Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7

"Mencintaimu, ibaratkan menggenggam setangkai mawar berduri. Semakin erat aku menggenggammu, semakin aku terluka."

-cantikazhr-

Darren

Mata tajam Darren menatap datar ke arah layar ponselnya. Pesan singkat dari Rachel, entah mengapa membuat Darren sedikit ... Gugup? Ia sedang menimang-nimang, apakah ia harus menuruti keinginan gadis itu, atau tidak.

"Kenapa, Dar?" Mika yang paling pertama menyadari perubahan sahabatnya itu, melirik sekilas ke arah layar ponsel Darren yang masih menyala.

Saat ini, mereka sedang berada di basecamp. Tepatnya, di belakang gudang SMA Bakti. Tempat itu sudah diakui mereka sebagai basecamp resmi untuk Gastra, jika sedang di dalam sekolah. Dengan gravity hasil karya anak-anak GASTRA yang menjadi tanda kepemilikan mereka.

Darren menyerahkan ponselnya pada Mika. "Baca."

Mika menatap ponsel itu dan Darren bergantian, sebelum ia meraih benda pipih itu dan membaca deretan pesan dari Rachel yang membuat raut wajah Darren berubah.

Rachel :

Aku mau ngomong sama kamu, di taman belakang. Pulang sekolah, tolong, dateng ya.

"Nah!" Mika berseru, "mau diputusin kali lo."

"Mana mungkin." Darren mendelik.

"Nothing impossible, Man." Mika menepuk-nepuk pundak Darren.

Darren terdiam memikirkan omongan Mika. Pikirannya menjelajah ke mana-mana, apakah Rachel benar-benar ingin putus? Kalau iya, pasti Darren akan kembali diserbu oleh para gadis di sekolahnya dan Darren tidak menyukai hal itu.

Saat Darren berstatus memiliki pacar saja, mereka masih berani mendekati Darren terang-terangan dan itu tentu sangat mengganggu. Apalagi, jika Darren kembali menyandang status jomblo? Sudah dapat dipastikan, hidup Darren tidak akan tenang.

***

Rachel duduk termenung di bawah pohon rindang. Gadis itu sedang menanti kehadiran seseorang, meski Rachel tidak yakin orang yang ia tunggu akan datang.

Di genggaman Rachel, ada setangkai mawar merah yang berduri. Gadis itu tersenyum tipis, mawar itu seperti Darren.

"Kenapa?"

Rachel mendongakkan kepala, mendapati Darren sedang berdiri di hadapannya. Dari bawah sini, Rachel dapat melihat rahang tegas Darren, hidungnya yang mancung, serta matanya yang tajam.

"Duduk dulu," ajak Rachel sembari menepuk tempat kosong di sebelahnya.

"Langsung ngomong aja. Bentar lagi juga hujan." Darren berujar datar.

"Sebentar, aja," pinta Rachel, akhirnya Darren menurut, duduk di sebelah gadis itu.

"Apa?" tanya Darren dengan nada santai. Padahal, hatinya sedang bertanya-tanya.

"Dulu, kamu nembak aku, di sini." Rachel tersenyum tipis seraya menunduk, "ngga bawa apa-apa selain geng kamu, dan salah satunya ada yang bawa sekop. Inget, ngga?"

"Inget," sahut Darren. "Lo nyuruh gue ke sini cuman buat ngomong itu?"

"Enggak." Rachel tersenyum, "aku mau ngobrol aja sebentar."

"Kamu tau makanan kesukaan aku, nggak?" tanya Rachel. Darren menggeleng.

"Kamu inget nggak, kita berapa kali jalan selama hampir setahun pacaran?" tanya Rachel lagi, Darren kembali menggeleng.

"Kamu tau apa hal yang aku suka dan aku ngga suka?" Lagi-lagi Darren menggeleng.

Rachel tersenyum kecut. Gadis itu menunduk. "Kamu suka gado-gado, kamu punya alergi sama makanan seafood, kamu suka warna abu-abu dan warna gelap. Dan jalan lima kali, selama setahun ini."

Darren menoleh, menatap Rachel. "Terus kenapa?"

"Nanti, bilang sama pacar baru kamu. Jangan lupa chat kamu tiap pagi, siang, sore dan malem buat ngingetin makan. Atau sekadar nanyain kabar walaupun nggak kamu bales, bilang itu sama pacar baru kamu, ya." Rachel tersenyum pahit ke arah Darren.

"Apa, sih? Pacar gue ya elo." sahut Darren dengan nada tak suka dengan ucapan Rachel.

"Sekarang enggak lagi," ucap Rachel, gadis itu berusaha menetralkan raut wajahnya agar tidak terlihat sedih dan lemah.

Darren menatap wajah Rachel dengan tatapan tajam. Tidak suka dengan ucapan Rachel barusan, gadis itu tidak boleh mengakhiri hubungan mereka!

Namun, perhatian Darren teralih pada dahi Rachel yang ditutupi plester. Gadis itu sepertinya terluka.

"Itu kenapa?" tanya Darren seraya menunjuk luka Rachel dengan dagunya.

Rachel menyentuh lukanya. Gadis itu kembali tersenyum kecut. "Kalau kamu kemaren angkat telepon aku, pasti tahu ini kenapa."

"Gue sibuk." Darren menoleh ke arah samping.

"Emang kamu selalu sibuk, kan?" Rachel tertawa miris, dadanya berdenyut menahan sakit, "sibuk dengan duniamu, yang nggak pernah ada aku. Aku ada di dunia kamu, tapi di duniamu yang terbuang, di bagian ceritamu yang nggak penting. Di sana tempat aku, kan?"

"Lo ngomong apaan, sih?" Darren bangkit dari duduknya, tangannya bergerak menarik tangan Rachel, "mau hujan, gue anter lo pulang."

"Nggak usah," tolak Rachel, "aku belum selesai ngomong."

"Gue nggak mau denger." Darren menatap gadis itu tajam, Rachel benar-benar ingin mengakhiri hubungan mereka.

Rintik hujan mulai turun, membasahi dua insan yang kini tengah berdiri saling menatap. Darren mulai gerah, ia ingin segera pergi kalau saja kondisi Rachel tidak membuatnya tetap bertahan dan rela berdiri seperti orang bodoh di bawah guyuran hujan.

"Hubungan ini, cuman bikin aku sakit. Suatu hubungan itu harus diraih berdua, bukan sendiri. Di sini, kayanya cuman aku yang terlalu sayang, tapi kamu enggak."

Air mata Rachel mengalir deras, namun tidak terlihat karena terhapus oleh derai hujan. "Kamu nggak pernah ada di saat aku butuh, kamu nggak pernah anggap aku ada."

Darren terdiam seraya menatap Rachel, tatapannya datar, tidak menyiratkan bahwa ia merasa bersalah. Padahal, jelas sekali kalau ia yang salah.

"Lo mau putus?" Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut Darren.

Rachel tidak menjawab, gadis itu menoleh ke arah lain. Dan, hal itu sudah cukup menjadi jawaban untuk Darren.

"Oke." Darren menganggukkan kepalanya, "kita, putus."

Darren melangkah menjauh, meninggalkan Rachel yang masih berdiri tegak di bawah guyuran hujan. Gadis itu menangis, tetapi air matanya langsung terhapus oleh rintik hujan.

Di balik tembok, ada dua orang yang kini tengah tertawa senang karena akhirnya masa yang mereka tunggu telah tiba.

"Kita berhasil."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel