Ringkasan
Ara seorang gadis tomboy yang cantik. Rambut sebahu lumayan tinggi Ia berkenalan dengan cogan yang juga idola. Ara yg rada cuek, agak cemburu juga. Cogan yg ia pacari selalu dekat dengan cewek cantik Lebih dari belasan cewek deket dengan Cogan miliknya. Sampai suatu saat cogan miliknya jatuh cinta. Iapun berselingkuh dari Ara.
Janji di Bawah Pohon Mangga
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau, ada sebuah pohon mangga tua yang menjadi saksi bisu kisah cinta Indra dan Sari. Pohon itu berdiri di tepi sungai, tempat anak-anak bermain dan para petani beristirahat. Namun, bagi Indra dan Sari, pohon itu adalah tempat mereka berbagi mimpi.
Indra, seorang pemuda sederhana dengan senyum yang selalu tulus, telah mengenal Sari sejak kecil. Sari, dengan matanya yang cerah dan suara lembutnya, selalu menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Mereka tumbuh bersama, bermain di bawah pohon mangga, dan seiring waktu, perasaan mereka pun berubah.
Suatu sore, saat matahari hampir tenggelam, Indra memetik mangga masak dari pohon itu dan memberikannya pada Sari.
"Sari, suatu hari nanti, aku ingin hidupku seperti mangga ini. Manis, penuh rasa, dan memberi kebahagiaan. Dan aku ingin kau selalu ada di dalamnya," kata Indra dengan gugup.
Sari tersenyum, pipinya merona. "Indra, jika itu janji, aku akan menunggunya."
Waktu berlalu, dan kehidupan memisahkan mereka. Indra pergi ke kota untuk bekerja, meninggalkan desanya dan janji di bawah pohon mangga. Setiap kali ia merasa lelah, ia mengingat senyum Sari dan rasa manis mangga yang ia petik untuknya.
Di desa, Sari setia menunggu. Setiap sore, ia duduk di bawah pohon mangga, berharap melihat Indra kembali. Pohon itu menjadi pengingat janji mereka, meski kadang ia merasa ragu apakah Indra akan benar-benar kembali.
Lima tahun kemudian, pada suatu senja yang cerah, Sari mendengar suara langkah mendekat. Ia menoleh, dan di sana, di bawah pohon mangga yang sama, berdiri Indra. Wajahnya lebih matang, tapi senyumnya masih sama.
"Sari, aku kembali. Dan aku membawa janji yang pernah kuucapkan," katanya sambil menunjukkan sekeranjang mangga yang ia petik dari kebunnya sendiri.
Sari tertawa, air matanya mengalir. "Aku menunggu, Indra. Dan aku tahu kau akan menepatinya."
Mereka pun duduk di bawah pohon mangga itu, berbagi cerita dan mangga yang manis. Pohon tua itu, dengan daun-daunnya yang berbisik, seolah menyanyikan lagu tentang cinta dan janji yang akhirnya ditepati.
Lain Sari lain Ara ... keduanya suatu saat akan menjadi musuh abadi
Ara dan Alex: Cinta di Antara Hujan
Di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh perbukitan hijau dan sungai yang mengalir tenang, hiduplah seorang perempuan bernama Ara. Ara adalah seorang ilustrator berbakat yang suka menghabiskan waktunya di sebuah kafe kecil bernama "Senja" sambil menggambar sketsa-sketsa indah. Kafe itu selalu dipenuhi aroma kopi dan suara gemericik hujan, tempat sempurna untuk inspirasi.
Suatu sore di bulan November, hujan turun dengan deras. Ara sedang duduk di sudut favoritnya, menggambar pohon besar dengan ayunan di bawahnya. Suasana hening hingga pintu kafe terbuka dan seorang pria tinggi masuk, mengibas-ngibaskan jaket kulitnya yang basah. Dia adalah Alex, seorang fotografer yang baru saja pindah ke kota itu untuk mencari suasana baru. Dengan senyum kecil, Alex memesan secangkir kopi lalu mencari tempat duduk.
Namun, kafe itu penuh. Ara, yang memperhatikan dari sudut matanya, melihat Alex kebingungan. "Kamu bisa duduk di sini," ujar Ara, sambil menunjuk kursi di depannya. Alex tersenyum lega dan menerima tawaran itu.
Percakapan mereka dimulai dengan canggung, tetapi segera mengalir seperti air sungai. Mereka berbicara tentang seni, perjalanan, dan mimpi.
Alex menunjukkan beberapa fotonya, sementara Ara memperlihatkan sketsa yang sedang ia kerjakan. Ternyata, mereka memiliki kesamaan dalam melihat dunia: keduanya memandang keindahan dalam hal-hal sederhana.
Hujan semakin deras, dan waktu berlalu tanpa terasa. Ketika kafe hampir tutup, Alex memberanikan diri berkata, "Bagaimana kalau kita pergi melihat tempat yang indah untuk inspirasi? Saya tahu satu bukit yang sempurna untuk melihat matahari terbit."
Ara ragu sejenak, tapi ada sesuatu dalam cara Alex berbicara yang membuatnya percaya. "Baiklah," jawabnya akhirnya.
Keesokan paginya, mereka bertemu di sebuah jalan kecil di kaki bukit. Dengan membawa peralatan masing-masing—kamera Alex dan buku sketsa Ara—mereka mendaki bersama.
Sepanjang perjalanan, Alex menceritakan kisah-kisah perjalanannya, sementara Ara sesekali berhenti untuk menggambar pemandangan.
Ketika mereka sampai di puncak, matahari mulai muncul perlahan. Cahaya keemasan menyinari wajah mereka, membuat segala sesuatu terlihat magis. Ara duduk di atas batu besar dan mulai menggambar. Sementara itu, Alex memotret Ara dalam diam, menangkap momen itu dalam bingkai kameranya.
"Aku rasa aku menemukan sesuatu yang lebih indah dari pemandangan ini," kata Alex tiba-tiba. Ara berhenti menggambar dan menatapnya. "Apa itu?" tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
"Kamu," jawab Alex dengan senyum lembut.
Waktu seakan berhenti. Ara tidak tahu harus berkata apa, tetapi hatinya berdebar kencang. Itu adalah momen yang sederhana namun berarti, seperti mereka berdua.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kebersamaan. Mereka menjelajahi kota, berbagi cerita, dan saling mendukung dalam karya masing-masing. Ara menjadi inspirasi dalam foto-foto Alex, sementara Alex sering muncul dalam sketsa Ara. Hubungan mereka tumbuh, bukan dengan kata-kata besar, tetapi dengan kehadiran yang tulus.
Namun, kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Suatu hari, Alex mendapat tawaran besar untuk bekerja sebagai fotografer di luar negeri. Itu adalah kesempatan yang tidak bisa ia tolak, tetapi itu juga berarti harus meninggalkan Ara.
Mereka berbicara panjang lebar di kafe tempat mereka pertama kali bertemu. Dengan mata berkaca-kaca, Ara berkata, "Aku ingin kamu mengejar mimpimu, Alex. Tapi jangan lupa pulang."
Alex pergi, membawa sketsa Ara sebagai pengingat akan cinta mereka. Selama berbulan-bulan, mereka menjaga hubungan dengan surat dan panggilan video. Meskipun jarak memisahkan, cinta mereka tetap kuat.
Setahun kemudian, di malam yang basah oleh hujan seperti hari pertama mereka bertemu,
Alex kembali ke kafe "Senja." Kali ini, dia membawa sebuah cincin. Ara yang sedang sibuk menggambar, terkejut melihatnya berdiri di depan pintu. Alex berlutut di depannya dan berkata, "Ara, kamu adalah rumahku. Maukah kamu menghabiskan sisa hidupmu bersamaku?"
Dengan air mata bahagia, Ara mengangguk.
Hujan di luar menjadi saksi, seperti saat mereka pertama kali bertemu. Cinta mereka, seperti hujan, tidak pernah berhenti mengalir.
Ara dan Alex sudah menjalin hubungan selama tiga tahun. Bagi Ara, Alex adalah segalanya—tempatnya berbagi tawa, mimpi, dan rencana masa depan. Namun, belakangan, Alex mulai berubah. Ia lebih sering sibuk, sulit dihubungi, dan kerap memberi alasan untuk menghindari pertemuan.
Ara mencoba berpikir positif, namun hatinya tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang salah.
Suatu malam, Ara sedang bersantai di kafe favoritnya ketika tanpa sengaja ia melihat Alex duduk di sudut ruangan bersama seorang wanita bernama Sari, rekan kerjanya. Mereka terlihat terlalu akrab—tertawa, bergandengan tangan, bahkan saling berbisik.
Ara tidak langsung menghampiri mereka. Ia pulang dengan hati yang hancur, tapi ia tahu bahwa ia harus mencari kebenaran.
Keesokan harinya, Ara menghadapi Alex. Dengan suara gemetar, ia berkata, "Siapa Sari? Apa yang kau lakukan dengannya tadi malam?"
Alex terdiam sejenak, lalu mengakui segalanya. "Aku tidak ingin kau tahu seperti ini, Ara, tapi aku... aku jatuh cinta pada Sari. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya."
Hati Ara seperti ditusuk. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. "Jadi, selama ini aku hanya cadangan bagimu? Semua rencana kita, apa artinya untukmu?"
Alex mencoba membela diri, tapi Ara memotongnya. "Jika kau sudah memilih Sari, maka tidak ada lagi yang perlu dibicarakan."
Hari-hari setelah perpisahan itu berat bagi Ara. Ia merasa hampa dan dikhianati. Namun, di tengah kesedihannya, ia menemukan kekuatan untuk bangkit. Ia mulai fokus pada dirinya sendiri—melanjutkan hobinya, bekerja keras, dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
Sementara itu, Alex menyadari bahwa hubungannya dengan Sari tidak seindah yang ia bayangkan. Ia mulai merindukan Ara—perhatian kecilnya, dukungannya, dan cintanya yang tulus.
Suatu hari, Alex muncul di depan pintu Ara dengan wajah penuh penyesalan. "Ara, aku salah. Aku tidak pernah seharusnya meninggalkanmu. Bisakah kita memulai lagi?"
Ara menatap Alex dengan tenang. Hatinya sudah tidak bergetar seperti dulu. "Aku sudah memaafkanmu, Alex, tapi aku tidak bisa kembali. Aku telah menemukan diriku sendiri, dan itu jauh lebih berharga daripada hubungan yang penuh dengan pengkhianatan."
Alex pergi dengan hati berat, sementara Ara melanjutkan hidupnya dengan penuh keyakinan.