Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

POV Budi

Huuffh, akhirnya kelar juga ni pesta. Udah jam 11 malem, dan kami masih harus balik ke rumahku. Tapi untungnya ayah mertuaku udah nyiapin semua buat kami, termasuk supir yang akan mengantar kami balik ke rumah. Setelah para tamu pulang, aku dan istriku langsung pamit sama keluarga kami yang masih ditempat pesta ini untuk membereskan urusan-urusan disini.

Dengan diantar Pak Sarbini, kami langsung menuju ke rumahku yang terletak di sebuah perumahan elite di kawasan ring road utara. Selama dalam perjalanan aku terus memandang wajah ayu istriku. Luar biasa ciptaan Tuhan yang satu ini, sangat cantik, ayu, manis sekali, nggak akan pernah bosan rasanya ngelihat wajahnya terus. Betapa beruntungnya aku bisa mendapatkan seorang bidadari yang Tuhan lupa menyuruhnya pulang ke surga. Wajah oval dihiasi sepasang mata yang indah, begitu cerah dan jernih, menandakan jernihnya hati sang bidadari. Hidung mancung serta bibir tipisnya melengkapi keindahan wajah perempuan ayu yang kini resmi menyandang status Nyonya Budi ini.

Badan istriku ini ramping, tingginya sekitar 155 cm, beratnya entah berapa aku belum tanya, tapi mungkin sekitar 45 kg. Dadanya tidak terlalu besar, tidak sebesar punya mantan-mantanku maupun perempuan selingkuhanku yang lain, namun terasa bulat dan padat (pernah beberapa kali grepe lah waktu pacaran,hehe). Pantatnya pun tidak terlalu besar namun sangat proporsional dengan ukuran tubuhnya, dan yang pastinya padat juga, hasil dari dia rutin ikut senam dan yoga bersama teman-temannya. Kulitnya putih mulus bak pualam. Kalo memang di dunia ini tidak ada yang sempurna, yaa buatku istriku ini sudah 99% lah sempurnanya.

Sadar aku pandangi, istriku senyum-senyum aja, malah terlihat mukanya merona merah, malu mungkin dia ya. Meskipun selama 2 tahun berpacaran aku biasa ngeliatin wajah ayunya, tapi malam ini terasa beda, aku memandangnya dengan kasih sayang dan cinta yang berlipat-lipat, sampai nggak bisa ngomong apa-apa.

Akhirnya setelah 20 menit, sampailah kami di rumah, yang sekarang bukan lagi rumahku tapi rumah kami. Setelah kami turun Pak Sarbini ijin untuk kembali ke tempat acaraku tadi, masih ada urusan dan kerjaan yang harus dibereskan katanya. Selepas kepergian Pak Sarbini aku lalu membuka pintu rumah, dan ternyata rumah ini sudah dihias sedemikian rupa, indah sekali, aku tidak tahu siapa yang menghiasnya karena terakhir aku pergi kemarin sore rasanya masih agak berantakan, tapi ini, berantakannya beda. Ada pita-pita, bunga-bunga dimana-mana, bahkan dari pintu masuk diberi karpet merah dan ditaruh lilin di kanan-kirinya, mengarah ke kamar pengantin kami. Sepanjang karpet ini ditaburi bunga mawar putih, dan hiasan-hiasan lain disekitar yang aku nggak paham apa aja nama-nama hiasan ini, tapi biarlah, karena rumah ini jadi terlihat begitu indah, nggak pernah seindah ini selama aku menempatinya.

Langsung kututup dan kukunci pintu utama, segera aku gendong istriku tercinta ini menuju ke kamar pengantin kami.

“Ah mas bikin kaget aja ihh,” ucap istriku manja.

Haduuh nggemenis banget, “lha kaget kenapa adek sayang?”

“Kalo mau gendong bilang dong biar aku siap,hihi.”

“Emang biar kamu nggak siap dek jadinya kan melukin aku kayak gini,haha.”

“Halah mas ini, bisa aja ya cari kesempatan.”

Sesampainya di depan kamar, istriku membuka handle pintu perlahan, begitu pintu terbuka kami terkejut lagi, kamar yang biasa aku tempatin sendiri, yang sehari-hari menurutku sudah cukup rapi, walau kata istriku ini masih berantakan, sekarang begitu indah disulap menjadi kamar pengantin. Hampir semuanya serba putih. Jendela kamarku kini tertutup kain kelambu putih di bagian luar dan kain berwarna krem di bagian dalam. Di ranjang kami sudah ada hiasan berbentuk angsa yang saling bertautan. Di lantai lagi-lagi ditaburi bunga mawar putih, sedangkan di ranjang ditaburi mawar merah. Haduh, ini ranjang mau dipakai malah ditaburi bunga, masak ya harus bersih-bersih ranjang dulu.

Segera aku turunkan istriku dari gendonganku. Kami bertatapan erat sebelum akhirnya aku cium keningnya penuh rasa cinta. Cukup lama aku mengecup kening istriku ini, kemudian memeluknya dengan erat, dan dibalas dengan pelukan yang erat juga dari istriku.

“Aku mencintaimu sayang, sangat mencintaimu.”

“Aku juga mas, aku juga sangat mencintaimu.”

“Akhirnya kita dipersatukan, kamu adalah wanita pilihanku sejak aku mengenalmu, dan aku bersyukur bisa memilikimu sekarang, hari ini rasanya aku jadi pria paling bahagia di dunia.”

“Kamu juga adalah lelaki pilihanku mas, aku juga bahagia sekali hari ini, sangaaaat bahagia.”

Kamipun saling menatap dalam pelukan, tersenyum penuh cinta, penuh rasa syukur dimana hari ini kami resmi dipersatukan. Aku bahagia, dan begitu bangga bisa memiliki bidadari yang lupa pulang ke surga ini. Dari pancaran mata indah istriku, terlihat pula betapa bahagianya dia hari ini, meskipun mungkin sudah letih seharian ini banyak acara yang harus kami lewati, namun malam ini dia masih terlihat begitu mempesona, sekali lagi kukecup dia, kali ini kepalanya yang masih tertutup kerudung itu. Dia hanya terpejam meresapi hangatnya kecupanku.

“Aku cuci muka dulu ya dek, mukaku rasanya tebel banget ini.”

“Haha, kan make up nya tipis aja mas.”

“Ya sama aja dek, wong aku ga pernah di make up gini,hehe.”

“Yaudah sana, nanti gentian aku.”

Akupun menuju kamar mandi yang juga lantainya sudah bertabur bunga. Yaa ampun, kok semuanya ditaburi bunga, ini jangan-jangan closetnya juga dikasih bunga lagi. Setelah aku buka closetnya, “Ah amaan.” Istriku menyahut dari dalam kamar, “apanya mas yang aman?” “hehe, nggak dek, ini semua kan ditaburi bunga, aku lagi ngecek siapa tau di closet juga ada bunganya, ternyata nggak ada,” jawabku sambil tertawa. “Hahaha, haduuh mas ini ada-ada aja.”

Setelah mencuci muka dan membersihkan make up tipis di mukaku yang memang tidak pernah dikasih barang-barang begituan, aku segera kembali ke kamar. Ternyata istriku sedang mencopoti aksesoris-aksesoris yang menempel di kebayanya. Kerudungnya sudah dilepas, namun ikatan dirambutnya masih terpasang. Selesai dia membersihkan aksesoris yang menempel dikebayanya, dia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan wajahnya dari make up yang sebenarnya tak perlu harus repot-repot memoles wajah ayu istriku karena tanpa make up sekalipun dia masih begitu cantiknya.

“Kamu cantik sekali sayang, bener-bener bidadari yang nyata,” ucapku kagum.

“Ah mas ini istri sendiri masih aja digombalin,” wajahnya makin bersemu merah.

“Kalo itu tadi beneran dek, lagian buat nggombalin wanita secantik kamu, aku nggak bisa nemuin kata yang cukup pantas e.”

“Tuh kan makin jadi gombalannya, hihi,” makin bersemu merah wajahnya, “udah ah, aku mau cuci muka dulu mas, itu tolong bunga-bunga di kasur dibersihin yaa mas, hehe.”

Nah kan bener, harus kerja bakti dulu sebelum ‘kerja bakti’. Lagian ini siapa sih naburin bunga banyak bener di ranjang ini, haduuh niatnya baik sih tapi malah jadi ngrepotin orang kan kalo kayak gini. Tapi it’s ok lah, demi bidadariku, apa sih yang nggak, hehe. Selesai aku membereskan bunga-bunga itu (cuma diserak jatuh aja sih, yang penting ranjang bersih udah,hehe), tak lama istriku keluar dari kamar mandi. Kulihat wajahnya masih basah oleh basuhan air tadi, tetap saja buatku terlihat begitu mempesona.

“Hihi, kamu ini ya mas, ngebersihin ranjang tapi ngotorin lantai malah.”

“Hehe, ndak papa kan dek, yang penting kan ranjang kita bersih.. sini sayang.”

Bidadariku pun mendekat. Nampak terlihat di wajah ayunya dia sedikit gugup. Wajar karena ini adalah malam pertama kami. Aku yang sudah banyak makan asam garam masalah beginian aja masih terasa gugupnya. Mungkin karena ini benar-benar momen yang sacral, jadi sepengalaman apapun aku terasa deg-degannya luar biasa. Istriku sudah berdiri di samping ranjang, lalu akupun berdiri di depannya. Beberapa detik kami tidak bergerak sama sekali, hanya saling memandangi dengan ketakjuban, terutama aku, takjub menatap bidadari di hadapanku. Perlahan tanganku bergerak kearah belakang kepalanya, meloloskan ikatan rambutnya, dan terurai lah rambut hitam lebatnya. Rambut yang sedikit berombak sepanjang beberapa senti di bawah bahunya, menambah kecantikan alami istriku. Saat berkerudung dia begitu anggun dimataku, saat seperti ini dia begitu mempesonaku, aku kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan betapa indahnya ciptaan Tuhan ini.

Aku bergerak melangkah kearahnya, jarak kami hanya tinggal sekepal, sangat dekat. Bahkan hembusan nafas kamipun terasa satu sama lain. Kedua tanganku kini telah berada di kedua bahunya, tangan istriku telah berada di pinggangku. Tanpa banyak berucap tentang besarnya cinta dan kasih sayang kami, karena kami sama-sama mengetahui dan merasakannya, perlahan, sangat pelan, hingga akhirnya bibir kami bersentuhan. Duh gusti, entah kenapa rasanya itu adalah ciuman ternikmat yang pernah aku rasakan, padahal baru menempel saja bibir kamu. Sebuah kecupan ringan yang terasa lain, sangat lain dengan wanita-wanitaku sebelumnya.

Kami ulangi lagi kecupan itu, kali ini lebih lama. Saling menempelkan bibir kami, sambil mata terpejam. Tangan kami berdua belum bergerak dari tempat tadi, hanya bertambah usapan dan remasan yang pelan, sangat lembut. Bibir tipis istriku ini terasa begitu lembut, tak tahan rasanya untuk tak mengulumnya. Lalu perlahan kami mulai saling melumat, saling membasahi bibir masing-masing. Beberapa menit lamanya kami berpagutan hingga nafas kami berdua mulai terasa berat. Permainan ini berlanjut, lidah kami mulai mengambil perannya. Saling membelit untuk berkenalan, saling mengusap rongga mulut masing-masing. Saling membawa air liur untuk ditukarkan. Tangan kamipun sudah tidak pada tempatnya lagi sekarang, sudah mulai bergerak kesana kemari. Tanganku mulai memeluk dan mengusap punggung dan leher belakang istriku. Sesekali tangan kananku membelai mesra pipi halusnya. Tangan Ara tak kalah, bergerak memeluk tubuhku, sambil mengusap bagian punggungku dengan lembutnya.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel