Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8

Kaki Aexio melangkah dengan cepat. Ia baru mendengar kabar dari orangtua Tiffany bahwa Tiffany akan pergi ke Italia.

"Kau mau pergi ke mana?" Aexio beruntung ia belum terlambat. Tiffany baru saja hendak keluar dari gedung apartemennya.

"Aku butuh liburan." Tiffany menjawab dingin. Wanita itu mengenakan kacamata, ia menyembunyikan matanya yang sembab.

"Kau bermaksud pergi dariku, Tiff?"

"Untuk apa aku melakukannya? Aku hanya mengambil cuti."

Aexio meraih koper yang Tiffany bawa, "Jangan kekanakan, Tiffany."

"Apa yang salah denganmu? Aku mengambil cutiku, apa itu salah?"

"Kau pergi saat kita bermasalah, itu yang salah!"

Tiffany mencoba meraih kembali kopernya, "Aku tidak bisa melihatmu menikah dengan wanita lain. Sekretaris pengganti akan menggantikanku."

"Kau tidak bisa pergi seperti ini, Tiff."

"Kenapa aku tidak bisa? Ini hidupku, Aexio."

Aexio tahu ini hidup Tiffany tapi pergi tanpa menyelesaikan masalah antara mereka bukanlah hal benar. Ia benci bertengkar dengan Tiffany.

"Dia mengandung anakku, Tiff. Menikahinya adalah sebuah tanggung jawab bagiku."

"Aku tak peduli, Aexio. Sudahlah, jangan membahas ini lagi. Aku yang salah, menikah dengan siapapun adalah hakmu. Aku yang memendam rasa, jadi bukan salahmu jika tidak peka. Aku yang mencari penyakit karena mencintaimu jadi kau tak perlu merasa bersalah. Tapi tolong, jangan paksa aku melihatmu menikah dengannya. Aku tidak akan kuat. Aku sudah patah hati untuk kesekian kali. Jangan buat aku tak tahu caranya untuk bangkit dengan menahanku seperti ini."

Aexio merasa sakit karena kata-kata Tiffany. Andai ia sedikit lebih peka maka ia tak akan menyakiti Tiffany seperti ini, "Maafkan aku, Tiff. Aku tak pernah bermaksud menyakitimu."

"Kau tak salah, tak perlu minta maaf." Tiffany membalas datar. "Berikan koperku, aku harus pergi sekarang."

"Kau harus berjanji kau akan kembali."

"Aku janji." Tiffany hanya ingin menghindari pernikahan Aexio. Ia bisa gila bila hadir disana.

"Aku antar ke bandara."

"Tidak perlu."

Tapi Aexio tak mendengarkan. Ia menyeret koper Tiffany menuju ke mobilnya. Dan Tiffany tak bisa menghindar lagi.

Sepanjang perjalanan menuju bandara, Tiffany tak mengatakan apapun. Ia hanya melempar pandangannya ke luar jendela.

"Kabari aku jika kau sudah sampai di Itali."

"Hm."

Aexio tak bisa melakukan apapun untuk mengeluarkan Tiffany dari kesedihannya. Ia tak ingin usaha yang ia lakukan malah membuat Tiffany makin terluka. Saat ini ia hanya harus membiarkan Tiffany melakukan apapun yang ia sukai. Mungkin setelah kembali dari Itali Tiffany akan membaik.

Sampai di bandara Tiffany segera pergi. Jadwal keberangkatannya sangat pas dengan kedatangannya.

Setelah Tiffany memasuki kawasan khusus staff dan penumpang, Aexio membalik tubuhnya, melangkah kembali ke parkiran mobil.

Ia tahu ia sangat egois. Ia menyakiti Tiffany tapi ia tak bisa melepaskan Tiffany sebagai sahabatnya. Ia hanya bisa berharap bahwa akan ada pria yang bisa mengisi hati Tiffany.

**

Cello dan Cia kembali dari bulan madu. Rencana pernikahan Aexio dan Ophelia yang hanya tinggal beberapa hari lagi sudah diketahui oleh pengantin baru itu.

Dan saat ini adalah kali pertamanya mereka bertemu dengan Ophelia. Orangtua Aexio sengaja mengundang Ophelia untuk makan malam bersama sekaligus memperkenalkan Ophelia pada Cello dan Cia.

Mata Cia tak lepas dari Ophelia. Ia tak henti menilai Ophelia. Aexio nampaknya memilih sembarang wanita untuk jadi istrinya. Ia mengasihani Aexio yang tak bisa mencari wanita yang lebih baik darinya. Yang benar saja, apakah tidak ada wanita yang lebih berkelas dari Ophelia?

"Apa pekerjaanmu, Ophelia?" Cia mulai bertanya.

"Seorang room service."

Cia nyaris tersedak salivanya sendiri. Seorang room service? Aexio nampaknya sudah gila karena ia tinggal menikah. Wanita dari kalangan atas berhamburan tapi ia memilih seorang room service.

"Orangtuamu?"

"Aku tidak punya orangtua." Ophelia menjawab tanpa malu.

Sepertinya bukan hanya Aexio yang gila tapi mertuanya juga. Bagaimana bisa mereka menyetujui pernikahan Aexio dan Ophelia. Ini sangat tidak masuk akal.

Kath melihat bahwa Cia sepertinya sengaja ingin merendahkan Ophelia, wanita itu akhirnya menghentikan Cia dan memulai acara makan malam mereka.

Aexio malam ini tak begitu banyak bicara. Alasannya tak lain karena Cia. Melihat Aleycia di depan matanya membuat rasa sakit dihatinya muncul ke permukaan. Selama ini Aexio sudah berusaha untuk melupakan Cia namun ketika melihat Cia lagi ia sadar bahwa ia telah gagal.

Tanpa sengaja pandangan mata Aexio melihat ke Cello yang tengah membersihkan sisa makanan di bibir Cia. Hal itu membuat Aexio merasakan nyeri. Ia bangkit dari tempat duduknya, "Aku ke kamar mandi dulu." Ia bicara pada Ophelia yang dibalas dengan dehaman saja.

Aexio sampai di kamar mandi. Membasuh wajahnya yang terasa panas. Aexio menggelengkan kepalanya, "Kau tidak bisa seperti ini, Aexio. Dia istri adikmu. Dia mencampakanmu, kau harus menghapus sisa-sisa perasaan yang masih ada." Aexio menasehati dirinya sendiri. Ia tahu adalah sebuah kesalahan masih memikirkan Aleycia. Bukan hanya karena wanita itu istri adiknya tapi juga karena Ophelia.

"Apa sebegitu frustasinya kau karena aku tinggalkan?" Suara Aleycia terdengar.

Aexio melihat dari cermin, wanita yang pernah jadi miliknya itu melangkah mendekat padanya.

"Dari mana kau memungut wanita itu, Aexio? Kau menghinaku dengan menikahi wanita seperti itu." Aleycia bersandar di dinding kamar mandi.

Aexio mengeringkan tangannya, "Dia memang tak berpendidikan dan berasal dari keluarga terpandang sepertimu tapi dia jauh lebih baik darimu."

Aleycia tertawa geli, "Lebih baik dariku?" Ia menggelengkan kepalanya, "Wanita itu bahkan tak bisa dibandingkan dengan seujung rambutku, Aexio."

"Tak perlu sempurna untuk jadi pendampingku, Aley. Aku hanya butuh kesetiaan bukan kecantikan fisik."

"Wanita itu bersamamu karena kekayaanmu. Wanita dari kelas rendah akan menaikan derajatnya dengan menyerahkan tubuh ke pria kaya. Tak ada bedanya dengan pelacur."

Aexio tersenyum karena kata-kata Aleycia, "Nampaknya kau sedang membicarakan dirimu sendiri. Tapi akan aku jelaskan padamu, aku tak masalah jika Ophelia menginginkan semua yang ada padaku. Karena milikku akan jadi miliknya. Jangan menghinanya lagi karena setelah ini ia akan sekelas denganmu, ia akan jadi saudara iparmu. Dan ya, jangan mendatangiku seperti ini, Cello bisa mengetahui masalalu kita karena kebodohanmu sendiri." Aexio membalik tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan Aleycia.

Aleycia tersenyum miris, pria itu bersikap sangat dingin padanya. Tak bisa dibohongi bahwa Aleycia tidak suka dengan pernikahan Aexio dan Ophelia. Ia masih mencintai Aexio. Rasa itu masih ada dalam hatinya namun karena ego ia lebih memilih Cello. Ia hanya ingin menunjukan pada dunia bahwa tak akan ada yang bisa merendahkannya lagi.

Dalam keluarga Aleycia, siapa yang bisa memberikan keuntungan yang besar maka itu yang akan lebih diakui oleh kakeknya. Aleycia memiliki seorang sepupu yang tak kalah cantik darinya dan wanita itu selalu menjadi nomor satu dalam keluarganya sementara ia hanya jadi bayangan saja. Aleycia lelah jadi bayangan dalam keluarganya, ketika sepupunya menikah dengan putra tunggal seorang pengusaha terkenal, ia semakin merasa tersingkirkan dalam keluarganya. Bahkan ayah dan ibunya ikut meremehkannya.

Namun sekarang, ia selalu dipuji oleh Kakek dan orangtuanya karena berhasil menjadi menantu Schieneder. Untuk sebuah pengakuan yang ia inginkan maka ia harus merelakan cintanya karena tak mungkin ia memiliki keduanya sekaligus.

Dan sekarang ia harus merasakan apa yang Aexio rasakan. Sakit karena melihat orang yang dicintai bersanding dengan orang lain. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia tidak bisa merelakan Aexio tapi ia juga tak bisa membahayakan posisinya yang sudah berada di atas.

Makan malam selesai. Aexio kini tengah bersama Ophelia di taman belakang mansion.

"Setelah menikah kita akan tinggal disini." Aexio mulai bicara.

Ophelia diam, ini adalah kebiasaannya. Ia bukan tak menanggapi Aexio namun diamnya adalah jawaban bahwa ia setuju tinggal di rumah orangtua Aexio. Sejujurnya ia lebih nyaman tinggal sendirian, ralat berdua dengan Aexio tapi jika Aexio mengatakan tinggal disini maka ia bisa apa.

"Mommy dan Daddy sudah mengatakan sejak lama bahwa setelah menikah tak ada yang boleh meninggalkan rumah." Sejujurnya Aexio juga tak ingin tinggal di mansion Schieneder tapi karena kata ibunya bahwa Cello tidak mau tinggal di kediaman itu maka tak akan jadi masalah jika ia tinggal disana. Aexio hanya ingin menghindar dari Cello. Sebisa mungkin ia mengurangi intensitas bertemunya dengan Cello. Kebencian Cello padanya selalu menyiksa dan selalu jadi alasan kenapa Aexio memilih tinggal di apartemennya.

"Kau tenang saja, Mommyku tak akan menyiksamu. Dia tipe mertua yang sayang menantu." Aexio terus bicara.

Ophelia akhirnya menanggapi Aexio, "Aku tidak keberatan tinggal di rumah ini. Bisa berhenti bicara?"

Aexio tertawa kecil, "Apakah suaraku sangat mengganggu?"

"Ya." Ophelia menjawab seadanya.

"Kau akan terganggu sepanjang hidupmu kalau begitu. Kau akan terus mendengar suaraku."

Ophelia tak menanggapi Aexio. Ia hanya menikmati indahnya langit yang dihuni oleh taburan bintang dan bulan yang menerangi malam.

"Hutangmu di bank akan aku lunasi setelah kita menikah."

"Aku bisa membayarnya sendiri."

"Dengan apa?" Aexio menaikan sebelah alisnya, "Jangan katakan jika kau masih ingin bekerja. Tidak, kau tidak boleh bekerja setelah menikah apalagi sebagai room service."

"Apa yang salah dengan bekerja sebagai room service?"

"Pekerjaan itu melelahkan. Kau sedang hamil. Di trisemster pertama kau tidak boleh kelelahan. Jangan menyiksa anakku, dan jangan menyiksa dirimu sendiri."

Ophelia diam. Ternyata Aexio jauh lebih mengetahui tentang kehamilan daripada dirinya.

