Tak Pantas
“Ya ampun ibu kenapa ngga bisa di hubungi sih?” Batin Riska saat melihat Dinda pingsan di tempat pembaringannya.
Kebiasaan Riska belakangan ini adalah selalu datang menjenguk Dinda di rumah sakit. Bibir pucat adiknya terkadang membuat Riska merasa tak tega. Ingin sekali melihat adiknya itu bisa seperti anak-anak lain yang seusianya yang bisa menikmati indahnya dunia tanpa menahan rasa sakit.
Meski dirinya dan Dinda tak memiliki hubungan darah karena mereka terlahir dari ibu yang berbeda dan keturunan dari ayah yang berbeda juga tapi Riska sangat menyayangi Dinda seperti adiknya sendiri.
Pernah sekali saat Dinda membutuhkan donor darah karena sedang kekurangan darah, Riska rela tak masuk sekolah demi mencari pendonor yang bisa menyelamatkan adik tirinya itu karena mereka tak memiliki golongan darah yang sama.
“Bu, angkat dong,” kata Riska yang mulai kesal karena berulang kali menghubungi Ibunya namun tak juga di angkatnya.
“Kenapa ngga di angkat sih Bu?” Tanya Riska yang sudah mulai putus asa untuk menghubungi ibunya.
“Baiklah Dok kalau gitu nanti biar saya sampaikan kepada ibu saya tentang apa yang dokter katakan ini,” kata Riska pada dokter yang ada di hadapannya.
“Baiklah kalau begitu nanti tolong di sampaikan yah karena itu penting sekali. Kalau begitu aku pergi dulu,” kata dokter itu yang yang kini telah berlalu meninggalkan Riska.
Perasaan cemas dan juga khawatir kini mulai hinggap di pikiran Riska karena ibunya tak kunjung bisa di hubungi. Kepalanya seolah akan pecah jika memikirkan masalah yang seakan terus datang menerpa keluarganya.
Bagaimana bisa Riska dan ibunya mendapatkan uang sebanyak itu untuk kemoterapi Dinda. Semua yang Riska alami seolah semakin sulit. Tiba-tiba saja Riska teringat akan perjodohannya dengan pria tua yang kemarin di katakan oleh ibunya.
“Apa aku benar-benar harus menikah dengan pria itu supaya Dinda bisa selamat?” Batin Riska. Air matanya turun begitu saja dari matanya melewati pipinya yang chubby dan juga mulus.
Di tengah kebimbangan yang di rasakan, Riska terus melangkahkan kakinya entah kemana tak tentu arah. Riska hanya ingin menenangkan pikirannya yang saat ini tengah kacau. Adiknya yang harus di kemoterapi dan juga ibunya yang tak bisa di hubungi membuat Riska seakan frustasi.
“Riska.”
Seseorang memanggil Riska dari arah belakang sehingga membuat langkah kakinya berhenti seketika dan menoleh ke arah belakang untuk melihat siapa yang memanggilnya.
Di tengah jalan yang sedikit gelap Riska melihat sesosok pria yang selama ini di cintainya secara diam-diam. Riska melihat Aldiano berdiri di belakangnya dengan tangan yang masih melambai ke arahnya.
Andai saja kehidupannya tak sesulit sekarang mungkin Riska bisa menyatakan perasaannya pada Aldiano namun mengetahui posisinya sekarang yang hanya sebatas anak dari seorang single parent membuat Riska selalu merasa malu untuk mengungkapkan perasaannya.
“Kak Aldi. Mau kemana kak?” Tanya Riska?
“Oh ini aku tadi abis beli gorengan di sana terus aku ngga sengaja lihat kamu,” kata Aldiano sembari tersenyum.
“Oh gitu,” kata Riska yang sedikit merasa salah tingkah.
“Kamu sendiri darimana dan mau kemana?” Tanya Aldiano.
“Emmm ini aku dari rumah sakit kak tapi ngga tau mau kemana sekarang,” kata Riska.
“Loh kok ngga tau sih? Kenapa kamu ngga pulang aja kan ini juga udah malam,” kata Aldiano.
“Harusnya begitu kak tapi daritadi aku ngga bisa menghubungi ibuku dan aku sangat khawatir jadi aku mau coba cari ibuku dulu sebentar.” Riska mengatakan pada Aldiano tiba-tiba perutnya berbunyi sangat keras.
Krukkkk ... Krukkkk ....
Spontan Aldiano dan Riska pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah perut Riska yang tiba-tiba berbunyi sangat keras.
“Apa kamu belum makan?” Tanya Aldiano.
Riska benar-benar merasa malu namun Riska tak bisa berbohong karena perutnya telah berbunyi dengan keras. Malu pun sudah tidak bisa terelakkan lagi dari wajah Riska.
“Iya kak,” jawab Riska sembari menundukkan wajahnya karena malu.
“Ya ampun ini kan sudah malam kenapa kamu belum makan sih? Ya udah kalau gitu kita ke sana aja yah, kita makan di sana,” kata Aldiano mengajak Riska untuk makan di sebuah warung makan kecil.
“Emmm iya kak,” jawab Riska. Kali ini Riska tak memikirkan rasa malunya lagi karena perutnya sudah benar-benar merasa perih.
Sebenarnya bukannya Riska tak punya waktu untuk makan tapi memang dirinya sama sekali tak punya uang sama sekali untuk makan. Pagi hari sebelum sekolah Riska hanya mampu membeli mie instan untuk sarapan namun untuk siang dan malam harinya Riska harus menahan rasa laparnya karena ia tak punya uang.
Di tengah kesulitannya, Riska benar-benar masih sangat beruntung karena Tuhan memberikannya otak yang cerdas sehingga dia masih bisa bersekolah dengan beasiswa yang di dapatkannya. Meski awalnya ibu tirinya itu melarangnya untuk bersekolah dan malah menyuruhnya bekerja namun akhirnya karena bujukan dari seorang guru yang sempat datang ke rumah waktu itu membuat ibuku berubah pikiran dan akhirnya mengizinkan aku untuk bersekolah.
“Kenapa kamu ngga makan sih dari tadi? Kamu bisa sakit loh kalau telat makan gini,” kata Aldiano sembari menyodorkan segelas minuman pada Riska.
“Emmm iya kak tadi lupa makan kak pas di rumah sakit,” kata Riska berbohong.
“Kami sayang banget yah sama adik dan juga ibu tiri kamu itu,” kata Aldiano tiba-tiba. Riska hanya bisa tersenyum menanggapi perkataan dari Aldiano.
“Itu karena aku ngga punya siapa-siapa lagi selain mereka,” batin Riska.
Makanan yang ada di depannya terus Riska makan namun tiba-tiba Aldiano mengagetkannya dan membuatnya berhenti makan saat itu juga.
“Eh itu ibu kamu bukan sih?” Tanya Aldiano pada Riska sembari menunjuk dua orang pria dan wanita yang berjalan ke arah hotel di dekat area tempat Riska dan Aldiano makan.
Wanita yang tengah menggandeng pria itu tampak sangat manja dengan pakaian seksi yang di pakainya tak lupa kepalanya yang bersandar pada lengan pria itu dengan sangat manjanya.
“Ibu,” panggil Riska dengan pelan.
Riska pun berlari ke arah ibunya dan pria itu hingga membuat mereka sangat terkejut dengan kedatangan Riska yang tiba-tiba.
“Ibu,” panggil Riska dengan sedikit berteriak.
Spontan ibunya pun langsung menoleh ke arah ibunya. Riska benar-benar tak menyangka ibunya akan berpakaian seperti orang yang telan*ang. Pakaian yang di pakainya begitu sangat terbuka sehingga membuat Riska merasa tak nyaman saat melihatnya.
“Ibu sedang apa di sini Bu. Bu keadaan Dinda semakin buruk Bu, dia harus di kemoterapi kata dokter.” Riska mencoba memberitahu ibunya tentang keadaan adiknya di rumah sakit.
“Siapa dia?” Tanya pria yang bersama ibunya. Ekspresi wajahnya tampak tak suka pada Riska namun Riska tak memedulikannya.
“Oh dia emmmm ....” Miranti berhenti menjawab.
“Sudahlah lebih baik sekarang kamu pergi saja karena aku masih ada urusan. Aku akan urus masalah Dinda nanti,” kata Miranti yang kemudian menggandeng tangan pria tadi dan menariknya pergi menjauhi Riska.
Riska terdiam melihat ibunya yang tampak tak peduli padanya dan juga adiknya. Pikiran Riska masih belum bisa beralih dari ibunya yang kini sudah tak terlihat lagi dari kedua matanya.
“Sudahlah Riska mungkin ibu kamu memang sedang ada urusan sekarang. Lebih baik kamu pulang saja yah biar aku antar kamu ke rumah,” kata Aldiano sembari memegang bahu Riska.
“Emmm ngga kak. Aku mau ke rumah sakit saja, aku mau menjaga Dinda di sana. Kasihan dia sendirian,” kata Riska.
“Ya sudah kalau begitu biar aku antar yah,” kata Aldiano. Riska pun mengangguk dan mengikuti Aldiano yang seolah menggiringnya untuk pergi meninggalkan tempat itu.
Meski hatinya masih merasa penasaran kenapa ibunya bisa pergi bersama pria itu dengan pakaian dan dandanan yang sangat seksi namun Riska mencoba untuk tetap berpikir positif tentang ibunya meski terkadang Riska merasa kesal apalagi jika dia mengingat perjodohan yang di diperintahkan oleh ibunya namun Riska tetap saja tidak bisa membenci ibunya hanya karena masalah itu.
“Ris, boleh aku tanya sesuatu padamu?” tanya Aldiano.
“mau tanya apa kak?” tanya Riska balik.
“Sebenarnya ibumu bekerja sebagai apa yah kok sampai berpakaian seksi seperti itu?” tanya Aldiano.