Bab 1 Marry Me
Bab 1 Marry Me
“Gawat! Aku telat! Kejutan apa yang hendak diberikan Ayang Tampan padaku?”
Seorang wanita bernama Viona berjalan dengan tergesa memasuki Bamboo Cafe, di mana dirinya memiliki janji temu dengan kekasihnya - Zio. Kali ini, Viona datang terlambat, karena Zio mengajaknya bertemu secara mendadak.
Di dalam cafe, Viona langsung mencari keberadaan Zio yang tadi sempat menelpon dan mengatakan kalau sudah menunggunya di dalam cafe. Celinguk kanan, lalu ke kiri.
Tak berapa lama dari sudut ruangan cafe, seorang pria melambaikan tangan ke arahnya. Pria berblazer biru navy itu tersenyum misterius.
Dengan senyum lebar Viona berjalan ke arah pria yang tak lain adalah Zio - kekasihnya. Highheels-nya sampai bertalu-talu, karena ia tergesa menghampiri Zio.
“Maaf aku terlambat, Sayang,” ucap Viona sembari duduk di sebelah Zio.
Zio tersenyum sambil merangkul pundak Viona. “Tidak apa-apa, Sayang. Aku juga belum lama datangnya,” kata Zio memberi tahu.
Viona menghembuskan napas lega. “Syukurlah, aku kira kamu akan marah.”
Zio menarik pelan hidung Viona yang mancung. “Sejak kapan aku marah sama kamu hanya karena masalah sepele seperti ini, hmm?” tanya Zio penuh perhatian. “Lagi pula mana bisa aku marah pada wanita secantik kamu,” lanjut Zio seraya menggengam tangan perempuan ini.
Zio memandangi Viona. Dan matanya mulai tak konsentrasi. Pikirannya bercabang. Pasalnya, Viona terlalu cantik malam ini.
“Tidak pernah sih, Kamu memang hampir tidak pernah marah padaku,” jawab Viona yang pipinya kini sudah bersemu merah karena ucapan manis Zio kepadanya.
Padahal, itu bohong. Aslinya, lelaki ini sedikit temperamen.
Tapi, tak ada salahnya kan, untuk berbohong? Bagaimanapun, Viona sadar bahwa tak ada mahluk yang sempurna. Dia harus menerima Zio apa adanya.
“Kamu tahu, kenapa aku tidak pernah marah padamu?”
“Kenapa?” tanya Viona penasaran. Perempuan ini bertopang dagu, mendengarkan Zio sepenuh hati.
“Karena aku sayang sama kamu,” jawab Zio lalu mencium pipi Viona tiba-tiba.
“Ada yang mulai gombal deh kayaknya,” sindir Viona sambil menjauhkan wajah Zio dari pipinya. Dia risih, di tempat seperti ini sudah obral hal demikian.
Mata Viona celingukan. Dia merasa tak enak, jika ada yang melihat. Entah kenapa, wajahnya bersemu merah.
“Kok malah dibilang gombal, Sayang? Aku serius loh ini,” ucap Zio dengan nada protes.
“Iya, iya, aku percaya, Sayang,” kata Viona akhirnya.
Pelayan datang dan langsung meletakkan beberapa makanan yang sudah di pesan oleh Zio sebelumnya. Sebagian merupakan makanan iconic.
Ada kepiting saus badang, ayam lada hitam, hot coffe latte, orange juice, ice nona dan terakhir chaikwe yang merupakan makanan khas kota Pontianak yang sangat disukai Viona.
“Terima kasih, Mba,” ucap Zio ramah setelah pelayan selesai menghidangkan menu pesanannya.
“Sama-sama, Mas, Mba. Selamat menikmati,” jawab pelayan itu dan segera berlalu, karena tugasnya sudah selesai.
Zio menjentikkan jarinya di depan wajah Viona, saat kekasihnya malah termenung melihat menu makanan yang ada di hadapannya.
“Kamu kenapa? Tidak suka dengan menu yang aku pesan khusus untukmu?” tanya Zio penuh perhatian.
Viona mengerjapkan mata seolah baru tersadar. “Suka ... suka sekali malah. Semua ini menu kesukaan aku, Sayang. Kamu tahu banget kalau aku sedang ingin makan ini,” ucap Viona sambil menunjuk ice nona dan chaikwe yang ada di hadapannya.
“Kalau begitu jangan dilihatin saja, ayo dimakan,” ucap Zio, kemudian menggeser kepiting saus padang ke depan Viona sedangkan untuknya ayam lada hitam.
“Terima kasih, Sayang,” ucap Viona dan mulai melahap makanan yang ada di depannya.
Baik Viona maupun Zio tidak ada yang berbicara. Mereka berdua sama-sama menikmati makanannya hingga habis tak tersisa.
“Bagaimana, enak?” tanya Zio, saat mereka berdua sudah selesai makan.
“Enak,” jawab Viona yang baru selesai meminum orange juice.
“Chaikwe-nya tidak dimakan?” tanya Zio yang melihat makanan kesukaan kekasihnya itu masih utuh, belum tersentuh.
“Masih kenyang,” jawab Viona sambil memegangi perutnya.
“Ya sudah, bisa kita minta bungkus nanti,” ucap Zio akhirnya, “Tapi, ice nona-nya harus dimakan, kalau udah cair nanti rasanya jadi tidak enak,” ucap Zio disertai penjelasannya.
“Iya, Sayang,” sahut Viona, lalu mulai memasukan sesendok ice nona ke dalam mulutnya.
Zio terus memperhatikan Viona yang sedang menikmati ice nona sambil sesekali menyesap hot coffe latte miliknya. Dan pada saat itulah Zio melihat raut wajah Viona yang berubah seolah ada yang tidak beres.
“Kenapa, Sayang?” tanya Zio penuh perhatian. Tapi, senyumnya sudah terlihat kocak.
“Aku seperti menggigit sesuatu, Sayang!” jawab Viona lalu buru-buru menarik beberapa lembar tisu.
Ada sedikit bunyi gemeretak gigi, yang tercipta dari benda yang barusan ia gigit. Wanita cantik ini segera mengeluar benda keras itu dari mulutnya.
Lalu, ia bungkus dengan tisu. Viona berniat membuangnya ke tempat sampah.
“Coba aku lihat kamu gigit apa?” kata Zio buru-buru mengambil tisu yang ada di tangan Viona sebelum kekasihnya itu benar-benar membuangnya ke tempat sampah.
“Apaan sih, Sayang! Jijik ... tahu.” Viona protes.
Dia bergidik, saat melihat Zio dengan santainya membuka lembaran tisu. Hanya untuk melihat apa yang baru saja digigitnya. Padahal, itu baru dikeluarkannya dari dalam mulut.
“Kenapa harus jijik, Sayang, inikan dari mulut kamu,” kata Zio, mulai membuka gumpalan tisu dengan serius.
Viona akhirnya ikut penasaran ingin tahu benda apa yang digigitnya barusan, “Benda apa, Sayang?” tanya Viona penasaran.
Zio tersenyum mendengar pertanyaan Viona. Ia kemudian menunjukkan sebuah benda dengan kemilau yang terkena sorot lampu, membuat Viona memicingkan mata.
Benda itu begitu indah. Sebuah cincin bermata putih kepada kekasihnya.
“Ini yang aku dapat, Sayang.”
“Cincin?”
“Iya, Cincin,” jawab Zio lalu menarik pelan tangan Viona.
“Kok bisa di dalam ice nona ada cincinnya?” tanya Viona belum paham.
“Bisa, karena aku yang menyuruh pelayan tadi menyimpan cincin ke ice nona, sebagai kejutan untukmu,” jelas Zio lalu mengecup punggung tangan Viona.
“Kamu sengaja lakuin semua ini untukku, Sayang?” tanya Viona dengan mata berkaca-kaca.
Viona tidak menyangka Zio bisa melakukan hal manis seperti ini. Sungguh Viona bahagia apalagi saat melihat cincin bermata putih yang sangat indah itu.
Ia yakin Zio berniat untuk melamarnya. Sudah ia siapkan sebuah anggukan mantap.
“Viona Sayang, kamu tahu aku sudah sejak lama merencanakan semua ini,” ucap Zio.
Pria berblazer biru navy itu lalu mulai melingkarkan sebuah cincin bermata putih itu ke jari manis ke jari manis Viona. Seolah menggenapkan rasa romantis, dia mengecupnya cukup lama.
Viona tak bisa berkata apa-apa, karena merasa takjub dengan apa yang dilakukan Zio untuknya. Sungguh hati Viona terasa menghangat oleh semua perlakuan Zio.
“Maukah, kamu menikah denganku tahun depan, Sayang? Menjadi teman sehidup sematiku dan menjadi ibu dari semua anak-anakku?” ujar Zio dengan serius.
Hah? What? Tahun depan? Apa-apaan lelaki ini, kenapa tidak tahun sekarang?
Namun, setidaknya ada kemajuan, Zio melamarnya. Setelah selama ini dia hampir lumutan, karena menanti ajakan ini.
Mata Viona berkaca-kaca, tidak menyangka Zio akan mengajaknya menikah. “Ka-kamu serius, Sayang?” tanya Viona dengan terbata.
Zio diam. Lenguh napasnya terdengar memburu.
Entah karena dirinya bingung dengan jawaban dari pertanyaan Viona, atau karena dia tak bisa mengendalikan ludahnya, yang terus membasahi tenggorokan. Napsunya semakin menjalar, ketika melihat Viona berulang kali.
Viona cantik sekali. Ingin ia lahap Viona dengan lidahnya.
“Sayang, kamu serius tidak, sih?” ulang Viona penasaran.