Chapter 2 - Keluar Dari Penjara
Angin bertiup kencang sore itu. Menjatuhkan daun-daun pohon beringin besar yang berdiri di pelataran lapas tahanan Jakarta Pusat.
Beberapa orang narapidana terlihat sedang menyapu halaman, lainnya sedang berjongkok membersihkan rumput liar dan selokan.
Hari demi hari Joshua lalui di di bawah pengamatan para petugas polisi. Sebagai narapidana kasus pembunuhan dia cukup disegani.
Tak ada narapidana lain yang mau dekat dengannya. Terlebih Joshua tak pernah banyak bicara atau bergaul dengan sesama Napi.
"Cepat bersihkan selokannya! Setelah itu ambil makan di kantin!" teriak seorang polisi sambil berkacak pinggang di belakang para narapidana yang sedang bekerja bakti di pelataran lapas.
Joshua yang sedang membersihkan selokan bersama Napi lainnya hanya terdiam seolah tak mendengar suara bariton petugas polisi tersebut.
Hingga saat semua Napi berdiri hendak berjalan menuju kantin, dirinya yang masih berada di tempat dihampiri oleh seorang pria.
"Heh, nama kamu Joshua, kan?" tanya pria berpakaian sama dengan para Napi lainnya itu pada Joshua.
Pria yang sedang berjongkok di tepi selokan sontak bangkit.
Namun, Joshua tak menjawab pertanyaannya. Pria berkulit putih itu malah pergi begitu saja melewati dengan wajah acuh.
"Heh!" gertak pria itu sambil menyambar lengan kiri Joshua.
"Berani sekali kamu bersikap acuh padaku! Apa kamu tidak tahu siapa aku, hah?!" Baritonnya saat mata Joshua menatap.
Joshua hanya terdiam dengan wajah bosan."Saya tak punya urusan dengan Anda, dan saya tidak tertarik berurusan dengan Anda," ucap Joshua dingin seraya menepis tangan pria itu darinya.
"Banyak omong kamu!" Merasa kesal, pria bernama Baron itu langsung mengangkat tinjunya ingin menghajar Joshua.
Namun ternyata tidak semudah yang dia bayangkan. Tubuhnya terpelanting saat Joshua menangkis serangannya lalu mendorong tubuh Baron dengan kasar.
"Sudah saya katakan, saya tak punya urusan dengan Anda. Jadi, jangan memaksa saya." Joshua segera melenggang pergi setelah berhasil melumpuhkan Baron.
"Brengsek!" Baron hanya bisa mendengkus kesal karena kalah kuat dari Joshua. Dengan wajah penuh emosi dan malu, dia segera bangkit.
Baron sangat benci pada Joshua yang menurutnya lebih disegani oleh para Napi di lapas.
Padahal, sebelum pria itu datang dirinyalah yang paling berkuasa dan disegani di tempat itu.
Baron pikir dia bisa menghajar Joshua habis-habisan di depan para Napi lainnya.
Niat hati ingin menunjukkan kekuatannya, tetapi hanya malu yang dirinya dapatkan. Ternyata Joshua bukan pria lemah yang mudah dilawan.
Begitulah hari-hari yang dijalani Joshua selama dirinya berada di lapas.
Pihak pengadilan menjatuhi hukuman sepuluh tahun padanya. Masa depannya sudah hancur, ibunya telah mati dan pacarnya sudah menikah dengan pria lain.
Semua nestapa itu dipikulnya seorang diri. Joshua tak memiliki harapan lagi.
Dia bahkan tak tahu apa yang harus dirinya lakukan setelah keluar dari penjara.
"Sodara Joshua Pahlevi, Anda di bebaskan hari ini."
Tak terasa waktu yang panjang itu telah berakhir. Masa tahanannya sudah selesai.
Kini Joshua bisa menghirup udara segar di luar lapas. Beberapa Napi melihatnya melintas menuju pintu gerbang kebebasan.
Baron menaikan sudut bibirnya. Sekarang dirinya kembali berkuasa di lapas setelah Joshua bebas.
***
Kemeja hitam dengan kancing terbuka dilapisi kaus putih membalut tubuh atletisnya.
Dipadukan celana jeans yang terkoyak di bagian lutut, Joshua melangkah menyusuri trotoar jalan. Tas ransel hitam tersampir di pundak, kemana dia harus kembali?
Terdengar suara bising klakson mobil-mobil mewah yang terjebak macet sore itu, Joshua melanjutkan langkah menuju gang kecil yang akan membawanya tiba di kampung kumuh di pinggiran kota.
Sepuluh tahun sudah berlalu. Gang kecil itu masih belum berubah.
Joshua mengulas senyum tipis saat melintasi pedagang batagor yang dulu biasa dibelinya sepulang kuliah. Kakek tua si penjual batagor membalas senyum tipis.
Setibanya di tempat yang dituju, Joshua dibuat tercengang. Terlihat sebuah pesta pernikahan di rumah ibunya.
Pernikahan siapa? Bahkan dirinya tak memiliki saudara perempuan. Meski merasa kebingungan dia tetap melangkah maju.
Semua orang di sana sangat terkejut melihat Joshua datang.
"Bukankah itu si Joshua? Rupanya dia sudah bebas dari penjara?"
"Masih punya muka dia pulang ke kampung kita?"
"Dasar pembunuh!"
Suara-suara orang di pesta itu membuat hati Joshua teriris.
Mereka takkan percaya jika bukan dirinya yang membunuh pria bernama Anton di Hotel Cemara sepuluh tahun yang lalu.
Lagi pula tak ada gunanya, toh namanya sudah rusak setelah masuk penjara.
"Hei, Joshua! Buat apa kamu muncul lagi di sini? Bahkan di rumah ini!"
Seorang pria paruh baya segera menghadang langkah Joshua. Beberapa orang pria lainnya turut maju.
Semua orang itu menatap sinis pada pria 30 tahun di hadapan mereka.
Joshua menatapnya dalam. "Paman, ini rumah ibu saya. Harusnya saya yang bertanya, mengapa kalian semua membuat pesta di rumah ini?"
Mendengar ucapan Joshua orang-orang itu saling pandang lalu tertawa geli.
"Rumah ibu kamu? Mungkin Kinanti belum sempat mengatakan yang sebenarnya pada kamu," balas seorang pria yang berdiri tepat di hadapan Joshua.
Dia adalah Gunawan, adik ayah Joshua.
"Mengatakan yang sebenarnya? Apa maksud Paman?" Joshua mengernyitkan dahi mendengar ucapan Gunawan.
Pria paruh baya berpakaian rapi itu tersenyum miring lantas berkata, "Kamu bukan anak kandung Kinanti dan Arman, kamu cuma anak yang mereka pungut di sungai 30 tahun yang lalu, Joshua!"
"Apa?"
Seakan disambar petir, Joshua sangat terkejut mendengar ucapan Gunawan tentang dirinya.
Jadi, ibu dan ayahnya bukan orang tua kandungnya? Lantas, siapa dirinya yang sebenarnya? Seketika Joshua merasa tak memiliki identitas lagi.
"Ya, Kinanti itu perempuan mandul! Dia tak bisa mengandung. Sekarang Armand dan Kinanti sudah mati, kamu tak punya hak apa pun atas rumah ini. Pergi sana!"
Joshua hanya terdiam dalam perasaan hancur. Hingga saat Gunawan mendorongnya untuk pergi, pria itu tak melawan.
Orang-orang di pesta menertawakannya. Joshua menangis dalam hati sambil melangkah meninggalkan rumah ibunya.
Bingung karena tak punya tempat tinggal lagi, Joshua akhirnya beristirahat di pinggir gang kecil yang berada di belakang sebuah mall.
Suara bising kendaraan di jalan tak mengganggu dirinya yang sedang merenungi nasib.
Mengapa kenyataan ini begitu menyakitkan?
Jika dirinya bukan anak orang tuanya lalu siapa dia yang sebenarnya?
Joshua menyembunyikan wajah di antara kedua tangan yang mendekap lutut. Punggung itu bergetar dalam tangis.
Sementara itu di gang yang sama, terlihat seorang wanita yang sedang berlari menuju Joshua.
Wanita itu berteriak meminta tolong. Di belakangnya terlihat tiga orang pria yang sedang mengejarnya.
"Tolong saya, Mas!"
Wanita berambut panjang dengan gaun selutut warna hitam itu menepuk-nepuk bahu Joshua. Dia ketakutan melihat tiga pria sangar yang mengejarnya mendekat.
Joshua mengangkat wajahnya. Matanya melihat tiga orang pria berpakaian serba hitam sedang menuju padanya dan si wanita.
Tiga orang pria itu tersenyum remeh sambil memainkan pisau lipat di tangan.
Joshua segera bangkit. Sementara wanita itu langsung berlindung ke belakang punggungnya.
Alih-alih menghadapi para preman itu, Joshua malah meraih tas ranselnya lalu melenggang pergi begitu saja dengan wajah acuh.
Wanita itu dibuat tercengang melihatnya.
Sampai saat tiga orang preman itu mendekat dan langsung menyeretnya, dia hanya bisa menjerit ketakutan. Langkah Joshua terhenti.
Dia menoleh ke arah wanita tersebut. Si wanita hampir menangis ketakutan sambil berusaha berontak.
"Ayo ikut kami, Nona Kayla!"
"Lepaskan saya, tolong!"
"Shit!"
Joshua segera melempar tas ranselnya ke arah dua bajingan yang sedang menyeret wanita muda itu. Mereka dibuat kaget.
Joshua tak memberinya kesempatan. Pukulan dan tendangan kuat langsung menghantam dua orang pria itu. Mereka jatuh terjerembam.
"Brengsek!"
Melihat dua temannya terkapar di tanah, pria bertubuh gempal yang sedang berjalan di depan segera maju sambil menodongkan pisaunya pada Joshua.
Pertarungan satu lawan satu pun berlangsung sengit.
Pukulan demi pukulan Joshua lancarkan ke wajah hingga perut pria itu.
Namun, satu kesempatan pria itu berhasil menyayat lengan Joshua dengan pisaunya.
Satu-satunya wanita yang berada di sana menjerit melihat Joshua terluka.
Tak lama dari itu, para polisi nerdatangan bersama para bodyguard.
"Nona Kayla, apakah Anda baik-baik saja? Maafkan atas kelalaian kami." Seorang bodyguard menghampiri wanita yang sedang berdiri di sana.
Dia memasang wajah penuh sesal karena gagal melindungi putri bosnya.
Rupanya wanita muda yang ditolong oleh Joshua itu bernama Kayla Pricila Danuarta. Tak hanya seorang model dan artis terkenal, dia juga putri tunggal seorang konglomerat kaya raya.
"Saya baik-baik saja," jawab Kayla datar. Pandangannya tak luput dari Joshua.
Dia sedikit terkejut melihat punggung Joshua menjauh dari mereka. Buru-buru wanita itu menyusulnya.
"Tunggu!" Kayla berhasil menghadang Joshua.
Pria itu menatapnya heran.
"Terima kasih sudah menolongku. Namaku Kayla, kamu siapa?" Wanita cantik itu menyodorkan tangan kanannya pada Joshua sambil tersenyum manis.
Jangankan menyambut tangan wanita itu, Joshua bahkan tidak menjawab. Dengan wajah bosan dia segera melanjutkan langkah melewati Kayla.
Wanita itu dibuat tercengang. "Tunggu! Hei!" Dia buru-buru menghadang pria yang sudah menolongnya itu.
Joshua terpaksa menghentikan langkah. Wajah datar dia tunjukan pada wanita yang menghadangnya.
Pandangan Kayla turun pada lengan Joshua yang tersayat pisau para preman tadi. "Tangan kamu terluka, bisakah kita ke rumah sakit sebentar?"
"Tidak perlu," jawab Joshua sinis, lantas kembali berjalan melewati Kayla.
Kali ini Kayla tidak mengejar Joshua lagi. Ia hanya berdiri di tempat, memandangi punggung pria itu menjauh.
Pria dingin yang teramat tampan. Baru kali ini dia bertemu dengan pria yang bahkan tak tertarik melihatnya. Benar-benar mengagumkan.