Bab 2
"Pasien Edi mengalami mati rasa pada sebagian tubuhnya. Merasakan luka bakar dan trauma kulit. Maka itu, saya langsung mengoperasi pasien mengingat kesadarannya pun nyaris menghilang." Papar dr. Rina sambil memperlihatkan foto pasien sebelum dioperasi.
Anya menyipitkan matanya dan bertanya. "Apa penyebab penyakit neuropati pada pasien Edi dr. Rina? Apa necrotizing vasculitis? Bukankah seharusnya anda bisa memberinya terapi?"
Dr. Rina mengangguk. "Anda benar dok. Penyebabnya necrotizing vasculitis. Saya terlalu panik sehingga memutuskan untuk mengoperasi pasien."
Semua yang berada disana seketika hening. Dr. Lukas menghela napas dan menyela. "Jika ada pasien denga penyakit autoimun seperti ini, seharusnya anda mengkonsultasikan pada saya atau dokter senior lainnya dr. Rina."
Dr. Rina mengangguk. "Maafkan saya, dok."
"Jadi, bagaimana keadaan pasien sekarang?" Kali ini suara Dirga yang dingin membuat semua dokter terdiam. Mereka takut jika anak pemilik rumah sakit ini akan memecat dokter sesuka hati.
Dr. Rina kenalan salivanya susah payah. Wajahnya mendadak pucat dan bergumam, "Sekarang pasien kejang-kejang, dok."
Sesaat para dokter menahan napas, kecuali dokter senior yang sudah mengerti bagaimana sifat seorang Dirga. Tidak menerima kesalahan sedikitpun.
"Urus pasien itu sampai dia kembali normal atau lisensi kamu saya tarik kembali."
Dr. Lukas mengusap wajahnya kasar. "Saya akan membantunya, dok." Ujarnya pada Dirga.
Dirga hanya mengangguk tipis sebelum suara dr. Denis terdengar. "Baiklah. Ada satu pengumuman yang ingin saya beritahukan." dr. Denis menatap sekelilingnya dan bergumam. "Mulai hari ini dr. Dirga Pradimus akan bekerja di rumah sakit kita. Selamat datang dr. Dirga."
Tepuk tangan terdengar meriah mengingat banyaknya dokter yang hadir. Dirga bangkit kemudian menyapa para dokter disana sebelum dia kembali duduk.
"Dr. Dirga akan masuk dalam kelompok dr. Alara sebagai ketua team menggantikan dr. Kevin yang sedang mengambil studynya."
Seketika Anya terdiam. Ini musibah untuknya. Tangannya terangkat tanpa dirinya sadari. Membuat seluruh pandangan menatapnya.
"Ada apa dr. Alara?"
Menelan salivanya gugup dan bergumam. "Dok, saya masih bisa menghandle team saya tanpa perlu tambahan dokter baru."
"Kamu menolak saya?" Suara itu membuat Anya langsung menatap Dirga tergugu. Dirga sendiri memilih menatap Anya dengan pandangan datar. "Saya akan tetap berada di team kamu. Kalau kamu tidak suka, kamu saja yang keluar dari team!" Setelahnya Dirga langsung keluar meninggalkan ruangan tersebut.
***
Setelah pertemuan sebelumnya, Anya langsung kembali ke ruangannya. Ia mengusap wajahnya kasar. Jantungnya berdenyut nyeri saat Dirga mengatakan kata-kata kasar. Jelas pria itu tidak lagi menginginkan Anya disisinya.
Anya melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Wajahnya kembali sumringah saat mengingat Putri satu-satunya. Anya mengambil hand bag dan kembali mengganti sandalnya dengan sepatu sebelum ia keluar dari ruangan.
Tepat di loby, Anya bersisian dengan Dirga yang sepertinya dijemput oleh sang Kakak. Shela masih belum menatapnya dan Anya sendiri tidak berniat menghampiri mereka karena itu hanya akan menyakiti hatinya.
Ia terus berjalan hampir melewati mereka dengan cepat. Namun, Shela sadar akan kehadirannya dan memilih memanggil sang adik.
"Nya, kamu kerja disini?"
Anya tersenyum kaku dan mengangguk. "Iya, Kak. Maaf, aku buru-buru."
"Lho? Makan malam bareng yuk? Mama sudah masak sekalian Kakak ajak Dirga. Yuk?"
Anya menggeleng. "Maaf kak, lain kali ya? Hari ini aku nggak bisa."
"Tapi-"
"Sayang, kalau adik kamu nggak mau jangan kamu paksa." Ucapan Dirga menohok hati Anya.
Shela sendiri menatap kecewa sang adik. "Janji ya lain kali kamu datang?"
Anya tersenyum miris. "Iya, Kak. Aku janji." Setelahnya ia langsung beranjak pergi. Air matanya kembali mengalir. Sesulit itukah melupakan sosok yang dicintainya?
Anya menyesal karena sudah memilih meninggalkan Dirga. Tapi, ia bersyukur karena pria itu bisa mendapatkan kebahagiaannya kembali. Mendapatkan sosok baik hati seperti Kakaknya. Anya hanya bisa berharap bahwa sang Kakak tidak menyakiti pria yang dicintainya lagi.
Anya melepaskan jas dan meletakkannya di kursi samping kemudi. Ia mulai menghidupkan mobilnya dan menjalankan dengan kecepatan rata-rata. Seketika ponselnya bergetar menandakan video call dari sang anak. Anya tersenyum lalu menempelkan ponsel di tempat yang memang sudah ia sediakan ketika anaknya menelepon melalui video call.
Wajah Bi Narti nampak pertama kali setelah Anya mengangkatnya tanpa kehilangan fokus mengemudi. "Non, Sasa mau ngomong."
Anya mengangguk lalu wajah imut anaknya tampak penuh di kamera. "Hay sayang..."
"Mama..." Sasa teriak riang saat melihat wajah Mamanya. "Mama kapan pulang?"
Anya tersenyum manis, sesekali memperhatikan jalan. "Mama lagi di jalan pulang, sayang. Kamu mau titip apa?"
Sasa menggeleng kuat. "Mama cepet pulang..."
"Iya sayang. Ini mama pulang. Kamu tunggu di luar rumah ya?"
Wajah Sasa tersenyum lebar. Ia mengangguk antusias. "Iya, Ma..."
"Bye sayang..."
"Bye, Ma..." Seketika video call langsung terputus. Anya menghentikan mobilnya di Mcd dan memesan junk food kesukaan Sasa. Tidak sering memang Anya membelikan junk food karena ia terlalu mengorganisir makanan sang anak.
Bahkan, Anya selalu menyiapkan buah-buahan untuk di jus atau dimakan begitu saja oleh anaknya. Membiasakan anaknya makan buah-buahan, sayuran, dan yang lainnya yang dapat memperbanyak vitamin. Bahkan, Anya mengurangi kadar minyak dalam makanan Anya.
Setelah pesanannya selesai, Anya kembali ke mobil lalu melajukan mobilnya dengan santai hingga sampai ke rumah. Ia melihat Sasa berlari menghampirinya. Anya langsung keluar dan mengulurkan bungkusan Mcd miliknya. "Ini Mama bawa kesukaan kamu."
Sasa memeluk Mamanya erat. "Makasih Mama..."
"Sama-sama, Sayang. Yuk, kita masuk..."
Sasa menggandeng lengan Ibunya lalu membawa sang Ibu masuk ke dalam rumah. "Bi Narti mana?"
"Lagi masak di belakang." Sasa langsung membuka bungkusan dan hendak mencomotnya namun, delikan Anya menghentikan tangannya.
"Aturan pertama?" Tanya Anya sambil menunjukkan angka satu.
Sasa mencebikkan bibirnya. "Cuci tangan."
"Good! Sekarang Sasa cuci tangan biar Mama siapin makanan kamu."
Sasa segera berlari ke wastafel, mencuci tangannya dengan sabun lalu kembali ke pantry. Ia hendak mengambil ayam tepung namun, Anya kembali menunjukkan angka dua dengan jarinya.
"Aturan nomor dua?"
"Baca do'a sebelum makan?" tanyanya cadel lebih kepada dirinya sendiri karena lupa.
Anya mengangguk. "Do'a dulu, sayang."
Sasa mengangkat kedua tangannya. "Ya Allah, terimakasih atas rejekiMu hari ini, amin." Suara cadelnya terdengar imut.
Anya tersenyum lalu mengulurkan piring yang berisi junkfood tersebut, membiarkan Sasa melahapnya. Ia tersenyum melihat betapa antusiasnya Sasa melahap makanan kesukaannya.
"Ma, kenapa sih makanan enak itu dilarang?" Tanya Sasa tiba-tiba setelah setengah makanannya habis.
"Karena nggak Bagus untuk kamu." Balas Anya kemudian meletakkan handbag di atas pantry. "Makanan enak itu cuma sesaat, tapi sakitnya bikin menyiksa. Kamu mau sakit?"
Sasa menggeleng. "Sasa nggak suka sakit. Sasa benci demam." Dia mencebikkan bibirnya tidak suka.
"Nah, makanya Sasa sering makan sayur ya?"
"Tapi sayur nggak enak, Ma..."
Anya memilih duduk di hadapan putrinya. Ia mengelap tangan putrinya dengan tisu basah. "Tapi sayur banyak vitamin dan protein sayang. Itu bikin badan kamu kuat dan sehat."
"Iya?"
Anya mengangguk. "Iya, Sayang."
"Kalau gitu Sasa sering makan sayur sekarang."
"Bagus, itu baru anak Mama." Anya menepuk kepala putrinya.
"Sasa anak Mama..." Sasa kembali berujar antusias.