Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. Surat Cerai Bag. I

Sebuah ponsel bergetar cukup kencang, disertai dengan nada dering khusus ketika orang yang paling ia sukai sedang berusaha menghubunginya. Tertera sebuah nama "Arum." Dalam sekejap raut wajah pria yang tadinya murung berubah menjadi senang.

“Tumben sekali.”

Arum seharusnya bukanlah siapa-siapa bagi pria itu tapi ia memendam sebuah rasa kepadanya dan tidak pernah mengungkapkan perasaan itu sama sekali hingga orang terkasihnya menikahi pria lain.

Eka, adalah pria yang sebelum ini dihubungi oleh Arum untuk dimintai bantuan. Tidak lain adalah agar dapat berakting, memperlihatkan seolah-olah Arum sudah melakukan hal memalukan sebelum pernikahannya dengan Julvri terjadi. Eka langusng setuju dan membantu.

“Terima kasih, Eka. Berkatmu aku bisa segera terbebas darinya,” ucap Arum merasa sangat berterima kasih.

“Sebenarnya apa yang kamu pikirkan sampai berani berakting di depan suamimu. Padahal dia terlihat tidak memiliki masalah apa pun,” pikirnya.

“Ini aku lakukan demi bertahan hidup.”

“Bertahan hidup?” ulangnya kembali bertanya seraya menggebrak meja makan.

Brak!

Eka menahan langkah Arum tepat saat ia berdiri dari tempat duduknya. Postur tubuh seorang pria yang pada dasarnya lebih tinggi dan besar daripada seorang wanita, jelas hal itu membuat Arum merasa sedikit canggung.

“Minggir, aku akan pulang.”

“Sebelum itu. Aku berharap akting yang tadi itu menjadi betulan,” kata Eka berharap.

Mendengar orang terkasih berniat cerai, hal tersebut membuat peluang Eka untuk mendapatkan hati Arum cukup besar. Mengisi kekosongan hati mungkin memang bukanlah perkara mudah namun Eka berniat mengambil kesempatan selagi bisa dilakukan.

“Akting yang tadi? Apa maksudmu?” tanya Arum tidak mengerti, seraya ia mendorong sedikit tubuh Eka agar menjauh darinya.

Namun Eka tak berkutik, ia tetap pada posisinya yang sengaja menahan langkah atau tubuh Arum di sana. Sebagian orang tampak memperhatikan tapi ia tetap tidak peduli, bahkan mungkin bisa jadi ia sengaja mencari perhatian di sekitar.

“Aku cuman berharap yang tadi itu benar-benar menjadi nyata. Arum, aku berharap itu terjadi,” tuturnya.

Arum terdiam sembari menahan rasa geli di lehernya ketika Eka berbicara saat itu. Setelah akan terbebas dari suami yang tidak jelas bagaimana sifat aslinya, Arum justru terjebak dengan sikap aneh temannya itu. Eka bahkan merangkul pinggul sembari berbisik di dekat lehernya.

Sembari mengungkapkan harapannya itu pada Arum, semua tanda-tanda dari sikap aneh Eka adalah sebuah upaya untuk menggoda Arum. Arum yang sadar akan hal itu, lantas menginjak sepatu hingga tembus punggung kaki Eka dengan sangat kuat.

“Ugh!! Apa yang—!” Eka mengerang kesakitan, reflek ia menjauh dari Arum sembari mengangkat kakinya yang terasa sakit.

“Eka, aku sungguh berterima kasih padamu. Aku berhutang budi padamu, jadi tunggu saja sampai aku bisa membalas budi,” ujar Arum.

“Hutang budi? Kalau begitu kenapa kita tidak me—”

“Aku tidak mau menjalin hubungan dengan seseorang setelah sukses bercerai dengannya. Meskipun begitu, tolong jaga jarak karena statusku masih harus dijaga sebagai seorang istri Julvri,” tutur Arum menegaskan.

Eka tersentak diam. Cara ia memandang dan bersikap berani inilah yang membuat Eka menyukai dirinya. Sulit tuk berucap, lantas tersenyum lega.

***

Julvri telah pulang dengan kendaraan pribadinya, sehingga Arum yang tidak memiliki kendaraan sama sekali itu pun memutuskan untuk menggunakan taksi. Dari malam hingga keesokan harinya telah tiba, Julvri dan Arum sama sekali tidak saling mengobrol satu sama lain. Hari ini raut wajah kedua orang tua Julvri yang sekaligus merupakan mertua Arum pun tampak berbeda.

Hukuman Arum hingga detik ini masih berlanjut, meskipun telah dicabut larangan tak boleh keluar, ia tetap membantu masak bibi di dapur. Saat itu bibi hanya menatap heran pada menantu keluarga di rumah ini.

“Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu, neng Arum? Tidak biasanya saya melihat neng Arum seperti ini. Padahal sebelum menikah, neng Arum sering datang sebagai seorang kekasih Tuan Muda dan kadang memasak diam-diam untuk keluarga ini.”

Bibi mengeluh kesahkan segala tentang Arum yang berubah total, bibi yang heran hanya bertanya mengapa jadi seperti itu. Dan benar apa yang dikatakan oleh bibi, sebenarnya Arum lihai di dapur. Setiap makanan yang dibuat seolah dibuat oleh chef terkenal di sebuah restoran. Bibi saja mengakuinya.

“Tolong jangan diungkapkan ya, bi. Aku tidak mau mereka tahu bahwa aku pandai memasak.”

“Kenapa neng?”

“Ya karena aku tidak mau disuruh-suruh,” jawabnya singkat.

“Lalu bi, apa bibi belum mendengar sesuatu dari Julvri ataupun ibu dan ayah mertuaku?” tanya Arum kemudian.

“Apa sih neng? Aku ini nggak paham loh,” jawabnya kebingungan.

Arum mengabaikan pertanyaan bibi, ia lekas membawa makanan itu ke meja makan. Namun langkahnya sempat terhenti ketika melihat Julvri memegang sebuah pisau. Adapun pisau itu hendak digunakan untuk mengolesi bagian roti dengan selai.

Prang!

Tanpa sengaja dan Arum terkejut, ia menjatuhkan makanan yang hendak dibawanya ke sana. Piring menjadi pecah berkeping-keping serta makanannya pula berceceran di lantai.

Tiba-tiba saja perasaan takut itu kembali mengalir, dalam bayangan Julvri terlihat seakan hendak membunuhnya detik ini juga. Sekujur tubuh Arum bergetar hebat, tak mampu menahan rasa takut luar biasa itu, Arum jatuh terduduk di lantai.

Bruk!

“Neng Arum?” Bibi panik, lekas membantunya untuk berdiri namun kedua kaki Arum sudah lemas, ia tak mampu berdiri dan hanya duduk termenung diam dengan napas tersengal-sengal.

'Firasatku benar-benar jadi buruk. Kenapa aku jadi pengecut seperti ini?' batin Arum memejamkan mata.

Tatapan dari ibu mertua dan Julvri terlihat sangat dingin, sekilas ia melihatnya dan merasakan bahwa mereka menganggap dirinya hanyalah angin lalu. Berbeda dengan mereka, Ayah mertua hanya duduk diam tanpa menghadap ke sumber suara gaduh itu.

“Neng Arum? Ayo berdiri, biar bibi saja yang membersihkannya.”

“Tapi bi—” Ekspresinya yang panik sekaligus takut, terbaca jelas oleh bibi. Bibi merasa khawatir dan ia menyuruhnya agar beristirahat sebentar namun Arum selalu menolak.

“Neng Arum pasti kelelahan. Jadi biarkan bibi saja yang—”

Arum menggelengkan kepala dengan cepat, ia kemudian menundukkan kepala selama beberapa saat sambil memejamkan mata. Selang beberapa saat, Arum menyunggingkan senyum lebar di hadapan bibi lalu mengatakan sesuatu.

“Bibi siapkan makanan yang lain saja. Biarkan aku yang bertanggung jawab di sini. Lagi pula aku sendiri yang menjatuhkannya tanpa sengaja,” tutur Arum kembali tenang.

Bakat dari lahir, Arum Kusuma Pramesti pandai berakting sebagai segalanya serta pandai mengontrol ekspresi serta perasaan pribadi Arum sendiri. Entah ini patut dibanggakan atau justru terasa menyeramkan.

'Bukan jadi masalah aku melakukan kesalahan. Justru semakin aku banyak berbuat salah di dalam rumah ataupun di luar, maka mereka akan semakin membenciku lalu mengusirku dari sini. Inilah yang aku harapkan,' batin Arum menekan emosi lemahnya.

Pagi ini terlihat sama seperti pagi kemarin. Tidak ada yang berubah dari langit ini selain yang ada di dalam rumah keluarga ini. Setengah hari ia bekerja, suaminya pulang dengan membawa sebuah stopmap coklat dalam genggaman.

“Di dalamnya ada surat cerai, kau tahu harus apa bukan?” ujar Julvri sambil menyodorkan stopmap tersebut ke depan Arum yang sedang duduk di kursi kecil.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel