Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 7

HAPPY READING

***

Sepanjang perjalanan tangannya dipegang oleh pak Ben. Ia sekarang sudah seperti sapi yang sedang dicocok hidungnya. Bagaimana bisa ia terjebak dalam hidup pria bernama Ben. Ia tidak pernah bermimpi dipegang oleh orang nomor satu di perusahaanya. Jika ada salah satu karyawan melihatnya seperti ini, ia pastikan akan menjadi bahan gunjingan satu perusahaan.

“Kamu kenapa sih kabur-kabur seperti tadi?” Tanya Ben, ia berhenti di salah satu outlet membeli lemon tea dan air putih dingin, untuk dirinya dan Clara.

Clara hanya diam, ia melihat Ben berada di hadapannya menyerahkan air mineral dingin yang sudah terbuka tutupnya. Ia mengambil air mineral itu dari tangan Ben tanpa menjawab pertanyaain itu, ia meneguk air mineral itu, karena ia memang haurs. Ia memandang Ben yang masih memegang pergelangan tangannya.

“Bisa lepasin tangan kamu nggak? Risih nih dipegang terus,” ucap Clara.

“Saya tidak mau ambil resiko, nanti kamu kabur lagi seperti tadi, buat repot saya,” ucap Ben, ia menarik tangan Clara yang menjauhi outlet.

“Emang ini mau ke mana?” Tanya Clara, mengikuti langkah Ben.

“Ke parkiran saja, mobil saya di bawah.”

“Ngapain ke mobil bapak. Tempat tinggal saya di samping loh, deket. Saya mau pulang saja,” timpal Clara.

“Kita ngobrolnya di mobil saya saja.”

“Jujur, saya masih shock karena kamu marah-marah sama saya, lalu kabur gitu saja ninggalin saya. Saya tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Berbicara di mobil, akan lebih aman,” ucap Ben.

Clara terpaksa mengikuti langkah Ben menuju parkiran mobil di basemen. Bodohnya lagi ia mau saja ikut pria itu. Padahal jelas-jelas ini lingkungan tempat tinggalnya, harusnya ia punya kuasa. Apa karena dia seorang boss jadi dia seenak jidanya memberi perintah.

Clara menatap mobil BMW tepat di hadapannya, mobil hitam itu terparkir sempurna di dekat lobby basement. Pria itu membuka central lock, lalu membuka mobil untuknya. Clara melirik Ben, pria itu menatapnya balik.

“Kenapa?” Tanya Ben heran.

“Ini mobil kamu?”

“Iya. Kenapa?”

“Bukannya tadi sama Felix?”

“Kita ke sini naik mobil sendiri-sendiri Clara.”

“Owh, emangnya enggak macet?”

“Apartemen saya dekat sini, jadi nggak terlalu bermacet-macetan terlalu lama di jalan.”

“Di mana?” Tanya Clara semakin penasaran.

“Di Distric 8.”

“Di Senopati ya? Yang Astha itu?”

“Iya. Kalau mau tanya-tanya lebih dalam tentang saya, masuk dulu. Setelahnya kamu boleh tanya sepuasnya.”

Clara memegang hendel pintu mobil, sebelum ia masuk ke dalam, ia memandang Been sekali lagi, “Tapi nggak apa-apa nih saya masuk dalam?”

Alis Ben terangkat, “Emangnya kenapa?”

“Takutnya saya diculik lagi sama bapak. Ngeri tau kalau sampe kejadian saya seperti itu.”

Ben menahan tawa, “Kalau saya culik kamu, apa keuntungan untuk saya?”

“Hemmm, mana saya tau, kan bapak yang culik.”

“Terlalu banyak nonton sinetron kamu. Masa tampang saya mau culik kamu?”

“Kan nggak ada yang tau pikiran orang. Ngomong dimulut sih nggak, kalau kenyataanya beda gimana?”

“Berhentilah berpikiran aneh-aneh Clara. Kamu hanya perlu duduk dan masuk saja. Saya tidak ada sedikitpun menculik kamu,” ucap Ben mulai menggeram.

Clara melihat ekspresi Ben yang tidak ingin dibantah, mau tidak mau ia masuk ke dalam. Clara melihat pria itu menutup pintu mobilnya. Beberapa detik kemudian Ben sudah berada di kemudi setir. Pria itu menghidupkan mesin mobil, ia pikir bahwa mobil Bianca lah yang paling mewah yang pernah ia duduki, ternyata mobil Ben jauh lebih mewah dari yang ia bayangkan sebelumnya.

Clara melihat Ben memasang sabuk pengaman, ia mengerutkan dahi ketika pria itu sudah mengunci pintu. Pria itu menatapnya.

“Pakai sabuk pengaman kamu,” ucap Ben memberi perintah.

“Loh, katanya cuma ngobrol di mobil kan? Kenapa mau jalan?”

“Ya ngobrolnya sambil jalan Clara.”

“Duh apalagi nih. Jangan aneh-aneh ya pak.”

Clara memasang sabuk pengaman dengan ogah-ogahan. Mobipun berjalan keluar dari parkiran. Dugaanya benar bahwa ia akan di bawa kabur oleh pak Ben. Bagaimana jika pak Ben tiba-tiba ingin memperkosanya di dalam mobil. Kemarin saja dia sudah lancang menciumnya di depan umum, apalagi berduaan seperti ini. Ia melihat mobil Ben bergerak keluar dari gedung.

“Bapak sengaja ya rencanain ini semua. Pura-pura ngajak Bianca makan malam, lalu Bianca ngajak saya,” ucap Clara membuka topik pembicaraan.

Ben menghela nafas melirik Clara yang berada di sampingnya, “Bisa nggak sih, kalau kamu tidak berpikiran negativ terhadap saya. Saya mau lurusin permasalahan kita, tidak lebih dari itu,” ucap Ben.

“Terus kenapa bapak bisa sampai ke restoran? Bersama Felix dan Bianca,” Tanya Clara penasaran, ia tidak akan berhenti bertanya jika belum menemukan jawaban yang jelas.

“Itu karena Felix mengajak saya makan malam, saya tidak tahu kalau kamu ada di sana juga. Pasti teman kamu itu yang punya rencana dan mempertemukan kita.”

“Kalau saya tahu bapak ada di café tadi, saya lebih baik tidur aja di apart. Ngapain juga kan ketemu bapak di sana,” timpal Clara.

“Ya tanya saja sama teman kamu saja, kenapa mempertemukan kita berdua di sana. Saya juga tidak tahu apa-apa.”

“Yaudah deh, balik ke apartemen aja, berhenti ke kiri di halte depan, biar saya jalan kaki aja, lagian belum jauh.”

Ben melirik Clara dengan mudahnya wanita itu menyuruhnya berhenti di tepi jalan. Ben justru menekan pedal gas mobil, mobil melaju membelah jalan semakin jauh meninggalkan area casablanka.

Clara yang melihat itu hanya terperangah, “Jadi mau bapak ini apa sebenarnya?” Tanya Clara karena ia merasa bahwa pak sudah lancang membawanya pergi.

“Saya mau kamu mau memaafkan saya atas kejadian kemarin.”

Clara menarik nafas, “Iya, iya udah di maafin kok, tenang aja.”

“Kamu maafin saya, seperti tidak ikhlas Clara.”

“Masih untung dimaafin,” dengus Clara.

Ben menatap Clara dengan intens, ia menyungging senyum, “Kamu belum makan?”

“Engga makasih atas sogokannya.”

Ben melihat manik mata Clara, “Saya mengajak kamu makan Clara, bukan sogok kamu.”

“Tadi di Toby’s Estate kita tidak sempat makan, karena adegan kabur-kaburan kamu.”

“Lihat bapak, rasanya mendadak kenyang tau.”

Ben menghela nafas, “Atau kita mau menyantap dessert terlebih dahulu, agar kamu berhenti berpikiran yang tidak-tidak terhadap saya.”

“HAH!” Clara tidak mengerti arah pembicaraan Ben.

“Dessert?” Clara bingung.

Ben tertawa, ia semakin melajutkan mobilnya membelah jalan, tangan kirinya menghidupkan audio mobil. Suara musikpun terdengar.

“Kamu malam ini nggak ke mana-mana kan?”

Otak Clara tiba-tiba berkelit, “Memangnya bapak mau bawa saya ke mana?”

“Saya mau pulang sebentar lihat Robert, kebetulan tadi saya cuma numpang mandi di apartemen, karena Felix mengajak saya dinner jadi tidak sempat pulang bertemu Robert.”

“Eh! Enggak, enggak! ngapain ketemu anak bapak. Robert anak bapak kan?”

“Iya anak saya. Saya harus ketemu malam ini, setelah itu kita selesaikan masalah kita,” ucap Ben melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 19.30 menit.

“Yang bener aja! Bapak ngajak saya bertemu, buat apa?”

“Sekalian kenalan, kamu kan karyawan saya.”

“Duh, bapak ada-ada aja deh. Enggak! Enggak!”

“Di coba saja dulu, cuma sebentar. Memastikan anak saya sudah dinner atau tidak.”

“Haduh, memangnya jauh ya rumah bapak?”

“Dekat kok, di Dharmawangsa.”

Clara tidak mengerti kenapa Ben mengajak ke rumahnya. Oh Tuhan, apa yang harus ia lakukan bertemu dengan Robert. Kenapa pria itu tiba-tiba mengajaknya ke sana? Ia melirik Ben berada di kemudi setir melajukan mobilnya membelah jalan.

“Terus kalau di rumah bapak, saya ngapain?”

“Ya tidak ngapa-ngapain. Cuma temani saya bertemu Robert lalu pulang. Sudah nanggung juga kan saya antar kamu ke apartemen, lagian ini di jalan.”

Clara melirik Ben yang kembali melajukan mobilnya. Ia dengar dari beberapa staff, bahwa pak Ben sangat menyayangi putranya. Robert merupak pewaris tunggal atas perusahaan yang dibangunnya, karena dia anak satu-satunya, yang katanya memiliki segudang bakat dan cerdas.

“Kamu masih marah dengan saya?” Tanya Ben membuka topik pembicaraan berbeda.

“Tidak. Lupakan saja,” timpal Clara, ia juga malas berdebat dengan pria itu.

“Good, jadi tidak harus diperjelas lagi kan.”

“Oke.”

“Oiya, apa kamu kalau marah suka kabur-kaburan seperti tadi?” Tanya Ben penasaran, karena sejujurnya baru kali ini direportkan oleh seorang wanita. Kalau marah ya marah saja, tidak ada adegan kabur-kaburan tidak jelas, seperti buronan.

Clara mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Ia memilih tidak menjawab karena sejujurnya baru kali ini ia seperti itu. Ben melirik Clara yang hanya diam. Ia tersenyum penuh arti, sebenarnya sangat menggemaskan sekali wanita di sampingnya ini.

“Saya dengar, kalau saya akan di mutasi ke pabrik. Itu beneran atau tidak?” Tanya Clara penasaran.

Alis Ben terangkat, “Alasannya apa, hingga saya mutasi kamu ke pabrik?”

“Jadi mutasi ke pabrik hanya issue?”

“Memangnya kamu tahu dari siapa?”

“Dari staff.”

Ben tertawa, “Kamu percaya staff kamu atau saya.”

“Hemmm.”

“Kalaupun saya niat mau mutasi kamu, paling tidak saya akan mutasi menjadi personal assiten saya, bukan ke pabrik.”

“HAH!”

Ben kembali tertawa, ia melirik Clara, “Kalau kamu mau sih.”

“Enggak, saya nggak mau!”

***

Beberapa menit kemudian akhirnya mobil tiba di depan rumah berpagar tinggi hingga bagian rumah dari luar tidak tampak. Sepertinya memang sengaja sang pemilik rumah tidak terlalu memperlihatkan apa yang ada dibalik tembok itu. Ia memandang security membuka pintu pagar.

Clara menatap rumah Ben, rumahnya memiliki halaman luas yang tertata rapi. Ada beberapa mobil yang berjejer di carport sebelah kiri. Ia yakin di rumah ini memiliki basemen yang dipenuhi koleksi mobil mahal milik Ben. Ia tidak bisa membayangkan berapa banyak uang yang di keluarkan oleh Ben untuk pajakk tahunan.

Clara masih mengobservasi, rumah Ben sangat modern bertingkat di dominasi warna putih dan abu-abu. Ada lampu taman di sudut halaman. Jantungnya seketika maraton hebat, ia ragu untuk melangkah masuk ke dalam rumah ini. Ia hanya takut, bagaimana jika pak Ben melakukan tindakan pelecehan seksual kepadanya di dalam.

Ia menatap Ben mematikan mesin mobilnya dan melepas sabuk pengaman. Pria itu membuka hendel pintu lalu keluar, sementara dirinya hanya bergeming di tempat. Ia melihat pintu sebelahnya terbuka, ia menoleh memandang Ben yang sudah berada di sampingnya. Dari tatapan itu, ia tahu bahwa Ben menyuruhnya keluar.

Clara keluar dari mobil, ia mengikuti langkah Ben menuju pintu utama. Ia merasakan tangan Ben menarik pergelangan tangannya. Bodohnya lagi ia tidak berontak dan manut-manut aja.

“Ini rumah kamu?” Tanya Clara, ia menatap pilar rumah Ben yang tinggi, plafonnya terlihat megah.

“Iya, rumah siapa lagi.”

“Apartemen di distric 8?”

“Itu apartemen saja dekat kantor. Kalau saya malas pulang atau lagi kerjaan banyak-banyaknya saya bisa ke sana.”

Clara melihat Ben membuka pintu utama. Pria itu mempersilahkan dirinya masuk ke dalam. Clara mengedarkan pandangannya, rumah Ben tertata sangat baik, memiliki jendela yang besar, warna karpet, horden dan sofa senada berwarna abu-abu. Lampu Kristal menambah kesan mewah di rumah ini. Rumahnya sangat luas. Ia melihat tidak ada foto Ben dan anaknya di ruang utama.

Ia meneruskan langkahnya, masuk ke dalam, di dalam terdapat ruang keluarga, sofa berukuran besar menghadap TV flat di sebelah itu ada kitchen bersih, meja makan dengan 12 kursi. Ia melihat ke samping terdapat kolam renang yang memanjakan mata. Rumah ini penerangannya sangat baik. Tangga yang melengkung di sampingnya ada grand piano berwarna putih. Ia penasaran dengan ruangan atas seperti apa, pasti tidak kalah mewahnya seperti di bawah. Rumah ini benar-benar sangat memanjakan mata.

Clara menatap seorang wanita baru turun dari tangga, “Pak Ben udah datang.”

“Robert mana bi?” Tanya Ben.

“Ada di atas pak. Barusan bibi panggil buat makan malam. Cuma Robert ogah-ogahan mau makan, udah tiga kali bibi panggil, cuma entar-entar aja jawabannya.”

“Yaudah, biar saya saja yang panggil,” ucap Ben.

“Kamu tunggu sini ya, saya panggil Robert dulu,” Ben melangkah meninggalkan Clara begitu saja.

Clara melihat bibi tersenyum ke arahnya, “Mari non, duduk dulu.”

“Iya,” ucap Clara, ia memilih duduk di sofa.

“Mau minum apa non?” Tanya bibi.

“Air mineral saja bi.”

“Baik non,” ucap bibi, lalu meninggalkan Clara.

Tidak lama kemudian Clara melihat bibi datang membawa air mineral digelas bertangkai tinggi itu beserta buah segar yang diiris. Bibi letakan piring dan gelas, di meja.

“Pacar pak Ben ya non?” Tanya bibi memandang wanita cantik yang dibawa majikannya.

“Bukan bi, cuma teman aja.”

“Ah, masa sih non. Jangan malu-malu sama bibi. Pasti pacarnya pak Ben ya.”

“Beneran bi bukan, cuma teman.”

“Yaudah kalau gitu, silahkan di minum non.”

“Terima kasih ya bi.”

***

Sementara di sisi lain Ben mengetuk pintu kamar Robert. Tidak lama kemudian pintu terbuka, ia menatap Robet, melihat ekspresi Robert. Di telinganya ada headset yang tersambung pada ponsel.

“Papi,” ucap Robert.

“Ayo turun, kita makan di bawah.”

“Nanggung ah, ini masih main. Dikit lagi,” ucap Robert.

“Robert, ayo makan ke bawah dulu.”

“Baru juga mau main, udah di suruh turun,” rengek Robert, ia melepaskan headset di telinganya.

Robert melihat tatapan sang ayah yang tidak mau dibantah, “Iya, iya,” ucap Robert, ia memasukan headset dan ponselnya ke dalam saku. Ia pun keluar dari kamar bersama sang ayah.

“Bagaimana sekolah kamu?” Tanya Ben.

“Baik pi.”

“Di tempat les bagaimana?” Tanya Ben, jadwal Robert senin hingga jumat memang lumayan padat, mulai dari les berenang, les piano, dan les vocal, hingga tidak ada waktu untuk bermain. Ia memberi waktu jadwal bermain dan keluar bersama teman-temannya pada hari Sabtu dan Minggu saja. Selebihnya diisi oleh belajar.

“Nice, seperti biasa pi.”

Robert dan Ben menuruni tangga. Robert mengerutkan dahi, ia memandang seorang wanita sedang duduk di sofa ruang keluarga. Ia menoleh kepada sang ayah.

“Siapa itu pi?” Tanya Robert penasaran.

“Karyawan papi di kantor, namanya tante Clara.”

“Bagiaman mana menurut kamu?” Tanya Ben.

“No comment, soalnya nggak kenal. Hanya karyawan papi aja kan?”

“Iya.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel