Bab 1
"Dirga, ku mohon..."
Hujan kian mengguyur deras, membuat tubuh Anya dan Dirga basah kuyup.
Dirga mengusap wajah basahnya kasar. Memegang kedua bahu Anya erat. "Nya, aku nggak bisa lepasin kamu."
"Kamu bisa, Dirga!" Anya menatap Dirga lurus. "Kamu harus bisa, demi keluarga kamu!"
"Nggak, Nya! Aku akan bilang orang tua aku kalau kita udah nikah."
"Nggak!" Pekik Anya cepat. "Kamu nggak bisa lakuin itu! Ingat Dirga, kita hanya nikah siri! Kita bisa cerai."
Dirga seketika terdiam. Menatap Anya tidak percaya. "Segitu mudahnya kamu minta cerai dari aku, Nya?" Gumamnya pahit. "Cuma segitu rasa cinta kamu selama ini, hah?" Tatapannya menajam. Meremas erat kedua bahu Anya. "Lima tahun ini, apa nggak ada artinya aku buat kamu? Apa kamu nggak bisa mikir keadaan anak kita yang tumbuh dalam perut kamu? Nggak, Nya. Sampai kapanpun aku nggak akan menceraikanmu."
Anya menggeleng kuat-kuat. "Nggak, Dirga! Kamu nggak boleh kayak gitu." Anya terpaksa berteriak mengingat derasnya hujan menghalau suara keduanya. "Aku.... Aku sudah menggugurkan janin itu." Napas Anya seketika tertahan. Akhirnya... Akhirnya ia bisa mengungkapkan apa yang mungkin bisa membuat Dirga membenci dirinya.
"Apa?" Dirga membelalak tidak percaya. Wajahnya kaku. "Ulang sekali lagi?" Ia menggoyangkan kedua bahu Anya dengan kuat. "Kamu bohong kan?"
Anya terdiam. Air matanya terus mengalir ikut turun bersama sang hujan.
"Ulang sekali lagi!!!" Teriaknya keras sebelum badannya limbung ke tanah. Meremas rambutnya kasar. "Astaga... Apa kamu nggak berpikir sebelum membunuhnya, hah?!" Dirga menjambak rambutnya kuat-kuat dan berteriak. "Aaarrrrrgghhh!!!!" Untuk pertama kalinya seorang Dirga menangis. Membuat hati Anya merasa tersayat. "Selamat, Nya. Selamat karena kamu berhasil menjadi seorang pembunuh."
Jantung Anya mencelos mendengar ucapan tersebut. Seolah hatinya tersambar petir hingga mati tak terasa. Sakitnya menusuk tulang. Air matanya menetes tanpa diminta.
"Kamu pembunuh..." Gumam Dirga pelan. Menelungkupkan wajahnya di kedua lutut yang tertekuk. Membiarkan hujan membasahi mereka. "Kau pembunuh, Alara!" Serunya kemudian bangkit. Berdiri tepat di depan Anya. Menatap kosong wajah Anya dan kembali bergumam menyakitkan. "Aku mengira bahwa aku masih bisa mempertahankan hubungan kita. Aku bahkan rela nikah siri dan kabur dari keluargaku hanya karena memilihmu." Napas Dirga tercekat. "Tapi... Kamu tidak lebih dari seorang pembunuh. Kenapa kamu tidak membunuhku saja, hah?!" Teriaknya sambil menunjuk Anya kecewa.
"Dirga..."
"Hentikan! Aku jijik mendengar namaku disebut pembunuh olehmu." Ujarnya kejam. "Kamu menginginkan ini, kan? Baik. Aku akan meninggalkanmu! Hatiku telah mati, Anya. Mati karena kamu sudah membunuhnya." Gumam Dirga sebelum beranjak meninggalkan Anya yang terpekur sendiri dalam kegelapan dan kedinginan malam.
"Mama..."
Suara Sasa membuyarkan semua lamunan Anya 4 tahun lalu. Ia menghapus air matanya kemudian menggiring Sasa agar duduk di pangkuannya. Mengelus kepala Sasa dengan sayang yang bersandar di dadanya.
"Mama selalu mencintaimu, Sayang." Anya mengecup puncak kepala putrinya dengan sayang. Air matanya kembali mengalir. "Jangan tinggalkan Mama ya sayang?"
"Mama, Sasa minum susu..."
Anya tersenyum. Mengambil botol susu yang sudah di sediakannya lalu mengarahkan dotnya ke mulut Sasa. Gadis kecil itu meringkuk nyaman di pelukan sang Ibu dengan mata terpejam. Beberapa menit keduanya terdiam hingga dot tersebut jatuh ke pangkuan Anya membuat wanita itu sadar bahwa Sasa tertidur.
Anya tersenyum dan mulai mengalunkan lagu untuk putrinya, sambil mengelus rambut ikal nan pirang milik Sasa.
I'm building a memory with you
I will be a guiding light for you
Mark my words
I'll keep my promises to you
I'm building these memories with you
I will be a safety net for you
Mark my words
I'll keep my promises to you
Mark my words
I'll keep my promises to you
On and on life goes on
Day by time goes by
On and on moving on
Day by day time goes by
Mark my words
I'll keep my promises to you
***
"Bi, nanti Sasa kasih susunya siang aja ya. Terus makanannya kasih sayur, jangan dibiarin makan ayam apaagi udang, dia alergi. Kalau dia minta tolak saja, terus juga kalau Sasa sudah bangun entar langsung mandiin saja ya, Bi. Saya pulang secepat mungkin." Anya bergumam sambil merapikan rambutnya. Mengambil handbag dan memasang sepatu heels.
Bi Narti terkekeh melihat sang majikan yang kelimpungan. "Saya mengerti, Non."
Anya meringis pelan. "Maaf, Bi. Kebiasaan soalnya. Padahal Bibi kan lebih pengalaman dari saya."
"Namanya juga seorang Ibu, Non. Saya juga gitu dulu waktu anak-anak saya masih kecil. Kenapa Non nggak cari suami baru aja?"
Anya terkekeh pelan sambil merapikan penampilannya sekali lagi. "Do'akan supaya dapat yang terbaik. Milih suami nggak semudah milih terasi soalnya. Udah, Bi.. Saya pergi dulu, assalammualaikum."
Sang Bibi tergelak sebelum menjawab. "Waalaikumsalam, Non."
Anya masuk ke dalam mobil sedan city miliknya dan mengendarainya menuju rumah sakit dimana Anya bekerja sebagai seorang dokter umum yang hendak mengambil bagian spesialis saraf.
Sampai di rumah sakit, Anya mengganti sepatu heelsnya dengan sandal jepit biasa. Memudahkan dirinya bekerja. Wajahnya terus memamerkan senyum ramah pada siapapun yang menyapa.
"Dr. Alara?"
Anya yang sedang memeriksa berkas pasien menengadah. "Ya?"
"Ini berkas pasien yang anda minta." Gumam dokter junior bernama Sandra yang baru setahun bekerja.
"Terimakasih, Sandra."
Sandra mengangguk, memperhatikan Anya yang sedang menata berkas yang baru saja ia berikan.
"Masih ada lagi, Sandra?" Anya bertanya saat melihat dokter junior itu tidak beranjak sama sekali.
"Eh?" Sandra meringis pelan sebelum bergumam. "Iya dok, pesan dr. Lukas kita akan mengadakan rapat sebentar lagi."
"Rapat?"
Sandra mengangguk. "Iya dok. Katanya anak pemilik rumah sakit yang bekerja di pusat mau berkunjung. Sekalian memantau kita."
"Seluruh departemen?"
Sandra menggeleng. "Tidak dok. Departemen saraf saja."
"Kenapa begitu?" Anya kembali bertanya bingung.
Sandra tampak tergugu. "Saya juga kurang tau, dok. Mungkin karena anak pemilik rumah sakit dari departemen saraf."
Menghela napas pelan sebelum mengangguk. "Ya sudah. Nanti saya datang. Jam berapa?"
"Jam 10, dok."
"Terimakasih, Sandra. Kamu boleh keluar."
"Baik, dok. Saya permisi."
***
Anya melangkah gontai menuju ruangan rapat yang dikatakan Sandra bersama dengan dr. Lukas. Pria keturunan luar itu membahas tentang operasi yang dilakukan Anya beberapa hari lalu.
"Rapat ini tidak hanya tentang mutasi Pak Dirga, dr. Alara. Tapi, rapat ini tentang operasi yang dilakukan oleh dr. Rina tentang pasiennya yang mengalami neuropati perifer."
Anya mengernyit. "Bukankah neuropati perifer bisa diobati tanpa operasi?"
Dr. Lukas mengangguk. Pria yang umurnya diatas 30 tahun itu menaikkan kacamatanya yang melorot. "Anda benar. Tapi, dr. Rina memilih operasi dan mengakibatkan pasien kejang-kejang. Saya takut hal ini berakibat pada dampak rumah sakit jika pihak keluarga pasien melaporkannya pada pihak berwajib. Ini akan jadi mal praktik."
"Kenapa dr. Rina tidak mengkonsultasikan pada anda? Bukankah anda seniornya?"
Dr. Lukas menghela napas. "Dia merasa bertanggung jawab dan panik saat melihat pasien itu teriak dan merasa nyeri terbakar serta mengeluh seolah ada yang menusuk tubuhnya dengan tajam. Maka itu, dr. Rina memilih langsung mengambil operasi. Tindakannya membuat pasien sudah kejang beberapa kali sejak 5 jam lalu. Ayo, kita masuk." Sapa pria itu kemudian membuka pintu tempat mereka biasanya meeting.
Disana sosok yang baru saja ia temui minggu lalu sedang duduk santai sambil berbicara kepada beberapa dokter lainnya. Jantung Anya berdetak cepat. Ia tidak tahu jika Dirga yang dimaksud adalah Dirga mantannya atau masih suaminya. Entahlah, semenjak perpisahan 4 tahun yang lalu. Tak ada kejelasan dari hubungan antara Dirga dan Anya. Mereka langsung menghindari satu sama lain seperti sekarang ini.
Anya langsung memilih tempat duduk bertingkat paling belakang, jauh dari jangkauan Dirga. Ia tidak mau jantungnya terus berulah saat tahu Dirga menatapnya benci.
"Baiklah, sekarang semua sudah berkumpul. Dr. Rina, anda bisa mulai menjelaskan." Usul dr. Denis kemudian membiarkan Rina menjelaskan secara rinci tentang pasiennya.