Bab 12 Keacuhan Seorang Bert
Bab 12 Keacuhan Seorang Bert
Hari ini mungkin menjadi hari sial untuk Marini, ntah kesialannya atau kecerobohannya, mungkin saja dua-duanya. Ia melakukan kesalahan fatal, menghilangkan file, itu bukan masalah yang kecil. Marini masih mencoba untuk mencari file tersebut, ia berharap bisa menemukannya. Mengotak-ngatik komputernya, mencari dari satu file ke satu file lagi. Sayangnya, Marini tetap tidak menemukan file penting itu.
Marini sudah mencoba untuk berbicara kepada Bert, tapi Bert tidak mau mendengar penjelasan Marini sama sekali. Bahkan Bert sangat mengacuhkan Marini, yang membuat Marini lebih terkejut adalah Bert mencampakkan dirinya. Seperti ada tapi tidak dianggap, begitulah.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Marini yang menatap komputer yang ada dihadapannya.
Rasa takut menyelimuti dirinya, ia tidak tahu ke depannya akan bagaimana. Mencoba memperbaiki pun tidak akan bisa, karena file sudah hilang. Marini sudah menyerah mencari file itu, bagaimana pun tidak akan bisa kembali.
Marini semakin tak karuan karena ponselnya terus berbunyi, sedari tadi selalu berbunyi hingga memecah konsentrasinya. Sesekali ia melihat siapa yang menelpon, ternyata kekasihnya, Erwin. Puluhan kali Erwin menelpon, tapi tidak ada satu pun yang Marini angkat.
Marini tetap mengacuhkan Erwin, walau Erwin sudah menelponnya dan mengirim pesan untuk mengangkat telpon sebentar. Marini seperti tidak peduli dengan Erwin saat ini, yang terutama adalah KK dengan file yang tiba-tiba hilang.
Jam istirahat tiba, dengan begitu para pegawai berbondong-bondong menuju kantin untuk mengisi perutnya. Bert berjalan melewati meja Marini, tanpa menengok sama sekali. Tatapannya tajam ke depan, tidak melirik ke kanan ataupun ke kiri.
Marini semakin gusar, bahkan setelah kembali dari makan siang pun Bert masih sama seperti tadi. Ingin rasanya Marini menegur dan memohon maaf lagi, walau ia yakin mendapatkan balasan seperti sebelumnya, yaitu diusir. Mencoba untuk fokus menyelesaikan apa yang ada di depannya, untungnya Tere mau sedikit membantu.
Setelah cukup lama mengetik akhirnya selesai, Marini akan ke ruangan Bert untuk meminta tanda tangan. Tangannya sedikit basah, jantungnya berdetak lebih kencang. Ia berharap tidak terkena semprot oleh Bert, ia harap kerjaannya kali ini baik dan benar. Marini mengetuk pintu, Bert bersuara dengan suara baritonnya.
"Permisi Pak, ini berkas yang harus Bapak lihat dan tanda tangani."
Tanpa menjawab dan melihat Marini, Bert mengambil berkas itu dan membaca sebentar. Lalu menandatanganinya dan memberikannya kepada Marini, dengan note tanpa pembicaraan sedikitpun. Marini yang sadar akan situasi, langsung pamit undur diri semakin tak karuan dirinya.
"Karena teledor semuanya seperti ini, huft yang bisa kulakukan adalah berpasrah saja."
Marini menelungkupkan kepalanya di atas meja, tak lama ponselnya kembali berdering. Di sana masih tertera Erwin yang memanggil, sungguh Marini tidak ingin mengangkatnya. Sampai akhirnya seharian ini Marini mengacuhkan Erwin, tidak menjawab satu pun telpon dari Erwin. Sama seperti dirinya yang diacuhkan oleh Bert, tanpa ada percakapan sedikit pun.
Hari ini Marini bekerja dengan rasa yang tidak karuan, tidak tenang tentunya sampai waktu pulang tiba. Marini bersiap untuk pulang dengan keadaan lesu, berjalan kearah lift sambil menunduk. Ia tau bahwa Erwin sudah menunggunya di bawah, karena tadi berpesan untuk di jemput.
Dari lobby Marini sudah melihat mobil Erwin yang terparkir di depan, tanpa ragu ia menghampiri dan masuk ke dalam mobil Erwin. Di dalamnya ada Erwin yang mencoba tersenyum kearah Marini, sayangnya tidak ada balasan dari Marini.
Merasa ada yang aneh dari kekasihnya ini, saat ditelpon tidak menjawab sama sekali dan sekarang terlihat sangat lesu tidak memiliki semangat.
"Kamu kenapa? Saat kutelpon tidak ada jawaban sama sekali."
Marini masih diam dan menunduk, mungkin Erwin bisa menjadi tempatnya untuk bercerita.
"Maaf, hari ini aku sangat sibuk," kata Marini dengan suara lemah.
"Sesibuk apa pun kamu, biasanya selalu memberi kabar kepadaku. Ada apa?" tanya Erwin sambil mengusap rambut belakang Marini.
"Huft," Marini menghela nafas sebentar.
"Aku menghilangkan salah satu file penting perusahaan, itu membuat bosku sangat marah besar kepadaku. Entah bagaimana bisa hilang, aku tidak mengerti kenapa aku bisa seceroboh ini."
Marini menatap Erwin dengan mata berkaca-kaca, ia seperti orang bodoh menghilangkan file sepenting itu.
"Apa kamu tidak mengingat?" tanya Erwin yang sedikit heran dengan Marini, pasalnya, Marini bukanlah orang yang teledor. Apalagi tentang file seperti ini.
"Tidak, aku sudah mencarinya, bahkan sudah beberapa kali. Tapi tidak ada filenya," ujar Marini yang semakin menunduk.
"Dan seharian tadi, Bert tidak sama sekali mengajakku bicara. Bahkan saat aku ngasih berkas pun, dia tidak berbicara sama sekali. Sangat acuh kepadaku," lanjut Marini.
"Sama seperti kamu mengacuhkanku?" tanya Erwin.
Seketika Marini mengangkat kepalanya dan menatap Erwin, benar! Itu benar. Seharian ini Marini sangat acuh kepada Erwin, itu semua karena moodnya yang tidak baik. Marini menghembuskan nafasnya, ia tau salah.
"I'm sorry, Erwin."
"Tak apa, sudah ku bilang bukan? Lebih baik kamu keluar dari sana. Kamu akan menjadi istri ku Marini, maka tak perlu kamu bekerja lagi."
Marini menatap Erwin sambil mengerutkan dahinya, ia tidak habis pikir dengan Erwin yang selalu memaksanya keluar dari kantor Bert.
"Kenapa kamu selalu menyuruhku keluar dari sana? Kau tahu aku sudah lama bekerja di sana. Aku tidak mungkin keluar begitu saja," Marini sedikit emosi.
"Kenapa? Aku adalah seorang CEO sama seperti Bert. Bahkan bisa lebih darinya, aku rasa kamu tidak perlu bekerja lagi. Cukup di rumah dan layani aku," Erwin terus memaksa Marini untuk keluar dari kantornya.
Mobil yang dikendarai oleh Erwin tetap berjalan mulus, walau perdebatan di dalamnya. Mereka masih melanjutkan perdebatan itu.
"Erwin please, kamu tau alasannya. Puluhan kali kita bahas bukan? Tapi kamu tetap saja tidak mengerti aku, sudah kujelaskan kamu tidak mau menerimanya."
"Aku hanya ingin kamu keluar dari kantor itu, apa itu salah?"
"Salah! Aku tidak akan keluar," Marini tetap mempertahankan pendapat dan keputusannya.
"Haha setidak mau itu kamu keluar dari sana? Ada apa sebenarnya?"
Erwin terkekeh miris, ia tidak paham dengan keputusan Marini yang sangat enggan untuk keluar dari sana.
"Sebelumnya sudah aku jelaskan dan kamu tidak akan mungkin lupa."
Mereka terus saja memperdebatkan masalah ini.
"Aku hanya ingin kamu keluar, aku bilang keluar. Maka keluarlah!" kata Erwin sedikit berteriak.
Marini menatap Erwin, menyipitkan matanya lalu menggelengkan kepalanya. Ia lelah karena masalah di kantor, sekarang? Erwin malah menambahkannya semakin pusing. Ia kira Erwin bisa mengurangi masalah dengan cara berbagi, ternyata ia sangat salah.
"Berhenti disini Erwin," ujar Marini.
"Kenapa?"
"Berhenti!"
Erwin meminggirkan mobilnya ketepi, Marini turun membawa tasnya. Membanting pintu dan berjalan menjauh dari mobil Erwin, ia muak dengan pembahasan ini. Sudah sering kali ia jelaskan kepada Erwin, tapi Erwin seakan tidak mau mengerti.
"Selalu seperti itu, bisa-bisa aku meninggalkan dia!" kata Marini sambil terus berjalan.