Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 01

Malam itu, sembari menikmati makan malam di ruang makan di sebuah rumah yang cukup mewah yang terletak di Kota Jambi bagian barat, terjadi perbincangan antara sepasang orang tua dengan putra semata wayangnya.

“Jadi besok sore kau jadi balik ke Jakarta?”

“Iya, Bi, menggunakan pesawat siang. Tiket untuk pesawat yang berangkat pagi yang langsung ke Jakarta sudah habis. Jadi harus transit satu Jam di Medan,” sahut sang pemuda tanpa menatap ke wajah ayahnya karena sedang sibuk menyendok makanannya.

“Ingat pesan Umi, Nak. Segeralah kau untuk mencari calon istrimu. Tak baik, Nak, hidup membujang terlalu lama, sebab kau akan memanen banyak dosa,” nasihat sang ibu.

“Tentu, Umi. Abi dan Umi doakan saja agar Allah segera memberikan jodoh kepadaku.”

“Jodoh itu seperti rezeki, Nak,” sambung sang ayah. “Untuk mendapatkannya kita wajib berusaha untuk mendapatkannya. Artinya, kauharus mencari dan bertanya. Jika kauhanya menunggu, ya jodoh itu kemungkinan lama baru sampainya, karena bisa jadi jodohmu pun sedang menunggumu.”

“Iya, Bi...”

“Kau itu seorang laki-laki muslim yang sudah matang dalam usia dan mental serta mampu secara ekonomi, Nak,” timpal wanita yang dipanggil oleh sang pemuda dengan Umi. “Artinya, hukum menikah untukmu bisa menjadi wajib.”

Sang pemuda ganteng hanya terdiam, namun kepalanya mengangguk-angguk pelan. Ia sangat paham apa yang dirasakan oleh kedua orang tuanya, dan yang dikatakannya adalah benar.

“Benar kata umimu, Nak,” imbuh sang abi “ Sempurnakan agamamu dengan menikah. Wanita seperti apa yang kauinginkan? Jika kaumau, Abi dapat melamarkanmu wanita-wanita yang berkelas dan cantik dari kalangan keluarga besar kita. Mereka cantik-cantik dengan kedudukan sosial yang bagus. Misalnya seperti Rustina anak Wak Abidinmu, dia seorang dokter spesial, atau Aisyah anak Pak Nga Hamzah, dia seorang dokter gigi dan bertugas di Kota Seulak, atau Zaenab anaknya Pak Nga Rasyid yang dokter gigi, atau saudara-saudara sepupu lainmu yang kebanyakan dokter.”

“Insha Allah, Umi, Abi, doakan dalam waktu tak lama lagi saya sudah benar-benar siap untuk menikah. Bisa jadi istri Zoel kelak adalah di antara wanita yang Abi sebutkan barusan.”

“Insha Allah, Nak. Amin Allahumma amin,” ucap Sang Abi dan Sang Umi nyaris bersamaan.

***

Si Ganteng itu bernama Zoelva Paranaka. Ia biasa dipanggil Zoel atau Zoelva. Umur 28 tahun, status lajarng, dan berprofesi sebagai pengusaha muda yang sedang menapaki anak tangga menuju kesuksesan. Ia membuka gerai perhiasan dari emas, perak, dan permata di beberapa mall di wilayah Jabodetabek, dan sekarang mulai merambah ke berbagai kota di luar wilayah itu. Gerai dan tokonya khusus menjual barang perhiasan emas, perak, dan permata dari beberapa brand ternama dari luar negeri.

Oh ya, si ganteng Zoelva ini perantau asal Jambi, tapi setelah menyelesaikan kuliahnya di Jakarta (dia mahasiswa pindahan dari sebuah kampus di Jogja) lima tahun yang lalu, ia tak kembali ke Jambi, namun memutuskan untuk bekerja di ibukotanya Indonesia itu, sebelum ia resign dari perusahaan tempatnya bekerja lalu merintis usahanya sendiri.

Posturnya yang tinggi besar dengan wajah kebule-buleannya diturunkan dari ibunya, Albertina Agueda, yang merupakan wanita Indo-Purtu Timor-Timur (kini Timor Leste). Menurut ceritanya, dulu ayahnya pernah bertugas di propinsi termuda itu (saat itu) sebagai anggota Abri (TNI). Di Tanah Lorosa’e itu ayah dan ibunya bertemu lalu menikah, dan di sana pula Zoelva dilahirkan, tepatnya di kota Lospalos, Lautem.

Sebenarnya, Zoelva pernah menjalin hubungan asmara dengan seorang gadis, Niken Hapsari, yang merupakan teman kuliahnya dulu. Mereka berpacaran hampir tiga tahun. Namun rupanya, Niken tidak bermain jujur dan setia. Gadis itu telah mencuranginya secara bertubi-tubi di belakangnya. Mulanya ia tak percaya saat beberapa teman kuliahnya menceritakan padanya bahwa sang pujaan hatinya itu memiliki PIL (pria idaman lain). Bahkan ia anggap itu hanya semata fitnah. Saat matanya sendiri menyaksikan kekasihnya itu berjalan berangkulan pinggang dengan mesra memanja dengan laki-laki lain pun, ia masih mempertahankan pikiran positifnya. Ia berpikir, bahwa Niken adalah gadis yang kalem, berbudi pekerti halus dan lembut. Jadi mana mungkin bisa berbuat curang?

“Oh, dia Hendi, Mas, sepupunya Niken. Dia memanfaatkan cutinya untuk berlibur di Jogja. Ortu Niken meminta Niken untuk menemaninya selama dia berada di Jogja,” sahut Niken dengan suara yang masih lembut dan wajah tak menampakkan ekspresi khas yang menunjukkan bahwa ia sedang berbohong saat itu, ketika Zoelva menanyakan perihal laki-laki yang berjalan dengannya tempo hari.

“Mas lihatnya di mana?” tanya Niken selanjutnya.

“Di sebuah mall di Malioboro?” sahut Zoelva, pun dengan wajah tidak menampakkan raut cemburu sama sekali.

“Oh iya, Mas, benar. Itu pas hari pertama dia berada di Jogja.”

“Hm. Dia tinggal di mana?”

“Dia tinggal dan bekerja di Surabaya, Mas. Rumah ortunya satu komplek dengan rumah ortunya Niken. Ibunya dia kakak dari papanya Niken.”

“Hm, berarti calon abang iparku, dong?” canda Zoelva, tanpa merasakan sama sekali bahwa saat itu ia tengah ditipi mentah-mentah oleh gadis yang berwajah lembut itu.

Niken tersenyum sembari menjulurkan ujung lidahnya. Satu cubitan kecil ia daratkan pada lengan Zoelva, lalu memeluk lengan kekar itu dengan sikap manja.

“Oh iya, lupa. Katanya Mas tempo hari lihat kami di mall itu, terus Mas ke sana dengan siapa, hayo? Kok Niken nggak dikasih tau?”

“Sama si Dicky, cari-cari sepatu futsal.”

“Oh...”

Zoelva paham, bahwa wanita pujaan hatinya sedang cemburu, ia pun mengacak-acak pelan rambutnya dan mencium ubun-ubun kepalanya.

Saat itu Zoelva pun berpikir, masyak iya, kekasihnya yang lemah lembut dan manja sepertinya bisa mencurangiku? Tak mungkinlah!

Akan tetapi, keyakinannya itu terbantahkan oleh kenyataan yang ia dapatkan sebulan kemudian. Sang pujaan hatinya yang disanjung-sanjungnya sangat setia itu ternyata benar telah mencuranginya habis-habisan secara rapi, halus, senyap, dan terukur.

“Kamu akan cuti kuliah? Kenapa? Apakah ortumu tak punya harta lagi untuk membiayai kuliahmu?” tanya Zoelva kepada Niken, ketika gadisnya itu mengungkapkan akan mengambil cuti kuliah selama dua semester. Saat itu Niken sengaja mengajaknya ke Tloga Putri, Kaliurang.

“Bukan karena itu Mas...”

“Ya terus kenapa?”

Niken mendadak terisak. “Ortu Niken mau menikahkan Niken dengan...dia, Mas.”

Seumur-umurnya, mungkin kabar itu kabar yang paling membuat Zoelva paling kaget ketika mendengarnya, sehingga spontan ia merenggangkan duduknya dari Niken dan memegang pundak gadis itu.

“Kamu akan menikah? Dengan dia siapa!?”

Niken tak mampu menatap wajah Zoelva. “Dengan...cowok yang Mas lihat jalan berdua dengan Niken di mall itu!”

“Haahh...!!” makin kaget Zoelva. Spontan ia melepaskan tangan kirinya dari pundak Niken dengan agak mendorongnya. “Berarti benar, kautelah mencurangi aku selama ini!”

“Tidak Mas! Mas harus mendengarkan penjelasan Niken!” jerit Niken sembari hendak meraih tubuh Zoelva.

Dengan cepat pemuda itu membalikkan tubuhnya dan mengangkat kedua tangannya seperti orang yang sedang takbir hendak sholat. “Maaf, sejak saat ini aku nggak lagi mengenalmu. Jangan pernah kausentuh aku lagi. Terima kasih...!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel