Bab 3 - Harapan Yang Sia-sia
"Apa Anda yakin, Tuan? Saya perhatikan, selama satu bulan ini ... Tuan Morgan hanya pesan mi goreng telur setiap paginya. Apa tidak ada masalah pencernaan nantinya, Tuan?” tanyanya yang sangat khawatir dengan kesehatan Morgan.
Morgan merenung, karena mendengar ucapan sang Ibu kantin. Ia merasa bingung, orang lain saja memedulikannya, tapi kenapa Fla yang jelas-jelas adalah istrinya, sama sekali tidak memedulikannya?
“Terima kasih, Bu. Tidak apa-apa, ini saja cukup,” ujarnya, membuat sang Ibu kantin memandang kasihan ke arah Morgan.
Ibu kantin pergi dari hadapan Morgan, dengan perasaan yang sangat kasihan dengannya. Namun, Morgan sama sekali tidak berselera makan, selain memakan semangkuk mi goreng ini.
Aromanya saja sudah mampu membuat Morgan hampir meneteskan air liurnya. Ia merasa ingin secepatnya menyantap makanan yang ada di hadapannya, untuk menuntaskan perasaan laparnya.
Ketika baru menyuap mi goreng tersebut ke dalam mulutnya, ia mendapati sepasang tangan yang melingkar pada perut Morgan.
Tidak salah lagi, itu adalah Ara.
“Selamat pagi, Sayang!” sapa Ara, dengan nada yang sangat bahagia, sembari tetap memeluk Morgan dari arah belakangnya.
Mengenai kelakuan Ara tadi, Morgan merasa sangat malu dan juga risih, karena Ara memeluknya di hadapan publik seperti ini. Ia merasa sangat tidak senang, karena Ara yang terlalu terang-terangan dan terlalu berani melakukan hal seperti ini.
“Ra, tolong lepas. Kita masih di area kampus,” ucap Morgan dengan nada datar, membuat Ara seketika berubah ekspresi menjadi masam.
Ara melepaskan pelukannya dari Morgan, dan langsung duduk di hadapan Morgan.
“Sayang kau kenapa, sih? Kenapa aku tidak boleh memelukmu, Sayang? Aku ‘kan ... rindu sekali denganmu, Sayang!” rengeknya yang seperti anak kecil, membuat Morgan merasa sangat risih mendengar ucapannya itu.
Hilang sudah selera makan Morgan. Ia meletakkan garpu yang ia pakai untuk menyantap mi goreng tersebut, dan memandang Ara dengan tatapan yang datar.
“Ini di area kampus, Ra. Tolong sedikit mengerti keadaanku. Aku tidak bisa berbuat seenaknya di kampus ini, karena aku adalah dosen. Aku tidak bisa mencontohkan hal buruk kepada para mahasiswa di sini,” ucap Morgan, dengan nada yang sedikit ia tarik, untuk memberitahu kepada Ara bahwa ia sedang marah padanya.
Mendengar teguran dari Morgan, Ara menjadi kesal dengannya. Ia memandangnya dengan sinis, karena ia merasa sangat tidak dihargai oleh Morgan.
“Sayang ada apa, sih? Kenapa Sayang jadi kayak gini sama aku?” tanya Ara, Morgan membuang pandangannya dari Ara. Mata Ara mendelik, karena ia merasa mengetahui sesuatu. “Kau memangnya seperti ini juga ke Kak Fla? Oh, atau kamu hanya seperti ini denganku saja?” bidiknya dengan sinis.
Morgan menghela napasnya dan kembali memandang ke arah Ara. “Jangan seperti itu, Ra. Ini kampus, dan aku berbicara benar. Tidak ada sangkut-pautnya dengan sikap aku ke Fla,” ujarnya, yang berusaha sabar di hadapan Ara yang masih kekanak-kanakkan.
Walau sudah mendengar penjelasan Morgan, Ara sama sekali tidak menggubris, dan tetap berpikiran negatif pada Morgan.
“Ah, bilang saja kau seperti ini karena aku bukan Kak Fla! Kalau aku ini Kak Fla, mungkin kau tidak akan bersikap seperti itu terhadapku!” ujarnya dengan nada yang sedikit membentak, membuat Morgan menjadi sangat risih mendengarnya.
Morgan menatapnya dengan tajam,l. "Ra, enough! Jangan bicara lagi. Kamu ya kamu, Fla ya Fla. Tidak ada hubungannya antara sikapku ke kamu, dan sikapku ke Fla!”
Morgan bangkit, dan pergi meninggalkan Ara sendiri di sana.
Melihat kepergian Morgan, Ara merasa sangat kesal sampai bola matanya hampir keluar dari pelupuk.
“Morgan!!” pekik Ara, yang tak dihiraukan sama sekali oleh Morgan.
Semua orang memperhatikannya dengan tatapan yang aneh, membuat dirinya merasa malu sendiri dengan keadaan.
Karena sudah malu dengan keadaan, Ara pun pergi dari sana untuk menuju ke arah kelasnya.
***
Sudah genap sebulan ke belakang, Morgan selalu mengonsumsi semangkuk mi goreng dengan topping telur ceplok rebus. Hal itu ternyata berdampak pada kesehatannya, dan mengganggu sistem pencernaan yang ia miliki.
Sudah beberapa kali ia keluar masuk toilet, karena perutnya yang terasa sangat perih.
Bagaimana tidak? Setelah makan semangkuk mi goreng tersebut di pagi hari, Morgan sama sekali tidak mengisi apa pun lagi pada perutnya. Esok paginya Morgan kembali menyantap mi goreng tersebut.
Bagaimana tidak sakit?
Apalagi kesibukan Fla selama beberapa bulan ke belakang ini, membuatnya jadi tidak bisa menyiapkan makanan untuk Morgan di pagi hari.
Sudah beberapa kali Morgan hanya keluar masuk toilet rumahnya saja, karena merasakan sakit pada perutnya yang membuatnya lemas. Ia melangkah keluar dari toilet rumahnya, dan menghela napasnya dalam-dalam.
“Perutku terasa perih,” gumam Morgan, sembari memegangi perutnya yang sudah terasa perih.
TRING!
Sebuah pesan singkat masuk ke kotak masuk pada handphone Morgan. Walaupun masih merasa sakit pada perutnya, ia masih sempat membuka dan membaca pesan singkat tersebut, yang ternyata adalah dari Fla.
“Fla lembur long shift. Mungkin tidak akan pulang. Kau tidur saja duluan, tidak perlu menungguku kembali ke rumah.” Isi pesan dari Fla.
Membaca pesan tersebut, sontak membuat Morgan semakin lemas.
Sudah lemas karena kekurangan cairan, ditambah lemas karena istrinya tidak pulang ke rumah malam ini.
“Fla tidak pulang?” gumamnya, yang lalu menepuk keningnya yang terasa sangat panas.
“Kenapa keningku malah panas begini? Apa aku benar jatuh sakit?” gumam Morgan, yang benar-benar sudah tidak bisa merasakan tubuhnya lagi.
Morgan melangkah dengan langkah yang sempoyongan, menuju ke arah ranjang tidurnya yang berada beberapa meter di hadapannya. Ia sangat butuh banyak cairan, tetapi ia sama sekali tidak bisa melangkah lebih jauh lagi, selain ke arah ranjang tidurnya.
Saking lemasnya, ketika sudah sampai di ranjang tidurnya, Morgan melayangkan tubuhnya ke atas ranjang, lalu berusaha merasakan tubuhnya yang sudah tidak terasa itu.
“Lemas ....” Morgan menelan salivanya yang hampir kering, karena merasa tenggorokannya yang sangat kering.
“Haus ....”
Tak ada yang bisa Morgan lakukan, selain berbaring di atas ranjang tidurnya. Ia berharap Fla pulang secepatnya, agar bisa merawatnya yang benar-benar sedang sakit itu.
Morgan menoleh ke arah foto pernikahan mereka, yang terpampang jelas pada dinding kamarnya. “Fla ... cepat pulang ... aku tidak bisa jika tanpa kamu ...,” rintihnya dengan tatapan sendu.
TRING!
Satu pesan singkat masuk kembali pada kotak masuk handphone-nya. Morgan tersenyum sangat senang, karena ia berpikir kalau Fla berubah pikiran, dan sedang menuju pulang ke rumah mereka saat ini.
“Fla ....”
Senyuman Morgan seketika luntur, ketika melihat yang mengirimkan pesan singkat tersebut adalah Ara dan bukan Fla. Ia merasa sedikit kesal, karena sudah mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
“Sia-sia saya berharap, Fla ....” Morgan merasa dirinya sudah benar-benar down, dan tidak bisa melakukan apa pun selain menerima hal yang sudah ia mulai.
Morgan mengintip dari luar chat yang Ara kirimkan padanya. Ia membaca, walaupun tidak sampai seserius itu membacanya.
“Sayang ... kau mau tidak menemani aku membeli baju sekarang? Baju OOTD aku habis, untuk besok ke kampus.” Isi pesan dari Ara.
Morgan menghela napasnya dengan panjang, karena ia merasa sangat tertekan diminta seperti itu oleh Ara. Pasalnya, Morgan sedang butuh perawatan pada masalah pencernaannya, tetapi ia diminta untuk menemani Ara berbelanja saat ini juga.
“Dia tidak tahu situasi dan kondisi, ya?” gumam Morgan, yang merasa sedikit kesal membaca pesan singkat dari Ara itu.
Morgan membalas pesan singkat Ara, dan menolaknya untuk menemaninya berbelanja. Hal itu membuat Ara yang di sana menjadi sangat kesal karenanya.
“Ish ... kenapa Morgan tirak mau menemani aku belanja, sih? Aku ‘kan butuh baju buat tebar pesona besok di kampus!” gerutunya kesal, karena Morgan yang tidak ingin memenuhi permintaannya.
Walaupun sudah berhasil mendapatkan Morgan, dan merebutnya dari kakak kandungnya sendiri, Ara masih tetap tidak puas dengan hal itu. Ia masih saja menebar pesona ke semua orang, agar semua orang mengakui dirinya yang cantik itu.
Mendapatkan Morgan dari kakaknya, adalah sebuah pencapaian. Ketika ia sudah mendapatkannya, ia tidak akan melepaskannya, tetapi bukan hal yang tidak mungkin untuk mencari kesenangan di luar dari pencapaian yang sudah berhasil ia gapai.
Matanya menyipit tajam, karena merasa harus mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Tidak bisa seperti ini! Aku harus paksa Morgan buat menemani aku malam ini!” gumamnya, yang langsung bergegas untuk pergi ke rumah Morgan.
Ara tidak akan segan menghampiri Morgan ke rumah mereka, jika Morgan tidak ingin memenuhi apa yang ia inginkan. Sekalipun di sana ada Fla, ia sama sekali tidak peduli akan hal itu.
Baginya yang terpenting adalah, membuat Morgan memenuhi segala keinginannya.
Sementara itu di sana, Morgan meletakkan handphone-nya di atas dadanya. Ia memejamkan matanya, sembari mengusap keningnya yang terasa tegang.
Morgan sangat stress menghadapi Ara.
Namun, jika bukan karena keluarganya yang memaksanya untuk menikahi Ara, ia tidak akan pernah ingin dekat dengan Ara.
“Ya ampun ... kenapa dunia ini terasa kejam untuk kami? Apa salah kami?” gumam Morgan, yang merasa sangat tertekan dengan takdir yang ia terima.
Cinta tumbuh karena terbiasa. Namun, Morgan tidak yakin, akankah cintanya pada Ara akan tumbuh sebanyak cintanya pada Fla?
Morgan kembali memegangi perutnya, karena ia merasakan sakit yang luar biasa. Sejak pagi tadi, ia sama sekali tidak sempat memakan mi goreng tersebut, karena sudah hilang selera makannya menghadapi sikap Ara.
Karena menjadi pengawas ujian juga, Morgan jadi tidak sempat mengisi perutnya, setelah berkutat dengan kesibukan yang membuatnya stress.
“Haaaaa ....” Morgan mengembuskan napasnya, saking kesalnya ia dengan keadaan.
Sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, dari hubungannya dan juga Fla. Karena dirinya yang memang sudah tidak muda lagi, yang menginginkan seorang anak untuk mengisi hari-harinya.
Namun, perasaannya pada Fla tidak bisa dihilangkan. Ia begitu mencintai Fla, dan tidak bisa memutuskan hubungan ini dengannya.
Walaupun Morgan tidak ingin memutuskan hubungannya dengan Fla, Fla juga tidak ingin Morgan memadu kasih dengan Ara. Ia tidak ingin diduakan, karena sesungguhnya Fla juga sangatlah mencintai Morgan.
“Harus bagaimana lagi aku menjalaninya?” gumam Morgan, yang sudah sangat putus asa dengan keadaan dirinya.