Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7. Surat Cerai Bag. II

Datang juga akhirnya, yang telah lama ditunggu oleh wanita itu. Belum cukup lama mereka menikah dan harapan Arum akan segera terkabul usai Julvri memberikannya surat cerai.

'Tinggal di tanda tangan, beres.' Arum membatin girang.

Namun ekspresi senangnya itu ia tahan sekuat tenaga di lubuk hatinya yang terdalam. Tak ingin menaruh rasa curiga, sehingga Arum pun kembali berakting layaknya wanita yang enggan diceraikan.

“Tunggu sebentar, suamiku. Aku ... aku tahu aku salah,” ucap Arum dengan nada bergetar.

Ia beranjak dari tempat duduknya lantas meraih ujung lengan jas Julvri yang hendak pergi begitu saja. Julvri menghentikan langkahnya dan berbalik badan sembari menatap Arum dengan sengit.

Seketika tatapan tajam itu membuat Arum reflek menarik tangannya sendiri. Terkejut sekaligus takut, rupanya perasaan itu belumlah memudar.

“Maafkan aku, Julvri. Aku tidak bermaksud ... begini, aku—”

Julvri mengangkat jari ke depan bibir Arum, menghentikan istrinya bicara dan ia benar-benar terdiam detik itu juga.

“Tidak perlu mengungkapkan alasanmu. Aku sudah muak, dan kamu tidak perlu melakukan apa pun lagi di tempat ini,” ucap Julvri tegas.

Julvri berjalan keluar dengan langkah lebarnya, Arum berlari mengejar sembari terus memanggil nama sang suami, ekspresi Arum saat itu sudah terlihat sangat jelas. Kecewa, sedih dan perasaan bersalah. Itu semua ada di raut wajah Arum.

Melihat Arum mengejar suaminya itu, lantas ibu mertua berdiri di antara mereka berdua. Sengaja menghadangnya.

“Untuk apa kamu mengejarnya? Walau membutuhkan banyak waktu untuk cerai, kamu sudah dibenci olehnya. Jadi cepatlah kembali ke rumah orang tuamu sendiri.”

Ibu mertua angkat bicara, menjelaskan arti dari ekspresi Julvri yang sebenarnya. Terlepas dari benar atau tidaknya hal itu, Arum ingin percaya itu saja sebab itulah yang ia inginkan sejak lama.

'Ya, benar. Teruslah hina aku, benci diriku sampai kamu muak dan hingga akhirnya perceraian itu terjadi,' batin Arum.

Perceraian akan membutuhkan beberapa bulan, proses awal ini sudah menentukan nasib Arum ke depannya. Ia akan kehilangan status sebagai istri dari orang kaya itu. Namun itu juga berarti dirinya akan terbebas dari ramalan yang mengungkapkan dirinya akan tewas di tangan Julvri sendiri.

“Aku sungguh minta maaf pada kalian semua. Sungguh, aku sangat menyesal. Maafkan aku, maaf,” ucap Arum menundukkan kepala, ia pun meneteskan air mata begitu mudah.

Koper yang sudah penuh dengan isi pakaian dan barang pribadi Arum lainnya sudah berada dalam genggaman. Sisanya hanya melangkah keluar dari rumah ini dan berpisah dengan semua orang, Ibu dan Ayah mertua, bibi pembantu serta putra keluarga ini—Julvri Vandam.

Tap!

Gema terdengar ketika Arum melangkah keluar dengan sepatu hak tingginya. Sampai sekarang pun Arum masih menundukkan kepalanya seolah-olah ia benar-benar sangat merasa bersalah. Julvri berdiri di dekat pintu bagian luar, sesaat menatap wajah Arum yang terlihat sedih.

“Mau aku panggilkan taksi untukmu? Atau aku yang akan mengantarmu?” tanya Julvri memberinya penawaran.

“Tidak perlu membantu pelac*r itu!” pekik ibunya dari kejauhan.

Arum sempat berhenti berjalan, ia lantas berbalik badan dengan senyum yang terihat seolah dipaksakan.

Sambil berucap, “Tidak apa-apa. Terima kasih, Julvri.”

Mengumbar senyum bagaikan padang bunga yang hidup dalam dirinya. Semerbak aroma setiap bunga indah tercium dan lebih terasa seakan ia menggodanya. Senyum itu pernah sekali atau dua kali ditunjukkan pada Julvri, tentunya itu tak pernah terlepas dari benaknya sedetik pun.

Julvri terdiam dengan mata terbelalak kaget. Setelah itu Arum pergi tanpa mendengar sahutan dari lainnya. Begitu keluar, ini adalah tanda kebebasan. Beberapa puluh langkah telah menjauh dari kediaman, senyum lebar tersungging dan kemudian Arum tertawa lirih.

“Bagus, bagus, bagus. Aku akhirnya bisa hidup. Ucapan dukun itu nggak akan menjadi nyata sekarang,” gumam Arum merasa sangat senang.

Ekspresinya yang sebenarnya sungguh tak terlihat seperti wanita yang baru saja diceraikan. Kebahagiaan itu didapatkan setelah merasa takdir tragisnya takkan terjadi.

***

Jalan menuju ke rumah orang tuanya terbilang tidak jauh namun juga tidak dekat. Sesampainya di sana, Arum terdiam mematung selama beberapa waktu. Sembari memikirkan perjuangan yang tak berujung sia-sia, senyum itu tersungging sekali lagi.

Plak! Plak!

Lalu Arum menampar pipinya sendiri hingga memerah, mengatur emosi serta raut wajahnya agar terlihat seperti orang yang tengah bersedih hati.

“Iya, ini cukup. Aku tidak mau ibu tahu bahwa aku hanya berpura-pura,” ucap Arum, sembari melangkah maju ke halaman rumah.

Tok, tok!

Secara perlahan ia mengetuk pintu, ibu kandung Arum ternyata datang dari belakang. Ia sangat terkejut karena putrinya pulang dengan membawa koper besar.

“Arum, apa yang terjadi padamu?” tanya sang ibu dengan suara lirih.

Ibunya saja sudah sadar ada sesuatu, ditambah lagi setelah melihat ekspresi sedih pada putrinya tercinta. Ia lekas berlari menghampiri dan mendekap Arum dengan kedua tangan yang gemetaran seolah sedang ketakutan.

“Ibu, aku akan diceraikan.”

“Sudah. Jangan dibahas lagi, ibu mengerti. Orang kaya memang seenaknya sendiri. Tidak perlu berhubungan dengan mereka lagi,” ucap Ibu lantas menangis.

Mendengar isak tangis ibu, entah mengapa membuat Arum ikut menangis juga. Perasaan bersalah yang sesungguhnya telah muncul, ia merasa tidak enak saat harus berbohong pada ibu sendiri. Walau ini dilakukan agar ibu tak terlihat dengan hal-hal yang tidak diinginkan. Sebisa mungkin Arum menghindari hal tersebut agar tidak menambah kecemasan sang ibu.

“Ibu aku mencintainya. Aku sungguh-sungguh mencintainya,” ucap Arum membalas pelukan ibu.

“Lupakanlah dia yang telah menyakitimu. Tidak perlu berhubungan dengan dia lagi. Sekalipun kamu yang membuat salah lebih dulu, ibu yakin ini adalah keputusan yang benar dengan meninggalkan suamimu itu,” ucap Ibu.

“Tapi, bu—”

“Ayo masuk ke dalam.”

Menanggapi ucapan ibu, setelah melepaskan pelukan, Arum menggelengkan kepala. Ia mengatakan bahwa dirinya akan pergi untuk berjalan-jalan sebentar. Alih-alih ia ingin menenangkan diri dengan berjalan di sekitar, namun niat Arum sebenarnya adalah untuk berjumpa dengan dukun itu lagi.

***

Arum menggunakan taksi pesanan, begitu sampai ke suatu tempat yang sewaktu malam itu merupakan halaman untuk pasar malam, Arum lekas mencari sebuah tempat yang berada di setiap sudut.

“Oh itu dia!”

Sembari berjalan cepat menuju ke tenda berwarna keunguan gelap, ia menyeka air mata yang masih mengalir. Menyibak sebagian kain yang menutupi bagian dalam, Arum menghampiri seseorang di sana.

“Ambil ini, Mbah Dukun!” seru Arum yang memberikannya sebuah amplop berisikan setumpuk uang.

“Wah, wah, kamu masih bisa menemukan tempat ini rupanya,” ucap nenek itu.

“Tentu saja. Mana mungkin aku lupa. Aku berikan sejumlah uang di dalam sebagai tanda terima kasihku padamu yang telah memberiku peringatan,” ujarnya.

“Aku tidak berbuat apa-apa padamu, Nyonya muda. Dan sejujurnya aku tidak membutuhkan uang darimu. Yang aku lakukan hanyalah memberimu peringatan kecil saja,” tutur nenek itu yang tidak menerima pemberian Arum.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel