Bab 5 Alung
Bab 5 Alung
“Menurutmu, apa yang terjadi pada Aro?” tanya Mary sembari mengamati video CCTV rumah mereka satu per satu. Hanya CCTV di ruang tempat pesta ulang tahun digelar yang merekam kejadian tak terduga itu.
“Seperti yang kau katakan pada Luna, Aro sedang menjalani takdirnya.”
Mary terdiam. Menangkup kedua tangan menutupi hidung dan mulutnya, merasakan hawa hangat dari dalam tubuhnya. Fisiknya mulai tidak bisa berkompromi. Semalam dia demam—kondisi yang amat sangat jarang dialaminya.
Seumur hidupnya, dia wanita yang jarang sakit. Seberat apapun kondisi fisik yang dialaminya, naik turun gunung, keluar masuk hutan, begadang beberapa malam mengedit video—semua itu tidak ada yang bisa mengalahkannya. Tapi begitu mengetahui dengan jelas bahwa buah hatinya akhirnya menjelma menjadi makhluk mengerikan, dia pun kalah telak.
“Kita harus menemui Alung,” gumam Mary.
“Alung?” tanya Ansel sembari menangkupkan syal lebar ke bahu istrinya, lalu memegang keningnya. Agak hangat.
“Ya, dia dulu memperingatkan kita untuk tidak membawa Lunaro. Kurasa dia mengetahui sesuatu.”
Ansel terdiam. Keinginan terpendam untuk mempunyai anak, membuat mereka nekad membawa bayi Lunaro—17 tahun yang lalu, dari belantara Kalimantan. Dan tahun demi tahun yang mereka lalui bersama, semakin membuat mereka was-was.
Ada yang aneh pada Lunaro dan mereka berusaha menepis karena tidak mau kehilangan. Bahwa Lunaro baik-baik saja. Meski setiap menjelang purnama, mereka mengurung Lunaro di sebuah kamar berpintu baja. Karena Lunaro selalu mengeram dan menyerang apa saja. CCTV yang mereka pasang di seluruh penjuru rumah bukan tanpa alasan.
Mereka ingin melindung Lunaro, tapi tidak ingin membatasi hidupnya. Dia bebas keluar rumah, tapi selalu dalam pengawasan Ansel. Bila Ansel dan Mary harus pergi keluar kota untuk pengambilan gambar, mereka menyewa security gerbang depan untuk menginap di rumah mereka. Dan belakangan baru mereka ketahui, Simon—security itu, adalah ayah Luna.
“Bisakah kau berangkat menemui Alung, sayang? Aku tidak mungkin meninggalkan rumah ini kosong. Bagaimana kalau Aro pulang dalam kondisi normal dan tidak mendapati aku?”
Ansel masih diam.
“Mungkin setelah purnama lewat, besok?” “k Mary
“Apa yang harus kulakukan pada Alung.”
“Entahlah, mungkin memintanya membawamu ke tempat kita menemukan Lunaro. Mungkin ada sesuatu di sana. Atau meminta Alung membawa penunggu wilayah itu. Bukankah Alung pernah bilang, bahwa di situ tempat jin buang anak. Mungkin, Lunaro anak salah satu jin.”
“Jangan sampai kejadian ini membuatmu menjadi tidak logis, Mary. Kalau memang dia anak jin, pasti sudah sejak 17 tahun yang lalu dia dijemput bapak jin. Enak saja dia lepas tanggung jawab pada anaknya sendiri.”
Mary tersenyum pendek. Tentu saja yang mereka temukan 17 tahun lalu di hutan rimba kalimantan bukan anak jin. Lunaro utuh, berjasad dan tampan. Mary langsung jatuh hati padanya saat bayi itu terdiam dalam pelukannya—merasakah hangatnya kasih sayang Mary.
“Baiklah, aku akan berangkat besok. Kau mau memberi oleh-oleh apa untuk Alung?”
***
“Kareho tidak lagi seperti 17 tahun lalu. Mulai ramai penghuni, menjadi tempat wisata yang dipromosikan pemerintah. Beberapa turis berseliweran dengan kamera menggantung di lehernya. Padahal, dulu, untuk bisa sampai ke “ ini, Ansel harus menyusuri Sungai Kapuas dari Pontianak hingga ke Meliau.
Sekarang, dia bisa naik mobil, melewati jalan darat yang lumayan rata, meski di beberapa wilayah masih berupa jalan tanah yang berlumpur bila hujan turun.
Tidak sulit menemukan Alung. Rumahnya bersebelahan dengan kantor “. Dulu kantor “ itu hanya bangunan semi permanen dengan anyaman bambu. Kini, sudah berdinding bata dengan papan nama terpampang jelas.
Rumah Alung juga sudah tampak lebih modern. Semuanya berdinding batu bata. Ansel yakin, anak-anak Alung sudah tidak tinggal bersama Alung lagi. Sebagian besar anak muda, sudah banyak yang merantau ke kota saat mereka sudah berumur lima belas tahun, mencari penghidupan yang lebih menjanjikan.
Pemandu Ansel, mengetuk pintu dan mengucap sesuatu dalam bahasa Dayak. Terdengar jawaban dari dalam, dan sejurus kemudian, pemandu Ansel membuka pintu. Ansel mendapati seorang lelaki sebaya dirinya, duduk di kursi bambu. Memakai kaos lusuh dan kain sarung khas suku Dayak. Matanya terpejam rapat—tidak, matanya melesak ke dalam.
“Alung? Ya Tuhan, Alung?”
Ansel langsung mendekati lelaki yang dikenalinya sebagai Alung—pemandu setianya dulu selama bereksplorasi di Kalimantan. Ansel meraih tangan Alung, dan lelaki itu membalas dengan genggaman erat.
“Aku Ansel Brown, kau ingat padaku?”
Ansel mengamati wajah Alung. Lelaki itu telah kehilangan bola matanya, hingga kelopak matanya melesak ke dalam. Di wajahnya ada bekas-bekas luka bergaris tak beraturan. Ansel hampir menangis melihat kondisi Alung. Pemandunya meninggalkan mereka berdua.
“Tuan Ansel dan Nyonya Mary?”
Ansel mengangguk. Lalu kemudian disadarinya, Alung tidak mungkin melihat anggukannya. Ansel meremas tangan Alung.
“Mary tidak ikut, dia sedang tidak enak badan. Dia membawakanmu oleh-oleh. Sebuah badik panjang berukir indah.”
Alung tersenyum. Dia ingat, dulu pernah meminta Mary badik panjang—untuk menebas batang-batang pohon yang menghalangi jalan mereka saat memasuki hutan. Keinginan itu tidak pernah terkabul, hingga kini. Alung tersenyum merasakan badik itu kini ada di pangkuannya.
“Alung, aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Tentang Lunaro.”
“Lunaro? Apa itu?”
“Bukan apa itu. Tapi siapa itu. Dia anak kami, Alung.” Ansel memegang tangan Alung, berusaha mengingatkan Alung pada kejadian 17 tahun yang lalu.
Alung mengangguk. “Akhirnya kalian punya anak. Selamat ya.”
“Alung, bukan seperti itu. Kamu lupa pada Lunaro?”
Alung mengernyit kening. “Aku tidak mengenal Lunaro.”
“Lunaro itu bayi yang kita temukan di hutan, Alung. Kamu ingat? Bayi lelaki yang tangisannya kau kira angin?”
Hening sejenak. Sepertinya Alung berusaha menggali ingatan.
“Ah, bayi itu. Kalian jadi membawanya? Ke Inggris?”
“Ya, benar. Kami mengadopsinya, Alung. Aku dan Mary sangat mencintainya. Dia sangat tampan dan cepat larinya. Sekarang sudah tujuh belas tahun umurnya.”
Alung terdiam. Dia teringat pada larangannya yang tidak diindahkan oleh Ansel dan Mary. Mereka tetap membawa bayi itu.
“Alung, aku akan menceritakan sesuatu. Lunaro berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. Saat ulang tahunnya yang ke-17, dia menjadi ... manusia serigala.”
Alung sontak menarik tangannya yang sedang digenggam Ansel. Dan air muka 17 tahun lalu itu tergambar lagi di wajahnya. Raut keraguan dalam ketakutan.
“Seharusnya kalian tidak membawanya,” ucap Alung gusar, “tapi kalian tidak mau mendengarkanku.”
“Waktu itu dia bayi yang kedinginan di tangah hutan, Alung. Jika kamu jadi kami—yang lama tidak punya anak, apa yang akan kau lakukan?”
Alung menggeleng kuat-kuat. “Tuan Ansel, anda tahu apa yang terjadi setelah kalian pergi. Tepat tujuh hari setelah kalian mengambil bayi itu. Ada klan serigala masuk desa ini. Mereka tidak menyerang siapa pun. Tapi langsung ke sini, ke rumah ini.”
Ansel melihat tubuh Alung gemetar. Sekujur tubuhnya. Dan dia mengarahkan mukanya ke arah Ansel, meski dia tidak bisa melihat.
“Mereka menyerangku, hanya menyerangku dan membuatku seperti ini.”
Ansel tercekat. Jadi bekas garis-garis putih di wajah Alung adalah bekas cakaran. Serigala? Ini terdengar tidak masuk akal. Sejurus kemudian, Alung membuka bajunya. Dan Ansel semakin tercekat melihat lebih banyak lagi bekas cakaran di tubuh Alung. Seolah dia adalah sasaran kemarahan mahluk buas, tapi tetap dibiarkan bernyawa.