa melakukannya, Pak? Aku takut nanti aku hamil," balasnya dengan raut wajah tegang.
"Kita tak Haris melakukannya langsung, tapi aku yakin kamu pasti akan menyukainya juga."
Aku mendekatinya dan langsung mencium bibirnya kembali, tanganku meremas-remas buah dadanya yang sejak tadi menggoda mataku.
"Hmmm... Hmmm, Pak... Ahhh."
Suara desahan kecil terdengar ketika aku terus mencumbunya. Aku sengaja melakukannya agar dia merasa terangsang dengan permainan ini. Karena Siska merupakan murid yang menggoda imanku, dia cantik dan centil. Tubuhnya bisa dibilang mungil, dengan tinggi badan sekitar 160 an, namun yang membuat aku nafsu, buah dadanya itu besar dan badannya berisi, ditambah kecantikannya membuat siapa yang melihatnya akan jantung hati.
"Kamu harus melayani aku, Siska. Aku sudah lama merindukan hal seperti ini," bisik ku dengar lembut.
"Aku belum siap untuk melakukan langsung, Pak. Aku takut hamil," balasnya dengan suara lirih.
"Kamu tenang aja, Sayang. Aku tidak akan memasukan batangku, tapi kita bisa saling menikmati dengan permainan lain," ucapku sambil terus meremas-remas buah dadanya yang kenyal.
Kancing bajunya aku lepas satu persatu. Dia masih mengenakan pakaian seragam SMA, hal ini membuat aku semakin bernafsu bisa menjamah tubuh gadis muda yang tak lain muridku sendiri. Aku memundurkan tubuhku, kemudian menatapnya dalam-dalam.
"Pak... Apa kita harus seperti ini?" Dia seperti kebingungan dan nampak ada ketakutan.
"Iya, Sayang. Kamu tadi udha janji mau menjadi teman sepi ku, sekarang kita sudah seperti sepasang kekasih. Terus kamu kan tahu bapak sudah lama sendiri dan butuh kehangatan, aku butuh untuk menyalurkan hasrat ini," jawabku mencoba untuk tenang.
"Tapi jangan melebihi batas, Pak. Jujur aku takut hamil," ucapnya pelan, wajahnya imut dan menggairahkan.
"Kamu tidak usah takut, Sayang. Kita tidak akan melakukan itu sekarang. Kita bisa melakukan permainan lain, yang penting kita sama-sama nikmat," balasku diakhiri senyuman.
Aku dan Siska semakin mesra di kamar ini. Cahaya lampu yang redup membuat suasana terasa semakin intim. Aku tak bisa memungkiri perasaanku, aku semakin penasaran dengan Siska. Dia cantik, lembut, dan selalu menjaga kesopanannya, tapi ada satu hal yang selalu membuatku bertanya-tanya. Aku ingin tahu lebih dalam tentang dia, tentang hal-hal yang mungkin belum pernah dia ceritakan pada siapa pun.
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang sudah lama terlintas di pikiranku.
"Siska," ucapku pelan.
"Aku tau kamu sudah dewasa, bagaimana kamu biasanya menyalurkanurusan biologismu?"
Siska terdiam sejenak. Wajahnya terlihat sedikit memerah, dan aku bisa merasakan dia merasa malu dengan pertanyaanku. Tapi setelah beberapa saat, dia menarik napas dalam-dalam dan menjawab dengan suara pelan,"Aku... biasanya melakukannya sendiri, Pak"
Aku terkejut mendengarnya, bukan karena jawabannya, tetapi karena dia berani jujur padaku tentang sesuatu yang begitu pribadi. Aku bisa merasakan kehangatan di antara kami semakin kuat, dan entah kenapa, rasa penasaranku terjawab dengan kejujurannya yang begitu sederhana dan jujur.
Aku terdiam sejenak, mencerna jawabannya yang tak terduga. Namun, rasa penasaran di dalam diriku masih belum sepenuhnya terpuaskan. Aku memutuskan untuk bertanya lebih dalam, meskipun tahu ini mungkin akan membuatnya semakin malu.
"Aku cuma penasaran, Siska," ucapku dengan hati-hati, mencoba tidak membuat suasana jadi tegang.
"Bagaimana cara kamu melakukannya? Maksudku, gimana caramu menyalurkannya?"
Siska menundukkan kepalanya sejenak, jelas terlihat malu dengan pertanyaanku. Namun, mungkin karena kedekatan dan kepercayaan yang sudah kami bangun, dia akhirnya mengangkat wajahnya dan menjawab pelan, dengan suara hampir berbisik.
"Aku melakukannya dengan tangan, Pak," ucapnya pelan.
"itu cara yang paling mudah buatku... untuk mencapai orgasme," imbuhnya menggoda.
Aku menatapnya, mencoba menangkap perasaannya lewat ekspresi wajahnya. Ada rasa canggung yang menyelimuti percakapan ini, tapi aku bisa merasakan bahwa kejujurannya adalah bentuk kepercayaan besar yang dia berikan padaku. Aku menghargai keterbukaannya meskipun suasana menjadi lebih intens. Kami menyadari betapa rapuhnya percakapan ini bagi hubungan kami.
Setelah beberapa saat hening, Siska menatapku dengan sedikit ragu, seolah-olah sedang menimbang apakah akan melanjutkan atau tidak. Aku bisa melihat di matanya bahwa dia ingin tahu sesuatu, mungkin karena aku sudah membuka topik yang cukup pribadi. Dengan suara lembut, dia akhirnya bertanya balik.
"Kalau biasanya gimana?" tanyanya, mencoba tersenyum meski wajahnya masih memerah.
"Gimana caranya menyalurkannya, Pak?"
Aku terdiam sejenak, tak menyangka dia akan bertanya hal yang sama. Tapi karena aku sudah membawanya ke topik ini, aku tahu tak ada jalan mundur. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap santai.
"Ya... aku juga melakukan hal yang sama," jawabku dengan suara rendah.
"Bapak juga pakai tangan, sama seperti kamu, untuk mencapai orgasme."
Siska tersenyum tipis, mungkin sedikit lega karena aku juga terbuka padanya. Kejujuran itu membangun sebuah ikatan baru di antara kami. Meski obrolan ini terasa aneh pada awalnya, ada rasa saling memahami yang tumbuh di dalam keheningan yang menyusul. Kami sudah melewati satu langkah besar dalam keterbukaan, dan meskipun topiknya sangat pribadi, itu membuat kami merasa lebih dekat.
Siska menatapku dengan tatapan yang penuh pengertian. Sepertinya dia mengerti betul dengan situasi yang sedang terjadi, bagaimana obrolan kami tadi telah membawa suasana ke arah yang lebih intim. Aku bisa merasakan kehangatan di antara kami semakin intens. Perlahan, dia menggeser duduknya lebih dekat, wajahnya masih terlihat malu, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa dia memahami keadaanku.
"Kalau bapak. butuh bantuan," ucapnya pelan, hampir berbisik.
"aku bisa bantu bapak untuk... menyalurkannya."
Kata-katanya membuat jantungku berdebar lebih kencang. Aku terdiam sesaat, menatapnya dalam-dalam, memastikan bahwa dia benar-benar bersungguh-sungguh. Siska menunduk sedikit, menggigit bibir bawahnya dengan malu, tapi dia tetap berani menawarkan hal itu padaku. Aku tahu dia melakukan ini karena rasa kepercayaannya padaku, dan karena dia ingin mendekatkan diri lebih jauh, lebih dari sekadar percakapan biasa.
Perasaanku campur aduk, dan aku rasa ini momen yang pas, dan sepertinya dia sudah mulai terangsang, aku yakin dia sudah paham bagaimana keinginan ku saat ini yang bener-bener nafsu melihatnya.
*****