"Kau sepertinya sangat berpengalaman." Cibir Ophelia.

"Hey. Apa maksudmu? Jauhkan pikiran buruk dari otakmu itu. Aku bertanya pada Audrey. Sebagai calon Daddy aku harus tahu segalanya tentang kandungan. Apa saja yang harus aku lakukan untukmu dan apa saja yang boleh dan tak boleh kau lakukan."

Ophelia tersentuh dengan bagaimana perhatiannya Aexio pada calon anak mereka. Ya, meski tak ada cinta diantara mereka tapi Aexio tetap memperlakukan anaknya dengan sangat baik.

"Ah, kau bawa vitaminmu, kan? Kau harus meminumnya."

"Kau cerewet sekali, Aexio. Astaga, aku butuh ketenangan. Kau menghancurkan ketenangan hidupku!" Ophelia menggerutu kesal. Ketenangan hidupnya memang sudah lenyap karena Aexio. Pria ini kerap menelponnya untuk mengingatkan minum susu, vitamin, konsumsi buah dan sayuran serta masih banyak lagi. Terkadang Aexio juga mendatangi apartemennya. Membawa kantung-kantung berisi bahan makanan dan juga cemilan.

Hidup Ophelia yang biasanya jauh dari gangguan kini sudah berubah. Dan saat ini tanpa Ophelia sadari ia selalu menanggapi apa yang Aexio katakan.

Melihat wajah kesal Ophelia, Aexio jadi tertawa geli.

"Anak Daddy yang ada di dalam sana, jangan ikuti sifat Mommymu. Pemarah dan keras kepala, itu sangat buruk."

Ophelia melirik Aexio malas, "Lalu dia harus mirip kau? Jangan banyak bermimpi!"

"Kenapa? Aku Daddynya, tidak salah jika dia mirip denganku. Hey, jangan terlalu benci denganku. Kata orang, jika kau benci sesuatu ketika kau hamil maka anakmu akan mirip dengannya."

Ophelia memiringkan wajahnya menghadap Aexio. Memberikan sebuah senyuman masam lalu berkata, "Aku tidak membencimu kau lihat senyumanku, kan." Sesaat kemudian Ophelia kembali menghadap ke depan.

"Kau tidak tersenyum barusan, Ophelia. Sini, aku ajari caranya tersenyum." Aexio meraih wajah Ophelia, memaksa wanita itu menatapnya. Ia meletakan dua telunjuknya di pipi Ophelia, menekannya lembut lalu menarik sudut bibir Ophelia hingga membentuk sebuah senyuman.

"Nah, begini baru tersenyum." Aexio ikut menunjukan senyumannya.

Ophelia mematung, lagi-lagi ia takjub pada keindahan senyuman Aexio. Ia bisa merasakan hangat merasuk ke dadanya kala melihat senyuman itu.

Kau terlalu jauh masuk ke dalam hidupku, Aexio. Ophelia meradang. Ia takut jatuh cinta tapi Aexio terus melakukan hal-hal yang membuat dadanya berdebar.

Tak ada yang salah dengan jatuh cinta padanya, Ophe. Mencintai suami sendiri tak melanggar hukum dan tak dilarang oleh Tuhan. Ophelia berpikir secara rasional. Sah saja jika ia mencintai Aexio.

"Nah, begini kau terlihat cantik. Banyaklah tersenyum dan teruslah bahagia. Janin yang ada dikandunganmu juga ikut merasakan apa yang kau rasakan."

Ophelia memalingkan wajahnya. Ia menggosok tangannya ke lengan, "Ah, dingin." Ia bangkit dari bangku taman dan segera pergi.

Aexio tertawa kecil, "Dia sangat lucu." Aexio bangkit dari tempat duduk, ia segera menyusul Ophelia. Masih berniat mengganggu Ophelia.

Dari dua tempat yang berbeda ada dua orang yang mengawasi Aexio dan Ophelia. Kath dan Cia. Kath senang melihat interaksi antara Aexio dan Ophelia sementara Cia, ia terbakar api cemburu. Dadanya bergemuruh hebat, seperti genderang perang ditabuhkan disana.

Tbc

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel