Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9

Pagi kemarin Ophelia disibukan dengan kedatangan Aexio pagi-pagi di apartemennya. Pria itu menghubunginya, menanyakan tentang sarapan lalu meminta membuka pintu karena ada di depan pintu apartemennya.

Dan pagi ini Ophelia tak lagi berada di kediamannya. Ia sudah ada di kediaman Aexio dengan gaun pengantin yang ia coba beberapa minggu lalu.

"Ehm, Naya, bisa kau panggilkan Aexio?" Ophelia berbicara ragu pada pelayan yang membantunya mempersiapkan diri.

Naya menganggukan kepalanya, "Baik, Nona. "

Ophelia mendadak diserang keraguan. Sebelum pilihan ini membuat penyesalan, ia harus menghentikannya. Ia tak ingin menjadi beban bagi orang lain. Bohong jika ia tak merasa rendah diri. Nyatanya, ia merasa tak pantas berada di lingkungan keluarga Schieneder. Kehidupan orang kaya tak sesuai dengannya. Ia takut akan mempermalukan keluarga itu. Ia resah jika akhirnya ia akan membuat Aexio menyesali pilihannya.

Berbagai pikiran berkecamuk di benaknya hingga ia tak menyadari bahwa Aexio tengah mengamati wajahnya yang resah.

"Apa yang kau khawatirkan?" Aexio mendekat, membuyarkan lamunan Ophelia yang sudah melanglang buana.

Ophelia menatap Aexio, jantungnya kembali berdebar. Wajah itu sangat tampan. Begitu dewasa dan berwibawa. Jika orang tak tahu siapa Aexio sebenarnya maka tak akan asa orang yang bisa menyangka bawa Aexio bukanlah keturunan Schieneder.

Keterpanaan Ophelia ia selesaikan segera. Saat ini bukan saatnya mengangumi ketampanan Aexio.

"Ini kesempatan terakhir untuk membatalkan pernikahan ini." Ophelia bicara tanpa ragu.

Aexio diam sejenak, berpikir bahwa sebelumnya Ophelia pasti sudah memikirkan ini.

"Aku tidak ingin membatalkannya." Dan jawaban itu tak akan berubah.

"Kau berpikiran sempit, Aexio. Kita bisa menjadi orangtua tanpa harus menikah. Kita bisa berteman dengan baik. Anak kita tak akan kekurangan kasih sayang karena kita menyayanginya."

"Aku tak pernah mengambil keputusan tanpa aku pikirkan matang-matang, Ophelia. Kita menikah, itu keputusanku."

"Kita tidak saling cinta." Ralat, aku sudah mulai jatuh cinta tapi kau hanya menjalankan tanggung jawabmu. "Bagaimana jika suatu hari nanti kau menemukan wanita yang kau cintai? Dengar, jangan hanya karena tanggung jawab kau menciptakan dilema untukmu sendiri."

Aexio risih ketika cinta sudah dibawa-bawa, "Kau mengkhawatirkan sesuatu yang tak akan terjadi, Ophelia."

"Aexio, pernikahan bagiku bukan main-main. Daripada harus kita hentikan di tengah jalan, lebih baik kita tidak memulainya." Ophelia masih kuat beradu argumen. Ia mulai jatuh cinta pada Aexio tapi ia berpikir rasional, jika suatu hari nanti Aexio jatuh cinta pada wanita lain maka satu-satunya yang akan terluka adalah dirinya. Ophelia tak mau menanggung luka lagi. Ia lelah berteman dengan luka. Meski kebal, tetap saja luka adalah luka, menyakitkan.

"Aku tak pernah ingin mempermainkan pernikahan. Tak akan ada yang berhenti ditengah jalan. Kita bisa belajar untuk saling mencintai, Ophelia."

Ophelia ingin membuka mulutnya lagi, namun ketika melihat kesungguhan dari mata Aexio, mulutnya terbungkam. Tak akan ada yang bisa menggoyahkan kesungguhan hati Aexio. Ia telah membuang waktunya dengan berdebat dengan Aexio.

Aexio maju dua langkah, memangkas jarak yang ada di antara ia dan Ophelia.

"Kita jalani apa yang ada di depan kita dengan baik. Aku hanya butuh kesetiaanmu, Ophelia. Keluarga yang kita bangun akan sama seperti keluarga lainnya. Aku berjanji akan menjadi suami dan Daddy yang baik untuk anak kita."

Lagi-lagi Ophelia terpana akan Aexio. Tak ada satu hal pun dari pria ini yang tak menggetarkan hatinya.

Kesetiaan darimu yang aku khawatirkan, Aexio. Aku tak akan bisa menjagamu dari wanita-wanita diluaran sana kecuali dirimu sendiri. Ophelia yakin bahwa kedepannya ia akan menemukan apa yang namanya cemburu. Aexio adalah pria sempurna, wanita waras akan jadi gila karenanya. Wanita berkelas akan jadi murahan untuk bersamanya.

Karena Ophelia hanya diam, Aexio akhirnya memeluk Ophelia. Pelukan pertama mereka dalam 2 bulan. Pelukan tulus dari Aexio untuk calon istrinya yang keras kepala.

"Aku tak pernah memintamu dengan benar, kan?" Suara Aexio terdengar lembut. Ia melepaskan pelukannya dari tubuh Ophelia, menggenggam kedua tangannya, menatap dalam mata wanita itu dengan hangat, "Atherra Ophelia, maukah kau menikah denganku?"

Ophelia kehilangan kata-kata. Ia diam beberapa saat sebelum bibirnya yang biasa menuruti apa yang ada di otaknya kini berkhianat dan mengatakan 'ya' sesuai dengan apa yang hatinya inginkan.

Aexio tersenyum lega. Kali ini ia meminta tanpa paksaan dan Ophelia mengiyakannya.

Tanpa Ophelia sangka, Aexio mengecup keningnya. Menyalurkan rasa hangat sampai ke ujung kakinya. Rasa yang tak pernah Ophelia rasakan sebelumnya.

"Terimakasih, Ophelia." Kata Aexio dengan tulus.

Di luar sana, di depan pintu ruangan itu ada Cia yang melihat adegan manis Aexio dan Ophelia. Hatinya terbakar, dadanya mendidih. Ia ingin sekali mengacak-acak wajah Ophelia yang sudah merebut Aexio darinya. Tidak akan Aleycia biarkan, ia tak akan pernah membiarkan Ophelia bahagia di atas sakit yang ia rasakan.

Waktu berjalan, Ophelia sudah bersanding bersama Aexio di pelaminan dengan status resmi sebagai suami-istri.

Pernikahan itu bertema putih, semua dekorasi di dominasi dengan warna putih yang artinya kesucian. Begitu juga dengan buket bunga yang Ophelia pegang. Bunga yang tumbuh di dataran tinggi, bunga indah yang bernama Lily Of the Valley. Tidak hanya indah, bunga itu juga memiliki makna yang menunjukan hal yang dapat dipercaya, cinta dan harapan, serta kerendahan hati. Makna yang sangat sesuai untuk pernikahan Ophelia dan Aexio.

Meski tertutup dan katanya sederhana, pernikahan itu tetap dikategorikan sebagai pernikahan yang mewah dan elegant. Kath nampaknya mencurahkan semua perhatiannya pada pernikahan Aexio. Dekorasi yang begitu detail hingga pemilihan menu makanan yang berkelas.

"Kau lelah?" Aexio sedikit mengkhawatirkan Ophelia. Wanita yang sudah resmi jadi istrinya itu tak boleh terlalu lelah.

"Tidak."

"Jika kau lelah beritahu aku."

"Ya."

Aexio mengembalikan padangannya ke depan. Melihat ke tamu undangan yang tengah menikmati pesta.

"Aku tak melihat Mrs. Roses. Apa mungkin dia tidak datang?" Aexio ternyata tengah mencari seseorang.

"Dia datang. Aku melihatnya tadi." Ophelia telah bertemu tatap dengan ibunya sebelum ia ke pelaminan.

"Kemana dia sekarang?"

Ophelia tak tahu, ia tak menjawab.

"Ah itu dia. Dia datang bersama Mr. D'Mille." Aexio berhasil menemukan sosok awet muda Anne Roses bersama dengan pengusaha kaya raya yang belum menikah di usianya yang sudah 35 tahun. "Ibu angkatmu memiliki pesona luar biasa. Sangat sulit mendekati Mr. D'Mille tapi dia berhasil. Tak heran jika Anne Roses dikatakan sebagai penakluk hati laku-laki."

"Kau menggosip?" Ophelia bertanya tanpa minat.

Aexio tertawa kecil, "Entahlah, mungkin ya. Tapi, aku salah mengajak orang untuk menggosip. Kau anaknya."

Ophelia tak membalas. Ia hanya melihat ibunya yang menebarkan senyuman menawan. Wanita itu nampaknya belum mau menyelesaikan pencariannya akan sosok pria.

"Aexio, apakah itu orangtua Cia?" Akhirnya Ophelia menanyakan tentang sesuatu diluar dirinya dan Aexio.

"Hm."

"Mr. Holland dan Mrs. Holland. Dia putra kedua pemilik Holland Group." Aexio menjelaskan sedikit namun jelas untuk Ophelia. Jelas bahwa keluarga Cia adalah keluarga yang cukup terpandang.

Dentingan piano dan suara biola terdengar. Beberapa orang berdansa namun Aexio dan Ophelia tetap memilih untuk duduk. Aexio tak ingin Ophelia terlalu lelah sementara Ophelia, dia tak tahu caranya berdansa. Jadi, duduk adalah pilihan terbaik.

Di antara para tamu ada pandangan tak biasa antara Mr. Holland dan Anne. Pandangan yang tak sengaja bertemu, pandangan yang membuat keduanya mematung.

Masalalu berputar di benak Anne, membuat wanita itu dihantam sakit hingga akhirnya ia memilih memalingkan wajahnya. Bersikap seolah ia tak mengenal Mr. Holland sama sekali. Sementara Mr. Holland, pria itu masih menatap Anne, ia sudah sering melihat Anne di berbagai media namun ini pertama kalinya ia melihat wanita itu secara langsung. Ia pernah menyusun beberapa rencana pekerjaan untuk bertemu dengan Anne namun seperti Anne memutuskan semua jalan bertemu, Anne tak pernah menerima tawaran pekerjaan apapun yang menyangkut dengan Mr. Holland.

"Anne, mau berdansa?" Mason D'Mille mengulurkan tangannya.

Anne meraih tangan itu, ia melangkah mendekat ke beberapa pasangan yang tengah berdansa.

Musik selesai. Anne dan Mason melangkah kembali ke posisi mereka.

Bruk! Seorang wanita tak sengaja menabrak Anne. Menumpahkan minuman beningnya ke gaun yang Anne kenakan.

"Oh, shit! Maafkan aku." Wanita itu meminta maaf.

Anne bukan tipe antagonis, ia membalas permintaan maaf itu dengan senyuman, "Lain kali hati-hati, ya."

"Baik, Nona." Wanita itu kemudian pergi.

"Aku harus membersihkan ini dulu." Anne menunduk melihat dadanya yang basah.

"Mau aku temani?"

Anne menggelengkan kepalanya, "Tak perlu." Ia menolak tawaran Mason.

Sampai di toilet, Anne membersihkan dada dan gaunnya.

"Ini berbekas." Anne menghela nafas. Ia harus menyelesaikan pesta dengan gaun yang bernoda. Tapi Anne tak mempermasalahkannya, ia tak akan melewatkan pernikahan putri kesayangannya.

"Mason? Diakah selanjutnya?" Suara itu mengejutkan Anne yang baru keluar dari kamar mandi.

Anne tak ingin menanggapi, ia meneruskan langkahnya namun tangannya ditahan.

"Berhenti bersikap seolah kau tak mengenaliku, Anne."

Anne menatap pria yang kini ada di depan matanya, "Bukannya kita memang tak saling kenal."

"Apa aku harus mengingatkanmu akan hari-hari yang kita lewati puluhan tahun lalu?"

Anne tertawa kecil, "Ingatanku masih cukup baik. Kau sendiri yang mengatakan tak mengenal aku di depan ayahmu."

"Ayahku tak akan menerimamu meski aku mengatakan kau kekasihku. Kau terlalu menilai tinggi dirimu, Anne."

Lagi-lagi Anne tertawa, "Dimatamu aku memang selalu rendah. Ah sudahlah, lupakan. Lepaskan tanganku, Mason menungguku."

"Aku belum selesai bicara."

"Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Mr. Holland."

Mr. Holland tetap menahan tangan Anne, "Aku ingin menyambung kembali hubungan kita."

Wajah Anne mendadak kaku, "Dengan menjadikan aku simpananmu seperti dulu?" Anne tersenyum pahit, "Kau pikir aku sudi!"

"Aku menginginkanmu, Anne. Aku tidak bisa melupakanmu."

Anne menatap Mr. Holland sinis, "Aku tidak menginginkanmu lagi. Dan aku sudah melupakanmu!"

Mr. Holland seketika emosi, ia mendorong tubuh Anne ke dinding, mengunci wanita itu dengan kedua tangannya.

"Kau berbohong."

"Terserah apa katamu."

Mr. Holland semakin marah, "Tubuhmu tak akan berbohong padaku, Anne!" Ia menarik Anne kembali ke dalam kamar mandi.

Anne tak bisa melawan dan ia juga tak berniat melakukan perlawanan karena itu hanya sia-sia.

Mr. Holland mencumbunya, menurunkan paksa gaun yang Anne kenakan. Menciumi bibir Anne dengan kasar dan liar namun tak ada balasan apapun dari Anne. Wanita itu seperti patung, tak bereaksi sama sekali.

"Tubuhmu tak berubah sama sekali, Anne." Mr. Holland begitu memuja tubuh Anne. Ia melahap payudara Anne dengan penuh nafsu. Menggila karena hasrat yang telah lama ia tahan. Ia seperti binatang yang tak mengerti sama sekali bahwa Anne tak menikmati sentuhannya sama sekali.

Dengan posisi menungging, Anne dihujam berkali-kali oleh Mr. Holland. Hal yang dulu sering ia rasakan. Namun rasa berdebar yang selalu ia rasakan ketika bercinta dengan Mr. Holland telah sirna. Ia biarkan Mr.Holland membuktikan sendiri bahwa ia tak lagi menginginkannya.

"Anne..." Mr. Holland mengerangkan nama Anne bersamaan dengan keluarnya cairan yang kini mengalir di selangkangan Anne. "Kau sama nikmatnya dengan dulu." Suara Mr. Holland terdengar serak.

Anne mendorong Mr. Holland, ia membersihkan selangkangannya. Meraih kembali pakaiannya dan memakainya.

"Kau masih sama brengseknya dengan dulu, Alvano Holland." Makin beku hati Anne karena Holland. Pria ini adalah alasan kenapa Anne tak bisa jatuh cinta lagi. Sakit yang Alvano berikan padanya begitu dalam. Tak termaafkan sedikitpun. "Aku harap ini yang terakhir kalinya kau mengusiku."

Alvano mencengkram tangan Anne, "Kau tidak takut karirmu berantakan, hm?"

Anne tertawa kecil, "Hancurkan saja. Sudah biasa kau menghancurkan aku." Ia mengibas tangan Alvano dan pergi.

Alvano menghantam kaca di depannya dengan buku tangannya, "Kau akan menyesal, Anne. Kau hanya milikku." Alvano menggeram marah. Ia nyaris gila melihat Anne dengan laki-laki lain. Ia akan melakukan hal keji untuk mendapatkan Anne kembali.

Kembali ke aula mansion Schieneder, Cia tengah berbincang dengan Cello.

"Sayang, aku berubah pikiran tentang tinggal di luar kediaman ini." Cia menatap lembut suaminya.

"Kenapa? Bukannya kau lebih suka kita berdua saja?"

"Aku ingin bersama keluargamu, kita coba satu tahun saja. Kalau aku tidak betah kita bisa pindah." Ada alasan tertentu Aleycia ingin tinggal di kediaman Schieneder dan alasannya adalah tujuan matanya saat ini, Aexio.

"Baiklah, kita lakukan sesuai kemauanmu." Cello pasti akan menuruti apapun yang Aleycia inginkan. Ia begitu memanjakan istrinya.

"Terimakasih, Sayang." Aleycia menjatuhkan kepalanya di dada Cello. Senyuman liciknya terlihat. Ia akan berada dekat dengan Aexio. Tak akan ia biarkan Ophelia menikmati hidup bersama Aexio.

Tbc

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel