2.(POV Bowo) MEMANFAATKAN SISKA
Pertanyaannya membuatku terkejut. Ada keinginan yang tak terduga dalam suaranya, dan aku bisa merasakan denyut jantungku semakin kencang.
"Lebih dari itu?" tanyaku, berusaha menggali maksudnya.
Siska mengedipkan matanya, seolah bermain-main dengan kata-katanya. "Ya, seperti berbagi cerita, dan mungkin… lebih dekat. Kita bisa melakukan banyak hal bersama. Aku paham bapak pasti kesepian"
Ucapannya yang menggoda itu membuatku merasa terjebak antara keinginan dan batasan. Namun, matanya yang bersinar penuh harapan membuatku berpikir, apakah mungkin ada jalan di antara kami yang lebih dari sekadar guru dan murid?
"Aku… tidak tahu, Siska. Itu terasa sangat berisiko" jawabku, meskipun suara hatiku berbisik untuk mencoba.
"Tapi kadang kita perlu mengambil risiko, Pak. Bukankah hidup ini terlalu singkat untuk tidak mencoba?" Dia bersikeras, dan aku bisa melihat semangatnya di balik tatapan itu.
Sekali lagi, kami terdiam, dan suasana di antara kami semakin tegang. Saat itu, aku menyadari bahwa kami berada di tepi jurang yang tak terduga. Bagaimana jika aku mengambil langkah itu? Mungkin Siska benar, hidup terlalu singkat untuk menahan diri dari apa yang mungkin bisa menjadi sesuatu yang lebih.
"Bener juga sih, Baiklah," jawabku pelan, merasakan keberanian tumbuh dalam diriku.
"Kalau begitu, apa yang kamu inginkan, Siska?"
Dia tersenyum lebar, dan aku bisa melihat bahwa kami akan memasuki babak baru dalam hubungan ini, sesuatu yang bisa menjadi indah sekaligus berbahaya.
Rasa terpesona terhadap Siska semakin membara dalam diriku. Meskipun dia masih duduk di bangku SMA, sikap dan pemikirannya yang dewasa membuatku terpesona. Ada kedalaman dalam matanya yang menunjukkan bahwa dia lebih dari sekadar remaja yang ceria dan centil. Siska paham dengan situasiku, dan itu membuatku merasa ada ikatan yang tak terucapkan di antara kami.
"Pak, aku tahu mungkin ini terdengar aneh." Siska memulai, suaranya pelan dan penuh kerentanan.
"Tapi aku ingin bapak tahu bahwa aku menghargai keberanianmu. Tidak banyak orang yang mau berbagi tentang perasaannya. Itu membuatku semakin ingin dekat denganmu, Pak."
Aku terdiam, meresapi kata-katanya. Keberaniannya untuk mengungkapkan perasaannya membuatku merasa dihargai dan dimengerti.
"Kamu benar, Siska. Banyak yang takut untuk membuka diri, terutama tentang hal-hal yang menyakitkan," balasku, mencoba menjaga nada suaraku tetap tenang.
Dia tersenyum lembut, kemudian melanjutkan,"Iya... Dan mungkin, kita bisa saling mengisi. Aku tahu bapak seorang duda, dan pasti ada banyak yang bapak rasakan. Aku bisa menjadi teman yang bapak butuhkan, dan lebih dari itu jika bapak mau"
Kata-katanya mengalir begitu natural, dan hatiku bergetar mendengar tawaran itu. Namun, ada rasa takut yang menggelayut di benakku,"Tapi kamu masih muda, Siska. Kita datang dari zaman yang sangat berbeda. Apakah kamu yakin ini yang kamu inginkan?”
Dia menatapku, matanya bersinar penuh keyakinan,"Umur bukanlah halangan, Pak. Yang terpenting adalah perasaan dan saling pengertian. Aku merasa ada sesuatu yang spesial antara kita. Dan aku siap untuk itu, jika bapak beneran mau"
Ketika dia mengucapkan kata-kata itu, aku merasakan seolah semua dinding yang menghalangi kami mulai runtuh. Bagaimana bisa seorang murid, yang seharusnya menjadi tanggung jawabku, bisa membuatku merasakan hal ini? Namun, di balik semua keraguan itu, ada hasrat yang semakin menguat, membuatku ingin lebih dekat dengan Siska.
Aku mulai ragu, tetapi tatapan matanya menguatkan tekadku,"Baiklah, mari kita lihat ke mana ini akan membawa kita"
Siska tersenyum lebar, dan matanya berbinar. Aku tidak tahu apakah langkah ini benar atau salah, tetapi ada dorongan kuat untuk menjelajahi apa yang mungkin ada di antara kami. Dia telah membangkitkan kembali rasa hidup dalam diriku, dan aku merasa terombang-ambing antara rasionalitas dan perasaan yang mendalam.
Kami melanjutkan obrolan, dan setiap detik terasa berharga. Siska dengan lincah mulai berbagi cerita tentang hidupnya, harapannya, dan pandangannya tentang dunia. Ada kecerdasan dan ketulusan yang membuatku terpesona. Dia berbicara tentang impiannya untuk kuliah di luar negeri, tentang bagaimana dia ingin menjalani hidup yang penuh petualangan dan pengalaman.
"Aku ingin bisa melihat dunia, Pak. Mungkin suatu saat nanti, aku bisa mengajakmu untuk berkeliling. Kita bisa menjelajahi tempat-tempat baru bersama," ucapnya, mengalihkan fokus ke arahku dengan penuh harapan.
Aku membayangkan semua itu, dan jantungku berdebar dengan cepat.
"Siska, itu akan menjadi perjalanan yang indah," balasku, merasakan kehangatan di antara kami.
"Bisa jadi, Pak," jawabnya sambil menggigit bibirnya dengan manis.
"Tapi untuk sekarang, aku ingin kita berbagi momen ini. Momen di mana kita bisa saling memahami, lebih dari sekadar guru dan murid."
Dengan kata-katanya, aku merasa seolah terjebak dalam arus yang tak terhindarkan. Apa yang terjadi selanjutnya bisa mengubah hidup kami selamanya, dan aku hanya bisa berharap bahwa pilihan ini adalah langkah yang tepat. Kami berada di ambang sesuatu yang baru dan mungkin, sesuatu yang berbahaya, tetapi sekaligus menantang.
Suasana di ruang tamu terasa semakin intim, dan jantungku berdebar-debar. Momen ini terasa begitu berharga, dan aku tahu sudah saatnya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di dalam hatiku. Setelah beberapa saat terdiam, aku memberanikan diri untuk mengambil langkah itu.
"Siska," ucapku, suaraku sedikit bergetar.
"Bapak ingin jujur padamu. Sejak kita mulai berbicara, aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan guru dan murid. Aku ingin kamu menjadi kekasihku. Biar bapak gak kesepian"
Aku memperhatikan reaksi Siska, dan saat mendengar kata-kataku, wajahnya tiba-tiba memerah. Dia menundukkan kepala, dan aku bisa melihat senyumnya yang malu-malu.
"Pak… aku tidak tahu harus berkata apa," ujarnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Hatiku bergetar, mengira bahwa mungkin aku telah melangkah terlalu jauh. Namun, sebelum aku bisa mengungkapkan kekhawatiranku, dia mengangkat wajahnya kembali,"Tapi… aku ingin bapak tahu, aku juga merasa sesuatu yang khusus. Rasanya seperti kita terhubung dengan cara yang berbeda. Dan aku mau menjadi teman sepimu, Pak"
Senyumnya yang lebar kembali menghiasi wajahnya, dan jantungku berdegup kencang mendengar kata-katanya.
"Jadi, kamu mau menjadi kekasihku?" tanyaku sekali lagi, ingin memastikan bahwa aku tidak salah mendengar.
Dia mengangguk pelan, dan ada keraguan yang sedikit menggelayuti tatapannya,"Ya, aku mau. Tapi kita harus hati-hati, Pak. Ini semua baru dan… kita harus menjaga perasaan satu sama lain"
Kata-katanya membuatku merasa lega sekaligus bahagia. Aku mengulurkan tangan untuk meraih tangannya, dan saat telapak tangan kami bersentuhan, aku merasakan aliran listrik yang membuatku bersemangat,"Terima kasih, Siska. Aku berjanji akan menghargai perasaanmu dan menjaga semuanya dengan baik"
Kami duduk bersebelahan di sofa, suasana semakin hangat. Momen ini seolah membawa kami ke dimensi baru dalam hubungan kami. Siska menggenggam tanganku, dan rasanya seperti ada ikatan yang tak terputus antara kami.
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya dengan nada penuh semangat, matanya berkilau penuh rasa ingin tahu.
"Aku rasa kita bisa mulai dengan saling mengenal lebih baik," jawabku sambil tersenyum.
"Kita bisa berbagi cerita, impian, dan harapan. Dan mungkin, kita juga bisa mencari cara untuk menghabiskan waktu bersama tanpa membuat orang lain curiga."
*****