Bab 4 Searching
Bab 4 Searching
Sebuah taksi berhenti di depan rumah kediaman Ansel Brown, dan membunyikan klakson.
“Taksi jemputanmu?” tanya Mary pada Amber pada keponakannya yang sedang duduk di tepi sofa, memijiti ibunya.
“Sepertinya iya, tadi Mom bilang minta dijemput jam sepuluh,” ucap Amber sembari menyusut ingus.
Mary menoleh ke arah Luna. Gadis itu memang bukan gadis biasa. Dia sama sekali tidak terlihat ketakutan setelah melihat sosok yang melompat keluar jendela, sesaat setelah listrik menyala. Sedangkan Suzane pingsan seketika dan Amber terkejut karena melihat ibunya pingsan.
“Luna, bisa kau minta sopir taksinya menunggu sebentar?” pinta Mary.
Luna mengangguk, bergegas berlalu keluar dari ruang kerja Ansel Brown.
“Ke mana Aro?” tanya Amber masih dengan isak tangis, “seharusnya dia menemaniku, Bibi.
Bukankah kami lama tidak bertemu. Di pesta ulang tahunnya, justru dia menghilang.”
Mary terdiam. Jadi, Amber tidak menyadari apa yang tadi terjadi. Tentu saja karena Suzane keburu ambruk dan Amber dibuatnya sibuk. Dia khawatir, ibunya terkena serangan jantung kedua.
“Aro dan ayahnya mengejar ...”
“Makhluk mengerikan itu? Apa itu tadi Bibi? Mom ketakutan melihatnya hingga pingsan.”
“Itu hanya serigala yang sering mengendap ke perumahan sini. Kau tahu, kawasan ini sepi penghuni, dekat hutan pula. Bila lampu padam, kami sering kedatangan binatang buas. Kadang mereka masuk ke dalam rumah, mencari makanan.”
“Bibi seperti tidak takut sama sekali,” ucap Amber, menatap bibinya heran. Mary menahan napas, dan merapikan rambut Amber yang berantakan. “Itu sudah pekerjaan bibi dan paman dari dulu, sayang. Tiap hari kami masuk hutan dan merekam gambar mereka. Kadang kami mengira, bila mereka masuk rumah, mereka hanya ingin kami rekam. Tidak hanya manusia yang suka diviralkan, mereka juga.”
Amber tertawa kecil.
“Maaf bila pesta kecil ini menjadi kacau. Aku akan membungkus beberapa makanan untuk kalian bawa pulang. Terima kasih sudah mau hadir.”
“Sebaiknya kamu pindah dari sini, Mary,” ucap Suzane yang sudah siuman. Dia perlahan duduk di sofa. “Atau aku tidak akan lagi mau ke sini lagi. Untung saja bukan serangan jantung, tadi.”
Mary tersenyum. “Kami mendapatkan rumah ini gratis, Suzane. Seorang kerabat kerajaan memberi kami hadiah karena menyukai video dokumenter buatan kami. Kalau disuruh membeli, aku pun tidak mau. Perawatannya melelahkan. Kadang aku perlu seharian hanya untuk membersihkan debu.”
Tiiin!
Luna muncul setengah berlari. “Sopir taksinya sudah tidak sabar. Dia tidak ingin keluar dari kawasan ini lebih malam.”
Suzane berdiri diikuti Amber.
“Baiklah, aku pulang. Salam buat Aro. Kurasa dia akan seperti bapaknya, jadi pemburu di hutan,” ucap Suzane. Rupanya sejak tadi dia mendengarkan perbincangan Mary dan anaknya.
“Tidak. Dia akan menjadi pelari estafet kebanggan negeri ini. Dia lolos seleksi untuk London Marathon. Ah, harusnya aku umumkan kabar gembira ini saat makan kue tart. Tapi, maafkan aku.”
“Aku yang minta maaf,” ucap Suzane, “kalau saja aku tidak mencubit putri nakalku ini, karena dia akan menghadiahi ciuman pertama untuk Aro—pasti mejanya tidak akan patah.”
Amber tersipu dalam kemenangan. Diliriknya Luna, gadis itu diam saja di depan pintu.
***
“Luna, kami akan mengantarmu pulang,” ucap Ansel setelah Suzane dan anaknya pulang.
Luna menggeleng. “Di rumah tidak ada orang, Tuan. Ayah sedang berjaga di blok ujung, dan dia tidak ingin diganggu. Aku sudah ijin tidak pulang malam ini, Tuan. Lagipula, aku takut sendirian di rumah dalam kondisi seperti sekarang.”
Mary mengernyit. Dugaannya benar. Aro dan Luna pasti merencanakan sesuatu malam
ini—apalagi Luna sudah berpamitan untuk tidak pulang. Mary mendecih, dasar anak remaja. Untunglah naluri keibuannya sudah muncul sejak awal. Meski dia tahu, Aro tidak akan membantahnya—tapi bila mereka berdua mencuri-curi di belakangnya, itu akan membuatnya sangat marah.
“Kalau begitu, kamu akan kami antar pulang besok pagi. Semalaman ini kami akan mencari Aro ke hutan. Dan pesan kami, kamu harus merahasiakan ini dari siapapun,” ucap Mary.
Luna mendapat tatapan tajam dari Ansel dan Mary. Dia mengangguk cepat.
“Kamu janji?”
“Saya berjanji.”
“Baiklah. Malam ini kamu tidur di ruang kerja ini, karena di ruang ini ada CCTV. Jadi bila ada apa-apa, kami bisa segera tahu. Kami akan mengunci semua pintu, termasuk ruangan ini. Kamu, tidak boleh keluar sampai kami datang. Mengerti?”
“Mengerti, Tuan.”
Ansel dan Mary meninggalkan Luna dengan bergegas. Luna mengamati tingkah kedua orang tua Lunaro. Sepertinya, mereka sudah terbiasa dengan kondisi ini, mungkin karena profesinya. Sama sekali tidak panik. Mereka juga punya peralatan lengkap—semacam untuk berburu di tengah malam.
Luna menatap kepergian mereka dari balik kaca ruang kerja yang menghadap halaman belakang. Lampu senternya masih bisa tertangkap mata Luna sebelum mereka menghilang di hutan. Luna menatap bulan yang sudah tertutup awan. Malam kembali gelap di luar sana. Dia berharap, ayah dan ibu Aro berhasil menemukan anaknya.
Sudah tiga jam, Tuan Ansel dan istrinya masuk ke hutan dan belum kembali. Luna membuka tirai, menatap kegelapan hutan di luar kawasan pemukiman Mayfair. Dia mulai mengantuk. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidur di sofa.
***
Ansel menghela napas panjang, lelah. Mary melempar peralatannya ke sebuah kotak di pojok gudang.
“Sepertinya kita harus mencari cara lain. Aku yakin Aro masih di hutan, dia tidak akan pergi jauh,” ucap Mary sembari melepas sepatu bootnya yang berlumpur.
Ansel menatap meja eksperimen Lunaro. Mengambil sebuah perangkap dan mengangkatnya ke udara. “Anak ini sedang membuat apa?”
“Perangkap tikus. Dia dan Luna sepertinya akan mengikuti Science Fair di sekolah. Mereka berdua kompak. Sepertinya lebih dari kompak,” sahut Mary.
“Apa kita memasang perangkap saja untuk Aro?”
“Tidak, aku tidak setuju. Itu akan melukainya. Aku tidak mau melukainya,” ucap Mary sembari menaiki tangga, keluar dari gudang bawah tanah.
“Perangkap yang tidak melukai, apa ada?” tanya Ansel.
Mereka berjalan menuju ruang kerja. Sinar lampu berpendar dari bawah pintu. Mary membuka kunci pintu dan mengangguk pada Ansel. Luna aman di dalam ruang kerja mereka. Gadis itu sedang terlelap, menggelung badan di sofa.
“Feromon. Kurasa itu perangkap tanpa melukai,” ucap Mary sembari memindai wajah cantik Luna.
Ansel mendekati Mary. “Tidak, dia anak orang, Mary. Bukan anak kita. Kita sudah sepakat untuk tidak melukai siapapun. Setelah kejadian ini, kita harus bersusah payah meyakinkan Suzane dan Amber bahwa apa yang mereka lihat benar-benar hewan buas.”
Mary menghela napas panjang. “Aro belum makan apapun sejak sore. Dia pasti kelaparan malam ini. Aku harap, tidak akan terjadi hal buruk di luar sana. Aku akan meletakkan beberapa daging di luar rumah.”
Baru saja Mary hendak melangkah ke luar ruangan, Luna tiba-tiba terbangun.
“Hai, Luna. Kamu sudah bangun?” tanya Mary, mengurungkan niat. Dia duduk di sebelah Luna dan merapikan rambut gadis itu. Luna menjadi tidak enak pada Mary.
“Sebentar lagi matahari terbit, kami akan mengantarmu pulang,” ucap Ansel yang berdiri di belakang sofa.
“Apakah Aro sudah ketemu?” tanya Luna hati-hati, sembari menatap Ansel dan Mary bergantian.
Mary menggeleng. “Dia akan pulang kalau lapar.”
Luna menelan ludah. “Apa yang terjadi pada Aro? Dia bisa berubah menjadi hewan liar? Apakah kalian sedang melakukan ekperimen padanya?”
Mary tersenyum, kembali merapikan anak rambut Luna di pelipisnya. “Mana mungkin kami melakukan hal itu, Luna. Aro hanya seorang pemuda baik-baik yang sedang menjalani takdirnya. Dan kami hanya orang tua yang berusaha menempatkan dia dalam kondisi aman. Kami tidak ingin ada orang lain tahu, yang akan memanfaatkan dirinya dan membuatnya celaka. Kamu paham maksud kami?”
Luna mengangguk. “Aku akan merahasiakan ini, Nyonya.”