Bab 5. Damian? Berjanji?
Melihat sang lawan mati kutu, Glara tersenyum tipis dan berjalan meninggalkan restaurant. Tak ada satupun yang tahu apa yang telah Glara ucapkan pada Marta hingga wanita itu tak berkutik.
Sepanjang jalan, Glara hanya diam memandang ke luar jendela hingga tanpa sadar mobil telah tiba di rumah sakit di mana putranya tengah dirawat. Glara meminta Rose untuk kembali ke perusahaan dan membuat jadwal ulang tentang pertemuan bisnis lainnya. Ia ingin bertemu dengan Gama dan juga Louis yang tengah menunggu kehadirannya untuk menghabiskan makan siang bersama.
Glara merapikan pakaian dan mengubah raut wajahnya menjadi lebih ceria, ia tak mau Louis atau Gama mengetahui kesedihannya atas sikap Damian yang merendahkannya. ‘Haiii ibu datang‼” ujar Glara penuh semangat seraya membuka pintu kamar rawat Gama.
“Ibuu‼!” pekik Gama senang melihat wanita yang melahirkannya sudah berada di hadapannya.
“Coba lihat ibu membawa apa?” tanya Glara menunjukkan paper bag yang sempat ia beli saat di restaurant tadi.
Gama mengamati paper bag itu dan mengendusnya. “Ahh zuppa soup dan ayam goreng?” tebak Gama riang.
Glara dan Louis tertawa bahagia, Glara pun mengangguk dan mengeluarkan isi di paper bag. Ia menyiapkan zuppa soup kesukaan Gama dan membantu putranya menyantap hingga habis. “Sudah lama Gama tidak makan ini.”
“Oh iya, berapa lama memangnya?” tanya Louis mengusap puncak kepala Gama.
Gama tampak menghitung dengan jemarinya. “Emm, satu… dua… tiga… ahh lama kakek. Sepertinya sejak ibu pergi ke luar negeri.”
Hati Glara teriris, ia benar-benar kecewa dengan sikap Damian. Selama ini, Glara selalu mengirimkan uang tepat waktu, Glara juga selalu berpesan untuk membelikan apapun yang Gama suka. Ternyata pria itu memanfaatkan rasa cinta Glara padanya dan menghabiskan uang yang ia kirim seorang diri. Bahkan menelantarkan Gama yang sakit keras.
“Mulai sekarang, Gama bisa makan zuppa soup kapan saja Gama mau. Ibu akan selalu membelikan untuk Gama,” ujar Glara menutupi kesedihannya.
“Sungguh? Ibu berjanji?” tanya Gama dengan mulut penuh makanan. Glara mengangguk, ia mengusap puncak kepala Gama gemas.
Mereka menghabiskan waktu saling bercerita satu sama lain, Glara juga menceritakan pengalamannya ketika bekerja di pabrik Jepang. Ia sedikit banyak mempelajari sistem yang ada di sana, Glara pun berniat untuk mencoba menerapkan di perusahaannya agar berkembang semakin pesat.
“Bisa saja, Glara. Hanya saja kamu harus memastikan kalau sistem itu sesuai dengan sumber daya manusia yang ada di perusahaan kita. Jangan sampai kamu salah langkah dan justru menjadi boomerang untukmu,” nasihat Louis pada Glara yang tengah menyantap makan siangnya.
Glara mengangguk ia menelan makanan yang sedang dikunyahnya dan berkata, “Tentu, kakek. Maka dari itu, untuk beberapa hari ini Glara akan memfokuskan diri ke penelitian tentang sumber daya di perusahaan kita juga beberapa sistem dan proyek yang sedang berjalan.”
Louis mengangguk ia menepuk bahu Glara. “Kakek percaya kamu bisa bangkit. Lupakan dia dan mulai lembar baru. Kamu buktikan padanya kalau kamu bukan wanita sembarangan yang bisa ia hina dan injak-injak harga dirinya.”
Glara mengangguk dan menatap yakin Louis. Mereka lantas melanjutkan makan siangnya. Setelah itu, Glara menemani Gama tidur siang dengan membacakan dongeng-dongeng seperti sebelum ia pergi ke luar negeri dulu.
Louis sudah memutuskan untuk pulang ke rumahnya, ia berpesan pada Glara untuk tetap beristirahat dan menjaga kesehatannya. Karena mulai hari ini, Glara akan disibukkan dengan banyak hal. “Aku akan menikmati hari tuaku bersama dengan cucuku. Glara kembalilah menjadi Glara yang lima tahun lalu kakek kenal.” Ucapan terakhir Louis sebelum meninggalkan ruangan Gama terus terngiang di benaknya.
Ia kembali memutar kaset memori di kepalanya. Bayangan pertama kali ia berjumpa dengan Damian juga bagaimana pria itu bersikap membuat Glara menitikan air mata. Tak mau berlarut dalam kesedihan, Glara memilih untuk memainkan ponselnya guna mengusir rasa sedih dan bosan. Tangannya bergulir ke sosial media yang ia punya.
Hingga jemari lentik Glara berhenti pada sebuah postingan yang menunjukkan kebahagian sepasang suami istri yang tengah berlibur di sebuah pantai dengan caption ‘Tidak akan ada manusia yang bisa membuatku ragu atas besarnya cintaku padamu, Damian.’
Glara tersenyum smirk. “Marta… Marta… kamu sama naifnya denganku lima tahun silam.”
Waktu terus berlalu, Glara semakin disibukkan dengan urusan perkantoran namun, ia tetap membagi waktunya untuk Gama juga memantau progress kesembuhan Gama. Seperti sekarang ini, Glara sedang bertemu dengan dokter pribadi yang merawat Gama.
“Jadi bagaimana progress Gama sejauh ini, Dok?” tanya Glara duduk di hadapan wanita berjas putih dengan stetoskop yang melingkar di lehernya.
Wanita itu tersenyum dan berkata, “Progress Gama sangat baik. Berat badannya juga bertambah signifikan namun, tetap sesuai dengan gizi dan perkembangan anak seusianya. Perubahan psikisnya pun jauh lebih baik dari sebelumnya.”
Glara tersenyum senang mendengar penuturan sang dokter. “Jika kondisi Gama terus membaik sampai besuk. Maka kami bisa melakukan tindakan besuk lusa.”
Glara menghela napas lega, ia tak bisa menyembunyikan raut bahagia dan bersyukurnya. “Terima kasih banyak, dok. Saya… .”
“Ini semua berkat usaha ibu dan izin Tuhan. Kami hanya perantara saja,” sahutnya mengusap punggung tangan Glara memberikan support sebagai sesama wanita dan ibu.
Setelah bertemu dengan dokter, Glara pun kembali ke ruangan Gama. Namun, dari kejauhan Glara mendengar suara tangisan Gama yang memekik memanggil namanya. Dengan gerakan seribu langkah Glara menuju kamar itu dan mendorong pintunya dengan kasar.
“Untuk apa kamu ke sini?” tanya Glara menarik pria itu menjauhi Gama yang sudah menangis ketakutan.
“Glara aku minta maaf atas semua kesalahanku. Aku menyesal dan aku ingin kembali pada kalian.”
Glara menatap tajam dan lurus ia mendekap erat tubuh putranya. Glara menekan tombol darurat di jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya.
“Semuanya sudah terlambat. Tinggalkan ruangan ini!” ujar Glara dalam dan tajam.
Pria itu menggelengkan kepalanya ia masih tetap di tempatnya. “Aku tidak akan pergi. Aku baru sadar jika aku masih mencintaimu Glara.”
“Saya bilang keluar ya keluar‼”
Pria itu masih bergeming. “Glara aku lakukan semua ini untukmu dan keluarga kecil kita. Aku sengaja menikahinya karena aku hanya ingin mendapatkan pekerjaan agar kamu tidak perlu ke luar negeri lagi. Tetapi kamu pulang lebih dulu sebelum semuanya berjalan sesuai dengan rencanaku. Hinaan dan cacian kemarin itu tidak sungguh-sungguh dari hatiku, Glara. Lima tahun kita mengarungi rumah tangga ini. Tidak mungkin aku melupakanmu secepat itu,” ujar Damian menatap Glara sendu.
Glara terdiam, tatapan netranya mulai melemah. “Glara setelah aku mendapatkan kekuasaannya aku akan menceraikannya dan membawamu juga Gama ke kehidupan yang lebih baik lagi. Kita akan menikah lagi dan memulai semuanya yang baru.”
“Sungguh?”