Bab.2. Mengendus Aroma Perawan
Sesuai rencana tadi malam, Reynold menemani Joshua untuk mencari hewan ternak untuk dibantai dan diambil darahnya. Mereka membeli seekor domba betina hidup lalu menyelundupkannya ke dalam apartement dengan sebuah karung.
Jasmine Park apartment melarang penghuni apartment itu membawa hewan peliharaan yang menimbulkan bunyi berisik.
"Mbeeeekkkk ... mbeeekkkk ...," rintih domba betina dalam karung itu.
Dia mungkin tahu sebentar lagi nasibnya akan berakhir dengan tragis!
"Sstttt!" Joshua berdesis menenangkan domba betina itu seraya menepuk-nepuk karung.
Reynold hanya cengar-cengir menatap Joshua yang memanggul karung berisi domba betina itu.
TING. Suara lift ketika mereka sampai di lantai 8. Mereka berdua segera berjalan keluar dari lift menuju ke unit 8002.
"Saatnya kita membantai domba, Josh!" gurau Reynold ketika mereka masuk ke unit apartment itu.
Joshua meletakkan karung berisi domba betina itu ke atas meja wastafel dapur. Dia menyiapkan botol-botol wine bekas milik daddy James.
Ayah baptisnya itu kadang minum red wine bila sedang lelah bekerja. Kini dia akan mengisi botol bekas red wine itu dengan darah domba yang akan dia simpan di kulkas nanti.
Setelah semua persiapan lengkap, Joshua pun menggorok bagian leher di vena jugularis domba betina itu dengan sekali sobek menggunakan pisau bedah miliknya.
Darah berwarna merah mengalir deras keluar dari vena jugularis domba betina itu dan langsung ditampung dengan corong yang masuk ke botol kaca bekas red wine.
Reynold pun tertawa seraya memegangi botol kaca itu. "Josh, kau harus memberi botol ini label. Aku kuatir Bang James akan meminumnya karena dia tak tahu isinya."
Joshua pun tertawa berderai. "Daddy pasti akan langsung muntah bila meminumnya."
"Kau tidak ingin mencoba dulu rasanya?" tanya Reynold penasaran.
Dengan ragu-ragu Joshua menjilat darah domba betina itu. Dia meresapi seperti apa rasanya dan membandingkan dengan darah ayahnya semalam.
"Kurasa tidak terlalu buruk, hanya saja darah manusia lebih enak dan segar, Pa," komentar Joshua dengan jujur sambil menjilati darah domba di tangannya.
Pemandangan Joshua menjilati darah domba di tangannya itu membuat Reynold sedikit banyak merasa seram dan bergidik. Namun, dia harus terbiasa karena Joshua adalah putera tunggalnya.
"Josh, mungkin kau bisa menghubungi saudara kembarmu, Jacob. Dia dokter forensik, tentunya dia bisa mendapatkan kantong darah di rumah sakit dengan statusnya," saran Reynold.
"Papa benar! Aku akan mengunjunginya nanti sepulang kerja. Kita harus berangkat sebentar lagi ke kampus, Pa," balas Joshua ketika melihat jam tangannya menunjukkan pukul 08.00.
Tak lama kemudian mereka selesai menampung darah domba betina itu ke dalam botol kaca. Setelah itu Joshua melakukan trimming kulit bulu domba betina itu dengan cepat. Dia adalah profesor patologi anatomi, bedah bangkai atau nekropsi istilah medisnya adalah hal sepele baginya.
Mommy-nya pasti bisa memasak daging domba betina itu dengan sangat enak. Maka, Joshua memotong-motong tubuh domba itu dengan ukuran agak kecil lalu mengemasnya dalam plastik bening sebelum memasukkannya ke dalam freezer.
Dia membuang kepala dan keempat teracak kaki domba itu ke karung yang tadi dia pakai untuk membawa domba betina tadi dari pasar hewan. Nanti dia akan melemparnya ke sumur bangkai di kampus.
Sinar matahari pagi mulai menyilaukan mata biru Joshua. Dia pun mencari kacamata hitam di kamarnya lalu memakainya. Sepertinya dia harus memesan kaca mata baca dengan kaca yang gelap untuk dia bekerja di kampus nanti.
Dia juga memakai jaket tebal untuk melindungi kulitnya dari sinar matahari. Joshua masih merasa aneh dengan perubahan di tubuhnya.
Gigi taring itu hanya bertambah panjang ketika hari mulai petang dan seolah menyusut di pagi hari. Rasa kantuk pun mulai terasa di pagi hari. Namun, dia harus berangkat ke kampus untuk bekerja.
Sesampainya di kampus Joshua langsung menuju ke ruang kantornya di Lab. PA. Sinar matahari memang terasa menyengat di kulitnya, tapi tidak membakar kulitnya seperti yang biasa dia tonton di film-film vampire.
Mungkin nanti dia bisa mencari informasi lebih banyak di internet tentang jenis-jenis vampire.
Asisten laboratoriumnya, Florentia Hani, dia biasa memanggilnya Hani atau Flo berganti-ganti sesuai moodnya, gadis itu masuk ke ruang kantornya.
Florentia Hani memiliki tubuh ramping agak pendek, tinggi badannya hanya 160 cm. Rambutnya lurus hitam panjang, dengan bola mata hitam yang tajam, hidungnya mancung, bibirnya agak tebal berwarna merah muda. Wajahnya tipe oriental yang bermata sipit dengan tulang wajah yang runcing. Kulitnya kuning langsat.
"Profesor Joshua, Anda terlambat datang. Kita punya jadwal yang padat hari ini," omel Flo dengan cerewet sambil berkacak pinggang.
Joshua sudah terbiasa dengan sifat Flo-Hani. Dia menyimpan kacamata hitamnya di saku kemejanya. "Apa jadwal kita hari ini, Flo ... Honey?" goda Joshua memanggil nama Hani dengan nada meliuk seperti madu dalam bahasa Inggris.
"Lebih baik Anda mengangkat bokong Anda secepatnya ke lab. Setengah jam lagi praktikum Patologi Anatomi gelombang pertama akan dimulai, kita punya jadwal praktikum 3 gelombang hari ini," jawab Flo pedas.
Pria itu pun mengangkat alisnya dan juga bokongnya seperti yang diperintahkan asistennya yang bawel itu. "Oke, kita ke lab sekarang, Honey," tukas Joshua dengan cepat seraya berjalan mendorong tubuh Flo ke arah lab.
Aroma tubuh Flo tercium berbeda dari biasanya, Joshua mengendus aroma yang menguar dari leher Flo. Itu membuatnya lapar. Sedap, manis, harum, dan membiusnya, membuatnya limbung. Apakah ini yang dinamakan aroma perawan? Sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Dia tergoda untuk menyusurkan bibirnya di leher Flo yang nampak lembut menggoda.
'Aahh sial, ini pasti efek jiwa laknat vampire-nya yang tak terkendali!' batin Joshua.